Islam adalah agama universal, untuk seluruh umat manusia. Islam bukan agama rasial seperti Yahudi. Islam bukan pula agama orang Arab saja. Dalam Islam, kemuliaan diukur dari kadar ketakwaan. “Inna akramakum ‘indallahi atqaakum”. Derajat seseorang juga akan diangkat oleh Allah karena kadar keimanan dan keilmuan. Yang dimaksud dengan keilmuan adalah ketaqwaan itu sendiri. “Innama yakhsyallaha min ‘ibaadihil ‘ulamaa”.

ImageSiapa yang kita ajak kepada cahaya Islam? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita tengok beberapa kejadian dalam sirah Nabi, yang relevan dengan pertanyaan tersebut. Suatu ketika Nabi sedang berusaha mengislamkan beberapa borjuis dan orang penting Quraisy. Barangkali, Nabi berharap bahwa keislaman mereka akan membawa progres dakwah yang pesat, karena mereka merupakan orang-orang yang sangat berpengaruh dan juga simpul massa (memiliki banyak pengikut). Ketika Nabi sedang asyik berbincang-bincang dengan mereka, datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang buta yang papa, meminta kepada Nabi agar juga mau mengajarkan Islam kepadanya. Tetapi, permintaan Ibnu Ummi Maktum itu telah membuat Nabi menjadi bermasam muka, karena barangkali mengganggu perbincangan diplomatis beliau dengan para petinggi Quraisy. Saat itulah, Allah yang Maha Bijaksana memberikan teguran - QS ‘Abasa - kepada Nabi untuk tidak bermasam muka kepada Ibnu Ummi Maktum, yang meskipun papa akan tetapi memiliki kemauan yang besar untuk berubah menjadi baik.

Lagi! Ketika Abu Sufyan ditanya oleh Heraklius tentang siapakah para pengikut Muhammad, maka dengan apa adanya Abu Sufyan menjawab bahwa para pengikut Muhammad adalah orang-orang yang lemah. Setelah menyimak ciri-ciri Muhammad sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Sufyan, maka Heraklius pun membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad.

Kita sangat mengetahui bahwa pada masa-masa awal Islam, para pengikut Nabi adalah orang-orang seperti Bilal, Ibnu Ummi Maktum, Ammar, Shuhaib, Khabbab, dan sederet orang-orang papa dan lemah. Mereka bukanlah orang-orang yang berpengaruh. Mengapa Nabi tidak berpikir bahwa tidak ada gunanya menerima keislaman mereka dengan alasan kurang prospektif bagi progres dakwah?

Namun di sisi yang lain, kita juga tidak bisa melupakan bahwa Nabi juga pernah berdoa agar Hamzah atau Umar masuk Islam, karena keduanya sangat ditakuti oleh orang-orang Quraisy. Begitu pula, betapa gembiranya Nabi ketika Mush’ab ibn Umair yang biasa bergelimang dengan kemewahan akhirnya masuk Islam. Dan ternyata, memang Mush’ab ibn Umair di kemudian hari memiliki kontribusi yang cukup besar dalam merintis dakwah Islam ke Madinah.

Kalau kita mencermati beberapa peristiwa diatas, maka kita akan sadar bahwa tidak ada tuntunan atau contoh dari Nabi agar kita memilih-milih obyek dakwah meskipun dengan alasan progresivitas dakwah. Kita boleh berusaha keras merangkul kalangan elit tetapi pada saat yang sama kita juga harus berusaha keras untuk merangkul kalangan yang lemah dan papa. Masih ingatkah kita dengan dakwah Imam Hasan Al-Banna yang dimulai dari warung-warung kopi? Namun pada saat yang sama, beliau juga berusaha mendekati para ulama Al-Azhar.

Tidakkah kita pernah merasa bahwa sebetulnya diluar sana banyak sekali orang yang juga ingin merasakan nikmatnya sentuhan Islam? Mereka amat ingin, namun pada saat yang sama mereka merasa minder karena mereka menyangka bahwa Islam yang indah itu adalah Islam yang eksklusif, bahwa Islam yang indah itu hanyalah milik orang-orang terpelajar saja.

Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa dakwah kita selama ini masih lebih banyak menyentuh kalangan terpelajar saja. Akan tetapi, janganlah kenyataan ini kemudian membentuk pola pikir bahwa dakwah ini hanyalah untuk kalangan tertentu saja.

Memang, barangkali kalangan terpelajar lebih mudah menerima dakwah kita. Itu wajar. Masyarakat kota di Madinah juga lebih mudah memahami dan melaksanakan Islam dengan baik dibandingkan dengan masyarakat Badui yang nomaden. Akan tetapi, marilah kita berpikir kembali apakah tidak ada orang-orang di luar sana yang juga memiliki hasrat yang besar untuk memahami Islam dan melaksanakannya dengan baik?

Kita sangat tidak menginginkan bahwa nanti akan muncul banyak label Islam : Islamnya mahasiswa, Islamnya profesional, yang berbeda dengan Islamnya buruh, Islamnya petani, Islamnya pemuda jalanan, dan sebagainya. Tidak! Label Islam hanya ada satu : Islam dengan aqidah yang satu. Ketika seseorang telah merengkuh cahaya Islam, maka ia harus menanggalkan seluruh atributnya kecuali atribut Islam. Jika ia tidak mau, berarti ia belum siap untuk berislam secara tulus dan total. [Ingatlah Mush’ab ibn Umair yang telah menanggalkan baju-baju kemegahan dunianya, dan rela mengenakan baju-baju lusuh, karena ia hanya menginginkan satu atribut : atribut Islam! ]

Renungan : Suatu saat ada seorang profesional bergelar S2 yang ingin belajar tentang Islam. Ia bertanya-tanya kepada rekan-rekannya dimana kiranya ia bisa belajar tentang Islam. Setelah jelas dimana ia bisa belajar, ternyata ia mengajukan sebuah syarat yang sangat mengejutkan. Ia mengatakan,”Saya tidak mau belajar tentang Islam kecuali jika yang mengajari dan membimbing saya itu minimal S2 juga. Jika tidak, lebih baik saya tidak belajar”. Masya Allah! Apakah dia mengira bahwa Islam itu sekedar penghias bagi kepongahan intelektual dan elitismenya? Ia menginginkan atribut Islam, tetapi pada saat yang sama belum rela menanggalkan atribut-atribut elitismenya. Apakah seorang Bilal yang amat bertaqwa tidak layak mengajarkan Islam kepada Abu Jahal yang seorang bangsawan? “Inna akramakum ‘indallahi atqaakum”.