Dahulu, kita memiliki novel-novel yang senantiasa bertemakan perjuangan. Novel-novel itu akhirnya semakin banyak dicetak karena semakin banyak peminatnya. Karena peminatnya itu mempunyai gaya hidup dan budaya yang beragam, maka tema-tema novel kita pun semakin beragam pula. Kini muncul pula novel-novel cinta, novel-novel gaul, dan sebagainya. Ternyata, semakin lama novel-novel itu akhirnya sulit dibedakan dengan novel-novel populer jaman dulu. Yang berbeda hanyalah penerbitnya saja.
Dan akhirnya, adanya usaha-usaha sebelumnya untuk mencetak novel-novel bertema perjuangan itu seakan-akan tidak ada artinya, karena toh akhirnya kembali kepada tren novel sebagaimana sebelum novel-novel perjuangan itu ada. Sehingga…, novel-novel perjuangan itu tidak lebih hanyalah sepenggal sejarah dari sejarah panjang dunia pernovelan.
Mumpung belum terlalu jauh, kita harus menguatkan tekad kita untuk tidak kalah dalam akulturasi dan perang budaya ini. Kita harus kuat, percaya diri, tidak mudah larut, tidak mudah terbawa arus, dan siap menjadi ghuraba' (tentunya yang dimaksud dengan ghuraba' disini tidaklah asal beda begitu saja).
Membuat suatu hal yang masih asing bisa diterima masyarakat ibaratnya adalah melawan sebuah gelombang yang menerpa diri kita. Memang tidak mudah, tetapi juga bukan tidak mungkin. Sangat banyak hal-hal yang sekarang lumrah ditengah-tengah masyarakat dahulunya adalah hal-hal yang aneh dan asing bagi banyak orang. Sebagai contoh, teh botol. Pertama kali ide pembuatan teh botol ini muncul, banyak orang merespons sinis dan skeptis. Lha wong teh kok dibotolin? Tapi ternyata, para pengusung ide ini tidak pernah patah arang. Hasilnya, sekarang teh botol ini sudah menjadi minuman yang sangat jamak di tengah-tengah kita semua. Contoh yang lebih heboh lagi: air mineral dalam botol. Dahulunya orang-orang betul-betul tidak habis pikir apakah mungkin air putih bisa dijual? Lha wong negeri kita ini kaya air. Namun sekarang kita bisa melihat sendiri bahwa air putih dalam kemasan ini bahkan bisa lebih mahal daripada bensin.
Kesimpulannya, kita harus kuat bertahan dalam idealisme kita. Asalkan bukan idealisme buta saja. Kita harus bekerja keras untuk bisa mewujudkan dan menguatkan eksistensi idealisme kita. Namun tentu saja tidak berarti kemudian kita menjadi orang-orang yang anti-realitas karena bagaimanapun kita juga hidup dalam realitas. Yang penting, kita jangan sampai menyerah kepada realitas.