Penggambaran Artistik dalam Al-Qur'an
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Tulisan ini diterjemahkan dari buku Al-Tashwir Al-Fanniy fil Qur’an karya Asy-Syahid Sayyid Quthb. Tulisan ini menggambarkan bagaimana indah dan nikmatnya berinteraksi dengan ketinggian dan keindahan bahasa Al-Qur’an. Sebagaimana yang pernah beliau ungkapkan sendiri dalam tafsir monumental beliau (Fii Zhilalil Qur’an): “Alangkah nikmatnya hidup dibawah naungan Al-Qur’an”.
PERSEMBAHAN
Kepadamu wahai Ibunda, kupersembahkan kitab ini.
Ketika itu dari balik tirai engkau mendengarkan para qurra’ sedang membaca Al-Qur’an dengan tartil di rumah kita sepanjang bulan Ramadhan. Dan aku sedang bersamamu – aku mencoba untuk merasakan masa kanak-kanakku lagi – maka engkau pun memberikan isyarat lirih kepadaku sehingga akupun ikut mendengarkan bacaan tersebut bersamamu. Jiwaku pun mereguk iramanya, meskipun aku belum bisa memahami maknanya.
Saat aku masih dalam asuhanmu, engkau mengirimku ke Sekolah Dasar di kampung. Harapan Ibunda yang pertama ialah agar Allah membukakan pintu hatiku sehingga aku bisa menghafal Al-Qur’an dan agar Allah mengkaruniai aku suara yang bagus sehingga aku bisa memperdengarkan Al-Qur’an untukmu sepanjang waktu. Selanjutnya, engkau pada akhirnya telah membuat aku berubah dari cara yang demikian ini kepada cara baru yang aku jalani sampai saat ini, setelah tentu saja sebagian harapanmu benar-benar terwujud yakni bahwa aku telah menghafal Al-Qur’an.
Sungguh kini engkau telah pergi meninggalkan aku, wahai Ibunda. Gambaran terakhir yang ada dalam ingatanku mengenai engkau ialah ketika engkau sedang duduk di rumah didepan sebuah radio. Saat itu engkau sedang asyik mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang sangat indah. Tampak dari wajahmu yang anggun bahwasanya engkau bisa memahami arah dan rahasia ayat-ayat tersebut, dengan kebesaran hatimu dan ketajaman perasaanmu.
Maka untukmu wahai Ibunda kupersembahkan kitab ini sebagai buah dari bimbinganmu yang panjang pada anakmu yang masih kecil dan pada pemudamu yang sudah besar ini. Andaipun keindahan bacaan itu telah luput dariku, semoga tidaklah luput dariku keindahan takwilnya. Semoga Allah senantiasa menjaga engkau dan daku di sisi-Nya.
Anakmu,
Sayyid
SUNGGUH TELAH KUTEMUKAN AL-QUR’AN!!
Aku mempunyai cerita tentang kitab ini.
Adalah cerita itu hakku, untuk diriku sendiri, ketika kitab ini masih berupa goresan-goresan dalam pikiranku. Namun ketika kitab ini sudah dicetak, tentu saja cerita itu bukan lagi kepunyaanku semata, dan tidak lagi hanya khusus untukku.
Sungguh, aku telah membaca Al-Qur’an tatkala aku masih kecil. Saat itu pikiranku masih belum bisa menggapai makna-maknanya. Pemahamanku juga masih belum bisa meliputi maksud-maksudnya. Namun saat itu aku mendapatkan sesuatu dalam diriku.
Ketika itu imajinasiku sebagai anak kecil senantiasa membayangkan gambaran-gambaran yang ada dalam ungkapan-ungkapan Al-Qur’an. Meskipun gambaran-gambaran itu sangat lugu, namun jiwaku senantiasa merindukannya dan perasaanku bisa menikmatinya. Yang demikian itu aku alami dalam waktu yang cukup lama. Aku merasa senang sekali dan gandrung.
Diantara gambaran-gambaran lugu yang sempat terbayang dalam anganku kala itu ialah yang muncul saat aku membaca ayat berikut:
((و من الناس من يعبد الله على حرف, فان أصابته خير اطمأن به, وان أصابته فتنة انقلب على وجهه, خسر الدنيا والآخرة))
"Dan diantara manusia ada yang menyembah kepada Allah ‘diatas satu sisi saja’. Apabila kebaikan menimpa padanya maka ia pun menjadi tenang dengannya. Namun jika cobaan menimpanya maka ia ‘membalikkan wajahnya’. Dia itu orang yang akan merugi di dunia dan juga di akhirat”. (QS Al-Hajj : 11)
Tidak mungkin ada orang yang akan bisa tertawa andaikata ia membayangkan seperti bayanganku berikut ini:
Aku membayangkan seseorang yang sedang berdiri di tepian tempat yang tinggi: dudukan yang tinggi – yang biasa aku lihat di kampung – atau puncak dari sebuah bukit yang sempit – yang biasa aku lihat disamping lembah – dan dia sedang melakukan shalat. Akan tetapi, dia tidak mendapatkan tempat yang cukup. Karenanya dia bergoyang-goyang setiap kali melakukan gerakan shalat dan hampir-hampir dia terjatuh. Saya saat itu bisa melihatnya dan aku tirukan gerakan-gerakan shalatnya dengan rasa riang tetapi dengan penuh rasa heran!
Dan diantara gambaran-gambaran lugu lainnya ialah yang muncul saat aku membaca ayat berikut:
((واتل عليهم نبأ الذي آتيناه آياتنا فانسلخ منها, فأتبعه الشيطان, فكان من الغاوين ولو شئنا لرفعناه بها, ولكنه أخلد إلى الأرض واتبع هواه, فمثله كمثل الكلب: إن تحمل عليه يلهث, أو تتركه يلهث))
“Dan bacakanlah kepada mereka berita mengenai orang yang Kami telah memberikan kepadanya ayat-ayat Kami lalu ia melepaskan diri darinya dan syetan pun mengikutinya, sehingga ia termasuk orang-orang yang sesat. Andai saja Kami kehendaki tentu Kami akan meninggikannya dengan ayat-ayat Kami. Akan tetapi, ia mengekalkan diri kepada bumi dan memperturutkan hawa nafsunya. Perumpamaan orang itu ialah seperti anjing: apabila dihalau ia menjulurkan lidahnya dan apabila dibiarkan ia juga menjulurkan lidahnya”. (QS Al-A’raf : 176)
Saat itu aku sama sekali belum bisa memahami makna ataupun maksud ayat ini. Akan tetapi, dalam anganku muncul sebuah gambaran: gambaran seorang laki-laki dengan mulut ternganga dan lidah yang panjang, menjulur-julurkan lidahnya tanpa henti, dan saya tidak jauh darinya. Aku tidak suka melihatnya. Aku tidak paham mengapa dia menjulur-julurkan lidahnya. Dan aku tidak berani dekat-dekat dengannya!
Gambaran-gambaran semacam itu sangat banyak dan bermacam-macam, yang terbayang sewaktu aku masih kecil. Aku bisa menikmati khayalan-khayalan itu. Karenanya aku jadi gandrung untuk membaca Al-Qur’an. Aku senantiasa mencari gambaran dalam lembaran-lembaran Al-Qur’an, setiap kali aku membacanya.
* * *
Itu hari-hari kecilku… Dan itu sudah berlalu dengan kenangannya yang manis dan bayangan-bayangannya yang lugu. Setelah itu menyusul hari-hariku yang baru. Aku masuk ke pesantren-pesantren ilmiah. Disana aku membaca tafsir Al-Qur’an dalam buku-buku tafsir dan aku juga mendengarkan tafsirnya dari para ustadz. Namun, aku tidak lagi bisa membaca atau mendengarkan Al-Qur’an yang nikmat dan indah, yang aku dapati di masa kanak-kanakku.
Alangkah malangnya! Aku telah kehilangan setiap keindahan dalam Al-Qur’an. Telah sirna pula kenikmatan dan kerinduan. Apakah memang ada dua Al-Qur’an? Al-Qur’an anak-anak yang menarik, mudah, dan menyenangkan ; dan Al-Qur’an para pemuda yang sulit, terikat, dan ruwet? Ataukah itu semua adalah dampak buruk yang muncul dari tafsir?
Akhirnya aku kembali lagi pada Al-Qur’an, aku baca. Tetapi dalam mushaf, bukan dalam kitab-kitab tafsir. Aku menemukan kembali Al-Qur’an-ku yang indah dan menyenangkan itu, dan aku mendapatkan kembali gambaran-gambaranku yang menimbulkan kenikmatan itu. Namun gambaran-gambaran itu tidak lagi lugu seperti dulu. Pemahamanku telah berubah. Sekarang aku telah bisa memahami maksud-maksud dan tujuannya. Aku telah memahaminya sebagai perumpamaan-perumpamaan dan bukan sekedar ucapan-ucapan. Namun, “‘sihir’”nya dan daya tariknya tetap ada. Alhamdulillah, telah kutemukan Al-Qur’an.
* * *
Terlintas dalam benakku untuk menyebarkan kepada khalayak sebagian contoh mengenai gambaran-gambaran yang aku dapatkan dalam Al-Qur’an. Maka aku pun melakukannya. Aku menulis sebuah bahasan di majalah Al-Muqtathif tahun 1939 dengan judul “Penggambaran Artistik dalam Al-Qur’an”. Disana aku menjelaskan sejumlah gambaran, kuungkap keindahan artistiknya, dan aku terangkan kekuatannya yang hanya muncul dari lafazh-lafaznya, yang terlalu sulit untuk bisa digambarkan dengan tinta pena atau gambar-gambar film. Lalu aku katakan,”Sesungguhnya bahasan ini akan lebih baik jika dijadikan tema untuk karya tulis mahasiswa”.
* * *
Tahun-tahun telah berlalu. Gambaran-gambaran Al-Qur’an terbayang-bayang dalam diriku. Aku memandangnya sebagai efek dari keajaiban Al-Qur’an yang sangat artistik. Setiap kali aku mengingatnya, dorongan jiwaku bertambah kuat untuk memperdalam, menyempurnakan, dan memperluas bahasan ini. Maka aku pun mencurahkan perhatianku dari waktu ke waktu terhadap Al-Qur’an. Aku lengkapi gambaran-gambaran yang khas tersebut. Akibatnya pemikiran-pemikiranku tentang bahasan ini semakin mendalam. Lalu aku pun disibukkan dengannya. Sampai akhirnya, semua itu justru mendatangkan ketenangan dalam hatiku dan harapan-harapan dalam perasaanku.
Akhirnya, aku pun bermaksud – Insya Allah – untuk menyebarluaskannya setelah genap lima tahun sejak penerbitan awal bahasan ini di majalah Al-Muqtathif.
* * *
Aku benar-benar telah memulai bahasan ini - dengan menggunakan mushaf sebagai referensi utama – untuk mengumpulkan gambaran-gambaran artistik dalam Al-Qur’an dan menjelaskan metode penggambarannya serta pautan-pautan artistiknya. Kemauanku saat itu hanyalah mengemukakan aspek artistiknya saja tanpa melibatkan aspek-aspek lain dalam bahasan Al-Qur’an.
Namun apa yang aku dapati?
Hakikat baru muncul dalam pandanganku. Ternyata gambaran-gambaran dalam Al-Qur’an bukanlah bagian yang berseberangan dengan bagian-bagian Al-Qur’an yang lain. Ternyata penggambaran merupakan kaidah pengungkapan dalam kitab suci yang indah itu. Ia merupakan kaidah pokok yang digunakan dalam segenap tujuan-tujuan Al-Qur’an – kecuali tujuan-tujuan tasyri’. Dengan demikian pekerjaanku bukan lagi sekedar mengumpulkan dan merapikan gambaran-gambaran tersebut, akan tetapi memaparkan kaidahnya yang telah terungkap dan tampak didepan mataku.
Itu semua adalah taufiq dari Allah. Pikiranku sebetulnya tidak pernah sampai kesana, sampai aku akhirnya menemukannya begitu saja!
Atas dasar inilah bahasan ini dibangun. Yang akan dikemukakan dalam bahasan ini tidak lain adalah contoh-contoh dan penjelasan tentang kaidah tersebut, sekaligus penyingkapan terhadap keunikan yang orisinil dalam gaya pengungkapan Al-Qur’an.
* * *
Setelah aku selesai memaparkan bahasan ini, aku menyaksikan dalam diriku kelahiran kembali Al-Qur’an. Sungguh aku telah mendapatkannya tanpa pernah aku perkirakan sebelumnya. Meskipun dahulu, dimasa kanak-kanakku, Al-Qur’an itu terasa indah dalam jiwaku namun keindahannya itu bersifat parsial dan terpecah-pecah. Adapun hari ini, keindahan itu terasa sebagai sebuah kesatuan yang dibangun diatas kaidah tertentu, kaidah yang memiliki pautan-pautan yang menakjubkan, yang belum pernah kuimpikan ataupun aku sangka-sangka sebelumnya.
Apabila Anda setuju agar aku menjelaskan dan menyebarluaskan bahasan ini sebagaimana pikiran dan kemauanku, maka tanpa keraguan sedikit pun, itu semua sudah terpenuhi dengan terbitnya buku ini.
‘SIHIR’ AL-QUR’AN
Sejak awal turunnya, Al-Qur’an telah menyihir bangsa Arab, baik mereka yang telah dibukakan hatinya kepada Islam ataupun mereka yang Allah jadikan penghalang pada pandangannya. Apabila kita memperhatikan segolongan kecil orang-orang yang berhasil didakwahi oleh Muhammad secara sendirian di awal Islam, seperti isteri beliau Khadijah, sahabatnya Abu Bakr, anak pamannya Ali, bekas budaknya Zaid, dan yang lainnya, maka kita akan mendapati bahwa Al-Qur’an merupakan agen efektif, atau salah satu dari agen-agen efektif, dalam keimanan generasi awal tersebut, di hari dimana Muhammad dan juga Islam belum memiliki daya dan kekuatan.
Kisah berimannya Umar bin Al-Khaththab dan kisah berpalingnya Al-Walid bin Al-Mughirah merupakan dua contoh dari sekian banyak kisah tentang keimanan dan keberpalingan. Kedua kisah tersebut telah menyingkap adanya ‘sihir’ Al-Qur’an yang dialami oleh bangsa Arab sejak awal Islam. Kedua kisah tersebut juga menjelaskan tentang ekstensifnya ‘sihir’ dahsyat Al-Qur’an, yang diakui baik oleh kaum beriman maupun oleh kaum kafir.
Adapun tentang kisah berimannya Umar terdapat riwayat yang cukup banyak. Diantaranya ialah riwayat Atha’ dan Mujahid yang dinukil oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Nujaih. Riwayat tersebut menyebutkan bahwa Umar ra berkata,”Dahulu aku sangat jauh dari Islam. Saat itu aku gemar sekali minum khamr. Kami memiliki suatu majelis yang disitu para lelaki Quraisy berkumpul bersama… Maka suatu saat keluarlah aku untuk menemui mereka di majelis tersebut, namun aku tidak mendapatkan siapa-siapa. Maka aku pun berkata,”Bagaimana seandainya aku mendatangi si Fulan dengan membawa khamr!”. Maka aku pun pergi kesana namun aku tidak mendapatinya. Maka aku pun berkata,”Bagaimana seandainya aku datang ke Ka’bah lalu bertawaf tujuh atau tujuh puluh kali!”. Maka aku pun datang ke Masjidil Haram untuk bertawaf mengelilingi Ka’bah. Saat itu ternyata Rasulullah saw sedang berdiri sholat. Saat itu beliau shalat menghadap ke arah Syam dan menjadikan Ka’bah berada diantara beliau dan Syam. Beliau berdiri diantara dua rukun: Rukun Aswad dan Rukun Yamani. Saat melihatnya aku berkata,”Demi Allah, bagaimana seandainya aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh Muhammad untuk satu malam ini saja! Maka aku pun berdiri dan berjalan mendekatinya. Aku mendekat dari arah Hijr (Ismail) sampai aku masuk dibawah kelambu Ka’bah. Tidak ada apa-apa diantara aku dan beliau kecuali kelambu Ka’bah. Ketika aku mendengar Al-Qur’an, hatiku jadi tersentuh sehingga aku pun menangis. Itulah yang menyebabkan aku masuk Islam”.
Terdapat pula riwayat lain yang secara ringkas mengkisahkan sebagai berikut: Suatu saat Umar keluar dengan bergegas sambil membawa pedangnya untuk menghabisi Rasulullah dan para sahabatnya yang diberitakan sedang berkumpul di sebuah rumah di dekat Shafa. Semuanya kira-kira berjumlah empat puluh orang, laki-laki dan wanita.
Di tengah jalan, Umar bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah yang menanyakan tujuan kepergiannya. Maka Umar pun memberitahukan tujuan kepergiannya. Orang-orang Bani Abdi Manaf menakut-nakuti Umar dan menyuruh Umar untuk kembali saja menemui sebagian kerabatnya yakni anak angkatnya Sa’id bin Zaid bin Amr dan saudara perempuannya Fathimah binti Al-Khaththab, karena keduanya telah keluar dari agama lamanya.
Maka Umar pun pergi untuk menemui keduanya. Disana Umar mendengar Khabbab sedang membacakan Al-Qur’an kepada keduanya. Lalu Umar mendobrak pintu kemudian menyerang anak angkatnya Said dan melukai saudara perempuannya Fathimah… Sehabis bercakap-cakap, Umar mengambil sebuah lembaran Al-Qur’an dan disitu terdapat surat Thaha. Ketika dia membaca beberapa ayat di awal surat tersebut, dia lalu berkata,”Alangkah indah dan mulianya kalimat-kalimatnya!” Kemudian dia pun pergi menemui Nabi saw dan menyatakan keislamannya. Maka Nabi pun bertakbir dan memberitahu sahabat-sahabat dari kalangan keluarganya bahwa Umar telah masuk Islam.
Disamping itu, terdapat pula riwayat yang lain yang rasanya tidak perlu aku kemukakan.
Semua riwayat tersebut bertemu pada satu titik yakni bahwa Umar mendengar atau membaca sesuatu dari Al-Qur’an, dimana itulah yang mendorongnya masuk Islam.
Begitulah kisah Umar bin Al-Khaththab. Adapun tentang kisah keberpalingan Al-Walid ibn Al-Mughirah, juga terdapat riwayat yang cukup banyak, yang bisa diringkaskan sebagai berikut:
Sesungguhnya Al-Walid bin Al-Mughirah suatu saat telah mendengar Al-Qur’an dan dia seolah-olah tertarik dengannya. Maka orang-orang Quraisy berkata,”Demi Allah, Al-Walid telah berpindah agama, dan setiap orang Quraisy juga jangan-jangan akan berpindah agama”. Kemudian mereka membawa Abu Jahl kepada Al-Walid, menggugah kesombongan dan gengsinya atas nasab dan hartanya, lalu meminta Al-Walid untuk mengatakan tentang Al-Qur’an suatu perkataan yang bisa menunjukkan kepada kaumnya bahwa dia tidak suka terhadap Al-Qur’an. Al-Walid berkata,”Lalu aku harus berkata apa tentang Al-Qur’an? Demi Allah, tidak ada seorang pun dari kalian yang lebih paham dariku tentang syair, rajaz, qasidah, atau syair jin (mantra). Demi Allah, Al-Qur’an sama sekali tidak menyerupai semua itu. Demi Allah! Sesungguhnya dalam kalimat-kalimat Al-Qur’an ada kenikmatan dan didalamnya juga ada keindahan yang luar biasa. Sesungguhnya Al-Qur’an akan melindas apa saja yang ada dibawahnya, ia amat tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya”. Maka Abu Jahl berkata,”Demi Allah, kaummu tidak akan ridha sampai engkau mengatakan apa yang kuminta”. Al-Walid berkata,”Kalau begitu, biarkan aku berpikir dahulu”. Setelah berpikir, dia berkata,”Sesungguhnya Al-Qur’an itu tidak lain kecuali sihir yang dilontarkan. Tidakkah engkau lihat bahwa ia telah memisahkan antara seorang lelaki dari keluarga dan kerabat-kerabatnya?”
Mengenai peristiwa ini Al-Qur’an menyebutkan:
انه فكر وقدر, فقتل! كيف قدر؟ ثم قتل! كيف قدر؟ ثم نظر, ثم عبس و بسر, ثم أدبر واستكبر,
فقال: ان هذا الا سحر يؤثر
“Sesungguhnya ia berpikir dan menimbang-nimbang, maka celakalah ia! Bagaimana ia menimbang-nimbang? Kemudian celakalah ia! Bagaimana ia menimbang-nimbang? Kemudian ia memandang, lalu muram dan cemberut, lalu berpaling dan menyombongkan diri, lau ia pun berkata,’Sesungguhnya Al-Qur’an itu tidak lain ialah sihir yang dilontarkan”.
Sihir yang dilontarkan, yang memisahkan seseorang dari keluarga, anak-anak, dan kerabatnya… Begitulah perkataan seorang yang berpaling dari Islam, menyombongkan diri untuk ber-islam di hadapan Muhammad, dan terlalu gengsi atas nasab, harta, dan anak-anaknya. Itu sama sekali bukanlah perkataan seorang yang beriman, yang justru akan tumbuh imannya setelah menyaksikan ‘sihir’ Al-Qur’an yang tak terkalahkan tersebut!
Dari sini bertemulah kisah kekufuran dengan kisah keimanan, dalam hal pengakuannya terhadap adanya ‘sihir’ Al-Qur’an! Dua sosok kuat telah bertemu dalam hal pengakuan terhadap adanya ‘sihir’ Al-Qur’an, dimana diantara keduanya terdapat perbedaan sikap. Dada Umar menjadi lapang dan terbuka menerima Islam, sementara Al-Walid justru diliputi oleh kesombongan dan keangkuhan. Masing-masing dari mereka berjalan diatas jalan yang saling bertolak belakang, setelah sebelumnya bertemu di satu titik yakni titik pengakuan terhadap adanya ‘sihir’ Al-Qur’an.
* * *
Sebagian orang kafir saat itu juga suka mengatakan,”Janganlah kalian mendengarkan Al-Qur’an dan abaikanlah ia agar kalian tidak menjadi takluk kepadanya”. Perkataan ini menunjukkan adanya kegentaran pada hati mereka terhadap kekuatan Al-Qur’an. Mereka menyaksikan bahwa pengikut-pengikut mereka telah dan akan tersihir setiap kali mendengar satu atau dua ayat Al-Qur’an, satu atau dua surat Al-Qur’an, yang dibacakan oleh Muhammad atau salah seorang pengikutnya.
Para pemimpin Quraisy secara diam-diam sebetulnya mengakui adanya ‘sihir’ Al-Qur’an. Jika tidak, mereka tentunya tidak akan mengeluarkan seruan sebagaimana diatas.
Mereka juga mengingkari Al-Qur’an dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah dongeng orang-orang terdahulu. Mereka mengatakan:
((قد سمعنا, ولو نشاء لقلنا مثل هذا. ان هذا الا أساطير الأولين))
“Sungguh kami telah mendengarkan. Seandainya kami mau maka kami juga akan mengucapkan yang serupa Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah dongeng orang-orang terdahulu”.
Maka Allah pun membalas tawaran mereka dengan berfirman:
قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ
“Katakanlah (wahai Muhammad):’Datangkanlah sepuluh surat buatan kalian yang serupa dengan Al-Qur’an ini”.
قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Datangkanlah satu surat saja yang serupa dengan Al-Qur’an”……
Namun, mereka ternyata tidak dapat mendatangkan sepuluh surat atau bahkan satu surat saja! Dan mereka memang pada dasarnya tidak pernah mencobanya (karena memang sudah merasa tidak akan mampu), kecuali apa yang dilakukan oleh beberapa nabi palsu sepeninggal Muhammad namun ternyata juga tidak bisa menyamai apalagi menandingi Al-Qur’an.
* * *
Untuk melengkapi pasal ini, kami akan mengemukakan beberapa gambaran yang termuat dalam Al-Qur’an mengenai betapa kuatnya pengaruh Al-Qur’an, terhadap orang-orang yang dikaruniai ilmu dan juga orang-orang yang hatinya luluh oleh Al-Qur’an.
“Sungguh engkau akan mendapati bahwa orang-orang yang paling hebat permusuhannya terhadap orang yang beriman adalah Yahudi dan orang-orang musyrik. Sungguh engkau juga akan mendapati diantara mereka terdapat orang-orang yang sangat mencintai orang-orang yang beriman. Mereka itu mengatakan:’Sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasrani’. Yang demikian itu karena diantara mereka terdapat para pendeta dan rahib yang tidak menyombongkan diri. Apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau akan melihat air mata berlinangan mengalir dari mata mereka karena mengetahui kebenaran. Mereka pun mengatakan:’Wahai Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami termasuk kedalam orang-orang yang menyaksikan”. (QS Al-Maidah: 82-83)
Ayat diatas menggambarkan bekas yang sangat kuat pada perasaan tatkala mendengarkan Al-Qur’an. Air mata bercucuran mengalir dari mata mereka karena mengetahui kebenaran. Ini, tanpa sedikit pun keraguan, benar-benar menunjukkan pengaruh yang kuat dari kebenaran Al-Qur’an. Ayat berikut ini juga memperkuat fenomena tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang dikaruniai ilmu sebelumnya, apabila dibacakan Al-Qur’an kepada mereka maka mereka segera sujud bersungkur,dan mengatakan:’Maha suci Rabb kami. Janji Rabb kami pasti terlaksana’. Mereka pun bersujud sambil menangis, dan mereka pun bertambah khusyu’”. (Al-Isra’: 107)
Demikian pula ayat berikut ini, tentang orang-orang yang takut kepada Rabb mereka.
“Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan berupa sebuah kitab yang ayat-ayatnya mutasyabih (serupa satu sama lain) dan berulang-ulang, yang mampu membuat merinding kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka, kemudian kulit dan hati mereka pun menjadi tenang dengan mengingat Allah”. (QS Al-Zumar: 23)
Demikianlah: (( ayat-ayatnya mampu membuat merinding kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka)), ((mereka pun bersujud sambil menangis, dan mereka pun bertambah khusyu’)), ((engkau akan melihat air mata berlinangan mengalir dari mata mereka))… Semua itu merupakan pengaruh yang begitu membekas pada jiwa, menggerakkan perasaan, dan membuat air mata berlinangan. Orang-orang yang beriman begitu nikmat mendengarkannya, lalu bergegas menyambutnya, sebagaimana orang yang tersihir. Sebaliknya, orang-orang yang menyombongkan diri mengatakan,”Sesungguhnya Al-Qur’an itu hanyalah sihir yang dilontarkan”, atau mengatakan,”Janganlah kalian mendengarkan Al-Qur’an dan abaikanlah agar kalian tidak takluk kepadanya”. Mereka pada dasarnya telah mengakui kemukjizatan Al-Qur’an yang terkalahkan tanpa mereka sadari, atau mereka sadari!
SUMBER ADANYA ‘SIHIR’ DALAM AL-QUR’AN
Bagaimana Al-Qur’an bisa mempengaruhi bangsa Arab kala itu sedemikian rupa? Bagaimana pula mereka, yang mukmin maupun yang kafir, sama-sama mengakui adanya kekuatan ‘sihir’ Al-Qur’an?
Sebagian pakar dalam masalah keunggulan-keunggulan Al-Qur’an melihat Al-Qur’an secara keseluruhan kemudian memberikan jawaban. Sebagian yang lain menyebutkan hal-hal selain aspek artistik, yakni tema-tema Al-Qur’an sesudah sempurna, sebagai sebabnya. Yang mereka maksud antara lain pensyariatan yang cermat dan cocok untuk setiap waktu dan tempat, pengabaran gaib yang terbukti kebenarannya setelah beberapa tahun, dan ilmu-ilmu alam yang dikandung Al-Qur’an baik mengenai penciptaan alam maupun manusia.
Namun, tinjauan semacam itu hanyalah menetapkan kelebihan Al-Qur’an sesudah sempurnanya. Bagaimana dengan beberapa surat – meskipun sedikit – yang tidak mengandung tasyri’, kabar gaib, maupun ilmu alam? Sesungguhnya beberapa surat yang sedikit itu telah mampu menyihir bangsa Arab sejak awal turunnya Al-Qur’an, dimana saat itu belum ada tasyri’ ataupun tema-tema besar. Namun justru surat-surat tersebut itulah yang telah menyentuh perasaan mereka dan membuat mereka terkagum-kagum.
Dengan demikian, tidak bisa tidak, surat-surat yang sedikit itu mesti mengandung unsur yang bisa menyihir pendengarnya dan mempengaruhi perasaan mereka baik mukmin maupun kafir. Dan apabila kita memperhitungkan pengaruh Al-Qur’an terhadap masuk Islamnya kaum muslimin saat itu, maka surat-surat yang turun awal-awal sangatlah besar andilnya, meskipun jumlah muslimin saat itu hanya sedikit. Hal ini karena saat itu secara dominan mereka benar-benar terpengaruh oleh Al-Qur’an saja, kemudian beriman. Adapun kebanyakan orang yang masuk Islam setelah kaum muslim telah banyak dan agama Islam telah kuat, maka ada banyak hal lain bersama-sama Al-Qur’an yang mempengaruhi mereka yang kemudian masuk Islam. Masing-masing dari mereka melewati jalan yang berbeda-beda dalam memasuki Islam. Jadi, dalam hal ini Al-Qur’an bukanlah satu-satunya agen efektif dalam proses keislaman mereka. Hal ini tentu saja berbeda dengan yang terjadi pada awal-awal dakwah Islam.
Sebagian dari mereka beriman karena mereka terkesan dengan akhlaq Rasulullah saw dan para sahabatnya – semoga Allah meridhai mereka.
Sebagian beriman karena mereka simpatik ketika mendapatkan bahwa kaum muslimin menanggung penderitaan, kesempitan, dan siksaan serta meninggalkan keluarga dan karibnya hanya untuk menyelamatkan agama dan bergegas menyambut seruan Tuhan.
Sebagian beriman karena mereka menyaksikan bahwa Muhammad – yang hanya sedikit pengikutnya – ternyata tak terkalahkan oleh siapapun juga. Allah senantiasa menolong dan menjaga kaum mukmin dari makar orang-orang yang membuat makar.
Sebagian beriman setelah syariat Islam ditegakkan sehingga mereka melihat keadilan dan keterbukaan didalamnya, yang mana hal itu belum pernah mereka lihat sebelumnya dalam aturan-aturan yang ada.
Sebagian yang lain lagi beriman dengan jalan yang berbeda-beda, dimana terkadang melibatkan Al-Qur’an sebagi salah satu unsurnya namun bukan unsur dominan sebagaimana yang terjadi pada awal-awal dakwah Islam.
* * *
Dengan demikian kita harus mencari sumber adanya ‘sihir’ dalam Al-Qur’an sebelum adanya tasyri’ hukum, pengabaran gaib, dan ilmu-ilmu alam, serta sebelum Al-Qur’an mencapai bentuknya yang lengkap dan sempurna. Al-Qur’an yang sedikit, yang ada pada awal-awal dakwah, masih belum mengandung semua itu sebagaimana pada masa-masa setelahnya. Dengan demikian, Al-Qur’an yang sedikit itu mesti hanya mengandung suatu sumber yang asli yang mampu dirasakan oleh bangsa Arab sehingga mereka mengatakan,”Sesungguhnya Al-Qur’an tidak lain hanyalah sihir yang dilontarkan”.
Kisah berpalingnya Al-Walid ibn Al-Mughirah terdapat dalam surat Al-Muddatstsir – surat yang biasanya dikatakan sebagai surat ketiga dalam urutan turunnya wahyu, didahului oleh surat Al-‘Alaq dan surat Al-Muzzammil, namun secara umum dapat dikatakan bahwa surat Al-Muddatstsir merupakan salah satu dari surat-surat yang mula-mula turun.
Jika kita memperhatikan surat surat makkiyah – sebagai contoh – maka kita akan dapat memahami ‘sihir’ macam apa yang ada didalamnya, yang bisa membuat orang seperti Al-Walid tergetar sedemikian rupa.
Setelah kita membaca ayat demi ayat dalam surat-surat makkiyah, kita akan dapati bahwa disana tidak ada tasyri’ hukum, ilmu alam – kecuali isyarat ringan mengenai penciptaan manusia dari segumpal darah - , ataupun pengabaran gaib yang baru ada setelah beberapa tahun kemudian seperti yang ada dalam surat Al-Ruum (surat ke-84).
Lalu dimana gerangan sihir sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Al-Mughirah setelah ia berpikir dan menimbang-nimbang?
Tidak bisa tidak, dengan demikian, bahwasanya sihir yang ia maksudkan terdapat dalam aspek yang lain selain tasyri’, kabar gaib, dan ilmu alam. Tidak bisa tidak sihir itu mesti terdapat dalam susunan lafazh-lafazh Al-Qur’an itu sendiri, bukan dalam tema-tema yang dikandungnya saja, meskipun kita juga tidak mengabaikan kekuatan dan pengaruh aqidah Islam. Jadi, adanya ‘sihir’ itu ternyata muncul dari alunan lafazh-lafazh Al-Qur’an itu sendiri, yang indah, membekas, efektif, dan memberikan kesan yang mendalam.
Mari kita perhatikan surat yang pertama, yakni surat Al-‘Alaq. Surat ini mengandung lima belas hentian pendek-pendek (fashilat qashirat), sehingga barangkali sepintas lalu menyerupai sajak-sajak sihir atau kata-kata mutiara bersajak yang sangat dikenal oleh bangsa Arab kala itu!
Ada yang mengatakan bahwa itu semua tidak lain hanyalah kalimat-kalimat yang berserakan saja, tanpa ikatan dan pautan satu sama lain. Apakah demikian keadaan surat Al-‘Alaq?
Jawabnya: Tidak! Surat tersebut merupakan pautan-pautan yang serasi, hentian-hentiannya saling berikatan satu sama lain secara internal dan cermat. Demikianlah surat pertama dalam Al-Qur’an.
PENGGAMBARAN ARTISTIK
Penggambaran merupakan instrumen utama dalam gaya bahasa Al-Qur’an. Ia diungkapkan dengan gambar inderawi imajinatif tentang makna intelektual dan kondisi jiwa; tentang peristiwa yang terindera dan fenomena yang terlihat; tentang model manusia dan karakter manusia.
Ia menampilkan sebuah gambaran yang membentuk sebuah kehidupan yang aktif atau gerakan-gerakan yang aktual. Makna intelektual dinyatakan dalam bentuk atau gerakan. Kondisi jiwa dinyatakan dalam fenomena atau secara teatrikal. Model manusia dinyatakan dalam sesosok manusia yang benar-benar hidup. Karakter manusia dinyatakan secara fisikal.
Peristiwa dan fenomena, cerita dan pemandangan, menampilkan sosok-sosok yang benar-benar hadir; disana ada kehidupan, disana ada gerakan-gerakan. Apabila disana terdapat dialog maka ia berlangsung dengan melibatkan segenap unsur imajinasi. Implikasinya, sewaktu seseorang membaca atau mendengarkan ayat-ayatnya maka ia menjadi lupa bahwa ayat-ayat tersebut adalah kalimat-kalimat yang dibaca atau perumpamaan-perumpamaan yang disuguhkan. Sebaliknya, ia merasakan gerakan-gerakan, pemandangan, atau peristiwa yang benar-benar nyata.
Disini ada kehidupan, bukan kisah tentang kehidupan!!
Apabila kita menyadari bahwa semua itu ternyata hanyalah huruf-huruf dan lafazh-lafazh yang diam, yang tidak berwarna-warni dan tidak pula bersosok, maka kita pun sadar bahwa itu merupakan sebagian dari rahasia kemukjizatan dalam gaya pengungkapan Al-Qur’an.
Penggambaran dalam Al-Qur’an meliputi penggambaran dengan warna, gerakan, realitas dan aktualitas, yang kebanyakan muncul bersama-sama dengan deskripsi, dialog, denting kata-kata, lantunan ungkapan, dan irama susunan kalimat, yang semuanya memunculkan gambaran-gambaran yang dapat diindera dengan mata dan telinga, rasa dan imajinasi, pikiran dan perasaan.
CONTOH MAKNA INTELEKTUAL YANG DITAMPILKAN DALAM BENTUK GAMBARAN INDERAWI
- Tidak akan pernah diterimanya orang-orang kafir dan juga kemustahilan masuk surga bagi mereka : ibarat mustahilnya unta bisa masuk kedalam lubang jarum. (QS Al-A’raf : 40)
- Musnahnya seluruh amalan yang pernah diperbuat oleh seseorang apabila dia menjadi kafir : ibarat debu-debu yang beterbangan (QS Al-Furqan : 23) atau abu yang diterpa angin badai. (QS Ibrahim : 18)
- Sia-sianya sedekah yang disertai dengan makian atau sesuatu yang menyakitkan : ibarat debu yang terdapat diatas batu lalu diguyur oleh hujan deras. (QS Al-Baqarah : 264)
- Sebaliknya, keberkahan dan manfaat dari bersedekah yang didasarkan pada niatan untuk menggapai ridha Allah : ibarat kebun yang subur dengan buahnya yang berlimpah ruah. (QS Al-Baqarah : 265)
- Sia-sianya memohon kepada tuhan-tuhan selain Allah : ibarat orang yang membentangkan kedua telapak tangannya pada permukaan air lalu pada saat yang sama ingin menyentuhkan mulutnya ke air tersebut. (QS Al-Ra’du : 14)
- Sia-sianya permohonan orang-orang kafir: ibarat orang yang memanggil orang yang tidak bisa mendengar. (QS Al-Baqarah : 171)
- Lemah dan rapuhnya berwali pada selain Allah : ibarat laba-laba yang membangun rumahnya yang rapuh itu. (QS Al-‘Ankabut : 41)
- Celakanya orang yang syirik kepada Allah : ibarat sesuatu yang jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterpa oleh angin ke tempat yang jauh. (QS Al-Hajj : 31)
CONTOH KONDISI KEJIWAAN YANG DITAMPILKAN DALAM BENTUK GAMBARAN INDERAWI
- Tersesatnya jiwa orang yang syirik kepada Allah : ibarat disesatkannya seseorang oleh syaithan di suatu tempat yang menakutkan dalam keadaan bingung dan linglung. (QS Al-An’am : 71)
- Kondisi jiwa-jiwa yang memperturutkan hawa nafsu setelah sebelumnya memperoleh pengetahuan : ibarat anjing yang menjulurkan lidahnya setiap saat, baik tatkala dihalau ataupun tidak. (QS Al-A’raf : 176)
- Kondisi seseorang yang jiwanya tenang tatkala memperoleh kebaikan namun resah dan menggerutu tatkala ditimpa cobaan : ibarat orang yang berdiri di atas satu sisi sempit. (QS Al-Hajj : 11)
- Kondisi jiwa-jiwa yang masih tersesat dan belum dipersatukan dalam iman : ibarat orang-orang yang berada di tepi jurang neraka. (QS Ali ‘Imran : 103)
- Jiwa yang tidak melandaskan pembangunan tempat ibadahnya pada taqwa, keridhaan Allah dan kebaikan : seperti orang yang mendirikan bangunan di tepi jurang yang longsor sehingga seketika itu juga dia turut jatuh terperosok kedalam jurang yang longsor itu. (QS Al-Taubah : 109)
MODEL MANUSIA
Pemodelan manusia ditampilkan secara mudah dan ringkas, yakni biasanya hanya dengan satu atau dua kalimat, namun sudah membentuk model sesosok manusia yang hidup, nyata, dan penuh dengan cita rasa inderawi.
Pemodelan ini mengambil gambaran-gambaran yang alami dan asasi sehingga tidak akan pernah lekang oleh zaman, berlaku dalam segenap masyarakat dan budayanya, serta melampaui batas-batas zaman dan generasi.
Contoh:
- Model manusia yang hanya mendekat dan memohon kepada Allah tatkala ditimpa penderitaan, namun jika sudah terlepas dari penderitaan maka dia menjauh dari-Nya seolah-olah tidak pernah memohon kepada-Nya.
- Model manusia yang lemah aqidahnya. Ia tetap memegang aqidahnya tatkala mendapatkan kebaikan. Namun jika ia mendapat cobaan maka ia lepaskan aqidahnya itu.
- Model manusia yang hanya mengakui kebenaran jika itu datang dari dirinya, namun jika kebenaran itu datang dari atau terdapat pada orang lain maka dia mengingkarinya.
- Model manusia yang lari dari kebenaran karena dalam dirinya merasa tinggi hati namun sekaligus lemah. Ketinggian hati membuatnya menolak kebenaran sementara ia lemah karena tidak mampu menghadapi tantangan kebenaran itu.
- Model manusia yang lari dari kebenaran dengan cara yang hina.
- Model manusia yang penampilannya menakjubkan dan mengagumkan padahal hatinya busuk.
- Model manusia yang suka dipuji-puji atas sesuatu yang tidak ia lakukan.
Mengenal Sastra Al-Qur'an
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Rasulullah Muhammad saw. Kemukjizatan tersebut bisa dilihat dari beberapa sisi. Terutama dalam masa-masa awal dakwah Nabi di Makkah, kemukjizatan Al-Qur’an sangat terlihat pada sisi-sisi sastranya. Kedahsyatan sastra Al-Qur’an saat itu bisa menyihir manusia baik yang akhirnya menjadi mukmin seperti Umar bin Al-Khaththab maupun yang akhirnya tetap kafir seperti Al-Walid bin Al-Mughirah. Tidaklah aneh jika Sayyid Quthb menyebutnya sebagai sihir Al-Qur’an yang tak terkalahkan. Tidaklah mengherankan apabila pada periode Makkah Al-Qur’an sangat menonjolkan sisi-sisi sastranya, sebab masyarakat Makkah saat itu sangat mahir dalam dunia sastra. Bahkan konon para penyair Makkah sudah terbiasa menggubah syair-syair yang indah secara spontan.
Kekuatan sastra Al-Qur’an merupakan faktor yang sangat penting bagi masuk Islamnya generasi awal dakwah Nabi. Hal ini berbeda dengan masuk Islamnya generasi-generasi selanjutnya, yang bisa jadi karena simpati mereka terhadap kesempurnaan syariat Islam, karena mereka menyaksikan bahwa Nabi selalu menang dan ditolong oleh Allah, karena terkesan dengan akhlaq Nabi, atau karena sebab-sebab lain yang barangkali melibatkan Al-Qur’an namun bukan sebagai faktor utama.
Pengetahuan Dasar Adzan & Iqamat
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Kita disyariatkan untuk mengumandangkan adzan di masjid sebagai pertanda masuknya waktu sholat dan untuk memanggil umat Islam agar datang ke masjid menunaikan sholat fardhu secara berjamaah. Karena itu, waktu adzan yang paling utama adalah saat masuknya waktu sholat.
Adzan hendaknya diucapkan dengan lantang. Tetapi, kalimat adzan tidak boleh diucapkan dengan cara yang berlebihan sehingga mengubah lafal dan maknanya. Sang muadzin hendaknya berwudhu terlebih dahulu, suci dari najis, dan menutup aurat (sebagaimana kalau dia melakukan sholat) serta menghadap ke kiblat. Hendaknya dia berhenti sejenak diantara kalimat-kalimat adzan.
Khusus untuk adzan shubuh, disunnahkan untuk menambahkan kalimat tatswib “Ashsholatu khairun minan naum” dua kali sesudah “hayya ‘alal falaah”. Adzan shubuh bisa dilakukan satu kali dan bisa pula dilakukan dua kali. Untuk yang dua kali, yang pertama dikumandangkan beberapa saat sebelum masuknya waktu shubuh, sedangkan yang kedua dikumandangkan saat masuknya waktu shubuh.
Pengetahuan Dasar Sholat Sunnah
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Sholat sunnah sering pula disebut sebagai sholat tathawwu’ atau sholat nawafil. Sholat sunnah pada dasarnya bisa dilakukan secara mutlaq dua rakaat-dua rakaat kapanpun juga selain pada waktu-waktu yang dilarang untuk sholat. Disamping itu, terdapat pula sholat-sholat sunnah dengan tujuan khusus. Sholat-sholat tersebut adalah sebagai berikut :
Sholat Sunnah Rawatib
Sholat sunnah rawatib ialah sholat sunnah yang dilakukan mengiringi sholat fardhu, baik sebelumnya (qabliyah) ataupun sesudahnya (ba’diyah). Sholat-sholat rawatib sunnah muakkadah adalah dua rakaat sebelum shubuh (memiliki keutamaan yang sangat besar), dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat sesudah zhuhur, dan dua rakaat sesudah maghrib. Khusus untuk dua rakaat sebelum shubuh, hendaknya dilakukan dengan singkat. Disamping itu terdapat pula sholat-sholat sunnah ghairu muakkadah, yakni dua rakaat sebelum zhuhur (selain yang muakkadah), dua rakaat sesudah zhuhur (selain yang muakkadah), dua rakaat sebelum ashar, dua rakaat sebelum maghrib, dan dua rakaat sebelum isya’.
Sholat sunnah rawatib sangat penting kedudukannya karena ia dapat menyempurnakan sholat fardhu kita andaikata kurang sempurna kualitasnya.
Pengetahuan Dasar Fiqih Sholat
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Pengantar Sholat
Sholat menurut bahasa berarti doa. Adapun menurut peristilahan, sholat ialah ibadah tauqifi yang sudah sangat dikenal, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Perintah menegakkan sholat tersebar sangat banyak dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Diantaranya, Allah berfirman : “Sesungguhnya sholat adalah kewajiban yang telah ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman”. Sholat merupakan rukun Islam yang kedua, setelah syahadat. Ia adalah tiang agama. Nabi saw bersabda “Sholat adalah tiang agama. Barangsiapa menegakkannya maka ia telah menegakkan agama, dan barangsiapa meninggalkannya maka ia telah merobohkan agama”. Ia juga merupakan benteng terakhir seorang muslim, karena Islam itu memiliki simpul-simpul yang akan terurai satu demi satu dimana yang akan terakhir kali terurai adalah sholat.
Halaman 60 dari 69