ImageSecara lughawi, ikhtilath berarti percampuran. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, kata ikhtalatha sering digunakan untuk menyatakan ungkapan semisal “Susu dan kopi itu bercampur”. Secara istilahiy, ikhtilath sering diartikan sebagai percampuran antara orang-orang yang berlainan jenis - bukan antara suami dan istri-istrinya, bukan pula sesama mahram – tanpa adanya hijab. Jadi ikhtilath dihindari dengan cara memakai hijab. Para ulama berbeda pendapat mengenai bagaimanakah hijab itu?

Secara menyeluruh, hijab tidaklah hanya bermakna hijab zhahiriy, namun juga mencakup hijab maknawiy. Hijab maknawiy adalah hakikat yang dituju, sementara hijab zhahiriy adalah sarana yang dipakai untuk bisa memiliki hijab maknawiy. Hijab maknawiy yang dimaksud adalah kesucian hati akibat keter-hijab-annya terhadap keinginan yang hina dan keji. Kesucian hati merupakan ‘illah pensyariatan hijab yang disebutkan (manshushah) dalam Al-Qur’an (Ayat Hijab). Jadi apabila hijab zhahiriy tidak dibarengi dengan terciptanya hijab maknawiy maka hal itu masih belum memenuhi tuntutan syariat.

Dalam hal hijab zhahiriy, terdapat berbagai pendapat. Secara singkat berbagai pendapat tersebut bisa disimpulkan menjadi bahwasanya hijab mungkin berupa pemisah fisik dan atau jarak yang memisahkan. Jika hijab tersebut adalah pemisah fisik (dinding, kain, dan sebagainya) maka persoalannya sudah jelas. Namun, apabila hijab tersebut berupa jarak pemisah maka harus dipastikan agar setiap orang bisa menjaga pandangannya.

Ayat tentang hijab (QS Al-Ahzab: 53) diturunkan dengan khithab ditujukan kepada istri-istri Nabi.

Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah kepada mereka dari balik hijab. Yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”.

Syaikh ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Abdullah ibn Baz dalam sebuah makalahnya yang berjudul “Hukm al-Sufur wa al-Hijab” menyatakan bahwa ayat ini tertuju kepada seluruh kaum mukminah, bukan semata-mata untuk para istri Nabi.

Namun apabila kita cermati ayat 53 surat Al-Ahzab tersebut secara keseluruhan maka akan kita dapati bahwa konteks ayat itu adalah antara keluarga Nabi dan para sahabat. Apalagi, kalau kita bandingkan antara ayat ini dengan ayat 59 pada surat yang sama maka kita akan mendapatkan suatu perbandingan yang istimewa. Pada ayat 59, disamping menyeru para istri Nabi, Allah juga menyeru anak-anak perempuan beliau dan para wanita beriman pada umumnya. Kalau memang dengan hanya menyeru para istri Nabi, seruan sudah secara otomatis tertuju pada seluruh kaum mukminah, buat apa Allah melakukan penghambur-hamburan kata dengan menyebut secara khusus kaum mukminah? Dengan melihat fenomena ini maka penulis berpendapat – wa al-Lah a’lam – bahwa seruan pada ayat 53 memang hanya tertuju pada para istri Nabi, sehingga perintah meminta sesuatu melalui hijab hanyalah berlaku terhadap para istri Nabi. Kekhususan ini wajar karena para istri Nabi adalah pribadi-pribadi yang istimewa, tidak sama dengan kebanyakan mukminah (QS Al-Ahzab: 32). Apabila para istri Nabi melakukan kebaikan maka pahalanya akan dilipatgandakan dua kalinya (QS Al-Ahzab :31). Demikian pula sebaliknya, apabila mereka melakukan perbuatan keji maka dosanya akan dilipatgandakan dua kalinya (QS Al-Ahzab: 30). Adapun terhadap kaum mukminah pada umumnya maka Allah melarang adanya ikhtilath dengan para pria (untuk menghindari fitnah) melalui ayat-ayat yang lain.

Pola pemahaman terhadap khithab seperti yang penulis kemukakan diatas adalah seperti pemahaman yang dipakai oleh Ibn Taimiyyah. Beliau mengatakan bahwa ketika Allah memberikan khithab kepada para istri Nabi (azwaj al-Nabiy, nisa’ al-Nabiy) maka hamba sahaya (al-ima’) tidak termasuk disitu. Hamba sahaya baru akan ter-khithab apabila disebutkan secara spesifik. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, jilid 15: kitab Tafsir, hal. 448)

Pola pemahaman semacam ini sebetulnya didasarkan pada tradisi bahasa (al-‘urf), tentu saja pada saat Al-Qur’an diturunkan. Karena itu, khithab terhadap laki-laki berarti pula khithab terhadap perempuan. Namun, khithab terhadap perempuan tidak mencakup laki-laki. Begitulah tradisi bahasa Arab. Sementara, apabila khithab ditujukan kepada laki-laki dan perempuan sekaligus maka tujuannya adalah untuk penegasan atas persamaan (al-musawah).