Seputar Ikhtilath dan Hijab
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Secara lughawi, ikhtilath berarti percampuran. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, kata ikhtalatha sering digunakan untuk menyatakan ungkapan semisal “Susu dan kopi itu bercampur”. Secara istilahiy, ikhtilath sering diartikan sebagai percampuran antara orang-orang yang berlainan jenis - bukan antara suami dan istri-istrinya, bukan pula sesama mahram – tanpa adanya hijab. Jadi ikhtilath dihindari dengan cara memakai hijab. Para ulama berbeda pendapat mengenai bagaimanakah hijab itu?
Secara menyeluruh, hijab tidaklah hanya bermakna hijab zhahiriy, namun juga mencakup hijab maknawiy. Hijab maknawiy adalah hakikat yang dituju, sementara hijab zhahiriy adalah sarana yang dipakai untuk bisa memiliki hijab maknawiy. Hijab maknawiy yang dimaksud adalah kesucian hati akibat keter-hijab-annya terhadap keinginan yang hina dan keji. Kesucian hati merupakan ‘illah pensyariatan hijab yang disebutkan (manshushah) dalam Al-Qur’an (Ayat Hijab). Jadi apabila hijab zhahiriy tidak dibarengi dengan terciptanya hijab maknawiy maka hal itu masih belum memenuhi tuntutan syariat.
Pengetahuan Dasar Fiqih Shiyam (Puasa)
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Pengertian
Secara etimologis, shiyam (atau shaum) berarti menahan diri. Adapun secara terminologis, shiyam adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, disertai dengan niat.
Keutamaan Puasa
Diantara keutamaan puasa adalah sebagai berikut :- Puasa merupakan perisai dari berbagai hawa nafsu.
- Puasa sangat istimewa dihadapan Allah, karena setiap ibadah adalah untuk kepentingan seorang hamba kecuali puasa, sehingga Dia sendiri yang akan membalasnya.
- Orang-orang yang gemar berpuasa akan masuk surga melalui pintu khusus yang bernama Al-Rayyaan.
- Diantara doa yang mudah dikabulkan oleh Allah adalah doa orang yang sedang berpuasa sampai dia berbuka, atau pada saat berbuka.
- Dari sisi jasmaniyah, puasa bisa menjaga kesehatan tubuh.
Membangun Peradaban Islam
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Kata peradaban (al-hadharat, civilisation) seringkali diidentikkan dengan kata kebudayaan (al-tsaqafah, culture). Meskipun sementara kalangan membedakan pengertian kedua kata tersebut, namun argumen yang mengidentikkan keduanya juga cukup kuat. Kompromi dalam masalah ini ialah bahwa pada suatu saat pembedaan itu absah dan pada saat yang lain pengidentikan juga absah. Dalam bahasa Arab, selain disebut sebagai al-hadharat, peradaban terkadang juga disebut dengan al-tamaddun. Karena itu tidaklah mengherankan apabila masyarakat madani kemudian diterjemahkan menjadi masyarakat beradab atau civil society.
Dalam pengertiannya yang paling luas, peradaban mencakup aspek material maupun immaterial. Katakanlah, aspek material dicontohkan oleh piramida dan patung Sphinx Mesir, istana Al-Hamra, kastil Eropa Abad Pertengahan, atau gedung WTC yang telah runtuh, sementara aspek immaterial dicontohkan oleh ajaran Islam, ajaran Budha, filsafat Yunani, Konfusianisme, Kapitalisme, atau Sosialisme.
77 Cabang Iman
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Ibarat sebuah pohon, iman itu memiliki cabang-cabang. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda: “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman." [HR. Bukhari, Muslim]
Diantara yang bisa kita pahami dari hadits tersebut adalah, bahwasanya cabang-cabang iman itu amat banyak. Angka-angka dalam hadits tersebut bisa kita pahami - tentu saja - secara literal, namun bisa juga kita pahami dengan makna "banyak". Wallahu a'lam. Hal lain yang bisa kita pahami dari hadits diatas adalah, bahwa cabang-cabang iman itu bertingkat-tingkat. Ada yang tinggi dan ada yang rendah.
Imam Al-Baihaqi, salah seorang terkemuka, mendaftar 77 cabang iman. Anda tinggal mencocokkan apakah semuanya ada dalam diri Anda. Ataukah masih banyak yang belum melekat pada diri Anda. Mari kita lihat apa sajakah ketujuh puluh tujuh cabang tersebut.
Pengetahuan Dasar Bersuci
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Islam sangat mengutamakan kesucian (thaharah). Allah sering berfirman “Innallaha yuhibbul mutathahhiriin (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang mensucikan diri)”. Bahkan, termasuk dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mula-mula diturunkan ialah “Wa tsiyaabaka fathahhir (Dan sucikanlah pakaianmu)”. Nabi saw bersabda “Ath-thuhuuru syathrul iimaan (Kesucian itu separuh iman)”. Kesucian yang dimaksud mencakup kesucian fisik dan kesucian jiwa.
Karena sedemikian pentingnya kesucian ini pulalah, Allah mempersyaratkan keadaan "suci"dalam pelaksanaan berbagai macam ibadah seperti sholat. Bahkan karena saking pentingnya masalah kesucian ini, buku-buku Fiqih Islam pasti selalu diawali dengan bab Bersuci (Thaharah).
Berikut ini beberapa pengetahuan mendasar mengenai Fiqih Bersuci (Thaharah).
Air (Miyah)
Macam-macam air :
-
Air muthlaq : air hujan, air salju (air es), embun, air laut, air zamzam, air yang berubah sifat karena lama berada ditempatnya, karena tempatnya, atau karena bercampur dengan sesuatu yang biasanya sulit dipisahkan darinya. Hukumnya : suci dan mensucikan.
-
Air musta’mal, yaitu air bekas wudhu atau mandi. Hukumnya sama dengan air muthlaq.
-
Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci (seperti sabun dsb). Hukumnya suci dan mensucikan selama masih mempertahankan sifatnya sebagai air muthlaq. Adapun jika telah keluar dari kemuthlaqannya maka hukumnya adalah suci tetapi tidak mensucikan.
-
Air yang terkena najis. Jika terjadi perubahan pada salah satu dari tiga sifatnya (bau, warna, rasa) maka tidak boleh digunakan untuk bersuci. Tetapi jika tidak terjadi perubahan pada salah satu dari tiga sifat tersebut maka hukumnya tetap suci dan mensucikan.
Halaman 67 dari 69