Kata peradaban (al-hadharat, civilisation) seringkali diidentikkan dengan kata kebudayaan (al-tsaqafah, culture). Meskipun sementara kalangan membedakan pengertian kedua kata tersebut, namun argumen yang mengidentikkan keduanya juga cukup kuat. Kompromi dalam masalah ini ialah bahwa pada suatu saat pembedaan itu absah dan pada saat yang lain pengidentikan juga absah. Dalam bahasa Arab, selain disebut sebagai al-hadharat, peradaban terkadang juga disebut dengan al-tamaddun. Karena itu tidaklah mengherankan apabila masyarakat madani kemudian diterjemahkan menjadi masyarakat beradab atau civil society.
Dalam pengertiannya yang paling luas, peradaban mencakup aspek material maupun immaterial. Katakanlah, aspek material dicontohkan oleh piramida dan patung Sphinx Mesir, istana Al-Hamra, kastil Eropa Abad Pertengahan, atau gedung WTC yang telah runtuh, sementara aspek immaterial dicontohkan oleh ajaran Islam, ajaran Budha, filsafat Yunani, Konfusianisme, Kapitalisme, atau Sosialisme.
Manusia adalah makhluk yang berakal (al-hayawan al-nathiq), sehingga ia mampu berpikir secara progresif dalam membentuk peradabannya. Manusia telah bergerak secara progresif dari Zaman Batu ke Zaman Logam, sampai akhirnya ke Zaman Silikon. Manusia berbeda dengan burung, yang dari zaman Adam sampai sekarang tidak pernah berubah dalam cara membuat sarangnya.
Setiap zaman dimana manusia hidup mesti memiliki peradabannya sendiri-sendiri. Kecanggihan peradaban tidaklah bisa dinilai secara absolut. Suatu peradaban manusia bisa jadi sangat canggih pada masanya, namun ternyata dinilai kuno oleh generasi sesudahnya. Demikianlah seterusnya, baik dalam aspek material ataupun immaterial. Dalam aspek material, kaum ‘Aad, kaum Tsamud, dan bangsa Mesir Fir’aun telah mampu membangun gedung-gedung tinggi dan kokoh, sebagaimana manusia saat ini telah mampu membangun gedung-gedung pencakar langit. Dalam aspek immaterial, setiap generasi telah menciptakan sistem filsafat dan pemikirannya sendiri-sendiri, tanpa bisa diklaim bahwa yang belakangan lebih canggih daripada yang sebelumnya, sebagaimana diyakini oleh Hegel dengan konsep Filsafat Sejarah-nya.
Sejauh yang dicatat oleh sejarah, kebudayaan atau peradaban besar telah muncul di Cina, India, Babilonia, Mesopotamia, Yunani, Inka, Persia, Romawi, Arab, dan Eropa. Jadi, peradaban besar telah muncul baik di Timur (Cina, India, Babilonia, Mesopotamia, Persia, dan Arab) maupun di Barat (Yunani, Inka, dan Eropa).
Dalam perkembangan peradaban, suatu fenomena yang perlu dihadapi dengan serius ialah benturan peradaban (clash of civilisation, istilah yang dipopulerkan oleh Huntington). Di zaman modern ini, peradaban-peradaban yang diyakini akan mengalami proses benturan-benturan bisa dikutubkan atas peradaban Timur dan Peradaban Barat. Yang dimaksud dengan peradaban Timur terutama ialah peradaban Islam atau peradaban Arab meskipun di Timur ada juga peradaban Konfusianis dan yang lainnya. Sementara peradaban Barat ialah peradaban Eropa yang dalam waktu panjang telah diilhami oleh peradaban Yunani, Yahudi, dan Kristen. Dalam konteks agama-agama, benturan-benturan akan terjadi antara peradaban Islam, Yahudi, dan Kristen. Meskipun ketiga agama tersebut satu sama lain saling bergesekan, namun Yahudi dan Kristen bisa dikelompokkan dalam satu kubu apabila diperhadapkan dengan Islam. Ini karena sejarah Kristen dan Yahudi adalah satu. Agama Kristen ialah agama baru yang “diciptakan” oleh seorang Yahudi yang bernama Paulus. Karena itu tidaklah berlebihan apabila kita menyebut Yahudi sebagai kakak kandung Kristen.
Peradaban Islam ialah peradaban yang dalam waktu amat panjang telah menjadi mercusuar peradaban dunia. Setelah menaklukkan Persia dan Romawi, Islam mentahbiskan dirinya sebagai mercusuar tersebut. Kejayaan peradaban Islam ini terus berlangsung sampai akhirnya Mongol menyerang dunia Timur Islam, berpuncak pada serangan terhadap Baghdad. Di dunia Barat Islam, peradaban Islam mulai ambruk semenjak satu demi satu wilayah Islam ditaklukkan oleh Eropa. Akhirnya, Kordova pun tinggal kenangan belaka. Runtuhnya Kesultanan Turki Utsmaniyyah tercatat telah mencabik-cabik persatuan umat Islam sehingga Eropa pun semakin kuat mencengkeramkan kuku-kuku imperialisme-nya di negara-negara muslim. Peradaban Islam mengakhiri kejayaannya bersamaan dengan tercerahkannya Eropa pada masa Renaisans.
Semenjak kita, bangsa-bangsa muslim, terbelenggu oleh imperialisme Eropa (Barat), sumber daya alam kita dan bahkan kita sebagai sumber daya manusia telah dieksploitasi habis-habisan. Kita tidak hanya telah mengalami kerugian besar dalam hal material, namun yang lebih menyedihkan ialah bahwa kita telah mengalami depresi mental dan intelektual yang parah. Disamping sumber daya alam kita habis terkuras tanpa bisa kita nikmati, kita pun telah dilanda dengan inferioritas yang parah, etos kerja yang buruk, dan rendahnya tingkat pendidikan. Kita telah cukup puas dengan menjadi plagiator bagi sains dan teknologi Barat. Kita juga sudah cukup puas, bahkan sangat rakus, dengan menjadi pasar atau konsumen bagi produk-produk Barat. Kita seolah-olah telah lunglai dan merasa putus asa untuk bangkit dan mengejar Barat, karena semakin kita kejar ternyata laju mereka semakin cepat pula.
Kita harus sadar bahwa kita tidak akan pernah bisa bangkit dengan uluran tangan Barat. Kita harus bangkit dengan kaki-kaki dan tangan-tangan kita sendiri. Kita tidak akan pernah bisa mengejar dan melampaui Barat selama kita hanya puas dengan menjadi plagiator bagi peradaban mereka. Kita harus mengembangkan diri kita sendiri dengan memberdayakan segenap potensi yang ada pada diri kita.
Kita harus sadar bahwa Barat tidak akan pernah tulus dan rela untuk mengangkat kita dari lumpur yang dalam ini. Kita harus menyesal mengapa masih ada saja diantara kita yang tergila-gila dengan peradaban Barat, bahkan ketika itu adalah peradaban sampah yang memang mereka pun mengakui keburukannya dan ingin melepaskan diri darinya. Mereka sengaja melemparkan peradaban-peradaban sampah itu kepada kita agar kita semakin dalam terperosok kedalam lumpur kehinaan.
Kita harus melihat Barat sebagaimana adanya, tanpa perasaan inferior sedikit pun juga. Dengan rasa percaya diri yang besar, kita bisa mengambil apapun juga dari mereka kalau kita merasa itu memang perlu. Dan sebaliknya, kita pun harus tidak segan-segan melempar sesuatu dari mereka ke tempat sampah kalau kita merasa sesuatu itu tidak bermanfaat bahkan berbahaya bagi kita. Demikianlah generasi terdahulu kita telah berinteraksi dengan dunia luar di masa-masa keemasan peradaban kita. Kita harus mengulang masa keemasan tersebut.
Kita harus meraih kembali kejayaan kita dengan berpijak pada sumber peradaban kita sendiri, Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kita harus mengembangkan peradaban kita secara radikal, progresif, dan ekstensif dari kedua sumber tersebut.