Salah satu asholah dakwah adalah kebebasan memilih. Kebebasan memilih tidak pernah boleh direnggut. Jika Allah Sang Maha Pencipta telah menetapkan kebebasan itu semenjak manusia dilahirkan, bagaimana kita akan merampasnya?
Memahami kebebasan manusia untuk memilih ini amat penting terkait dengan dakwah Islam. Berkali-kali Allah dalam Al-Qur’an mengatakan kepada Nabi,”Tidaklah engkau ini (wahai Muhammad) kecuali sekedar penyampai saja”. Jadi, Allah menegaskan bahwa Nabi saw hanyalah penyampai saja. Adapun mengenai sikap mereka setelah itu, menerima atau menolak, maka itu bukanlah urusan Nabi saw. Hidayah adalah urusan Allah. Dia memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki.
Apakah Nabi telah gagal berdakwah karena paman terdekatnya sendiri, Abu Thalib, tidak mau menerima Islam? Apakah Nabi Nuh telah gagal berdakwah karena pengikutnya hanya berjumlah segelintir orang saja, padahal telah berdakwah dalam waktu yang sangat lama? Bahkan apakah beliau telah gagal karena anaknya sendiri, Kan’an, ternyata durhaka kepada Allah? Apakah Nabi Luth telah gagal berdakwah karena isterinya sendiri ternyata durhaka kepada Allah? Alangkah lancangnya jika kita berani mengatakan bahwa mereka telah gagal berdakwah! Mereka semua telah sukses berdakwah, dalam pandangan Allah swt. Sesungguhnya Allah hanya menilai prosesnya, sementara hasil bukanlah urusan kita. Kita berusaha, Allah yang menentukan.
Karena itu, janganlah kita pernah mencela seseorang apabila ia memiliki anggota keluarga yang belum islami. Kita hanya boleh menyalahkannya apabila ia tidak pernah melakukan dakwah kepada anggota keluarganya tersebut. Kemuliaan Nabi Muhammad tidak berkurang karena kafirnya Abu Thalib, pamannya sendiri. Kemuliaan Nabi Nuh tidak berkurang karena kedurhakaan anaknya sendiri. Kemuliaan Nabi Luth tidak berkurang karena kedurhakaan isterinya sendiri. Tetapi kita harus mencatat, bahwa mereka semua telah melakukan dakwah secara optimal kepada orang-orang yang akhirnya durhaka tersebut.