ImageUntuk menjawab pertanyaan pada judul diatas, marilah kita tengok sejenak perjalanan dakwah Nabi saw. Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah) merupakan titik awal yang sangat signifikan bagi perluasan dakwah Islam. Setidaknya ada beberapa ciri yang menandai perluasan dakwah Islam pasca Fathu Makkah.

Motif orang untuk masuk Islam menjadi semakin beragam.

Mereka yang masuk Islam pasca Fathu Makkah biasa dikenal sebagai thulaqa’ (jamak dari thaliq). Sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Sabiq dalam buku beliau “At-Tashwiirul Fanniy fil Qur’aan”, motif keislaman masyarakat Arab senantiasa berkembang dari waktu ke waktu dalam perjalanan kerasulan Muhammad. Ketika Nabi masih tinggal di Makkah, yang menjadi motif dominan adalah kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri. Sesudah Nabi hijrah ke Madinah dan kaum muslimin sudah memiliki kekuasaan dan kekuatan, maka ada orang yang kemudian masuk Islam karena melihat keadilan, keindahan dan kesempurnaan syariat Islam, ada yang masuk Islam karena melihat bahwa kaum muslimin senantiasa menang dalam peperangan, demikian seterusnya. Sesudah Nabi membebaskan Kota Makkah, maka manusia berbondong-bondong masuk Islam (QS Al-Nashr). Tentu saja motif keislaman mereka juga semakin beragam. Barangkali ada juga yang masuk Islam karena tidak ada jalan lain untuk mendapatkan kehidupan yang lebih prospektif kecuali dengan masuk Islam, atau masuk Islam karena ingin mendapatkan banyak rampasan perang (ghanimah), dan sebagainya. Apakah itu mungkin? Sangat Mungkin! Bayangkan betapa gentarnya penduduk Makkah ketika pasukan Islam memasuki Makkah. Pasukan Islam itu adalah pasukan yang selama beberapa kali peperangan tidak pernah kalah. Pasukan Islam itu pun akhirnya memasuki Makkah tanpa perlawanan dan tanpa darah! (kecuali darah beberapa gelintir orang saja dan itu sangat tidak signifikan).

Itu baru di masa Fathu Makkah. Bagaimana halnya pada saat Islam sudah membentang ke barat sampai Afrika Barat, ke utara sampai Andalusia dan negeri-negeri Eropa Timur, dan ke timur sampai Cina bahkan Maluku? Tentunya motif keislaman manusia menjadi semakin beragam pula. Demikianlah dakwah itu jika telah besar, meluas dan menyebar kemana-mana.

Kualifikasi orang-orang yang masuk Islam secara massal itu tentunya tidak sebaik orang-orang yang masuk Islam sejak awal datangnya Islam (al-saabiquun al-awwaluun).

Kita tentu mengakui bahwa generasi awal Islam (al-saabiquun al-awwaluun) merupakan generasi yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang telah ikut membesarkan Islam dari kondisinya yang paling lemah. Mereka telah merasakan berbagai intimidasi di Makkah pada saat Islam tidak memiliki kekuatan sama sekali. Mereka memiliki kesabaran yang sangat teruji. Adapun generasi yang muncul setelah Islam menjadi kuat dan berjaya, maka tentunya ujian-ujian mereka lebih kecil. Mereka tidak lagi harus menghadapi berbagai intimidasi.

Demikianlah sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa semakin Islam itu berkembang besar maka kualitas generasinya cenderung semakin turun. Nabi saw bersabda,”Sebaik-baik umat adalah masaku (para sahabat), diikuti masa sesudahku (tabi’un), dan diikuti masa sesudahnya lagi (tabi’ut tabi’in)”. Bahkan, Nabi saw juga memprediksikan munculnya umat yang lemah dan tidak berkualitas di akhir zaman, seperti buih di lautan, padahal jumlahnya sangat besar.

Perlunya kebijakan-kebijakan yang ashlah untuk memberdayakan potensi SDM yang semakin besar jumlahnya.

Pasca Fathu Makkah, jumlah umat Islam menjadi semakin besar. Jumlah yang semakin besar ini tentunya memerlukan sebuah penataan masyarakat dan negara yang lebih kompleks. Seluruh SDM harus diberdayakan secara ashlah. Kesalahan-kesalahan dalam pemberdayaan SDM bisa menimbulkan fitnah, perpecahan, dan instabilitas. Kita melihat bahwa orang-orang seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah, dan sebagainya telah diberikan posisi-posisi yang cukup terhormat oleh Nabi, meskipun mereka saat itu baru masuk Islam. Nabi tentunya sangat memahami bahwa orang-orang tersebut sebelumnya merupakan para pemuka kaumnya dan memiliki kecakapan yang lebih. Jika Nabi tidak memberikan posisi yang tepat kepada mereka, maka sangat mungkin akan bisa timbul fitnah, perpecahan, dan instabilitas.

Nabi saw telah melakukan pemetaan SDM dengan sangat cermat. Tidak setiap orang beliau tempatkan pada pos-pos kepemimpinan dan kekuasaan, meskipun itu sahabat-sahabat terbaik dan termasuk generasi awal. Sebaliknya, beliau tidak segan-segan pula mengangkat orang-orang yang baru masuk Islam dalam posisi-posisi kepemimpinan dan kekuasan, apabila dirasa bahwa yang demikian itu ashlah. Tetapi, kalau kita cermati, beliau saw tidak pernah menempatkan orang-orang baru tersebut dalam posisi-posisi kunci. Untuk posisi-posisi kunci, beliau tetap mempercayakannya kepada generasi awal (al-saabiquun al-awwaluun).

Dengan mencermati perjalanan sejarah diatas, maka paling tidak kita bisa mengambil beberapa pelajaran tentang bagaimana kita menghadapi era perluasan dakwah. Pertama, kita harus menyadari adanya spektrum yang semakin luas atau lapisan-lapisan yang semakin beragam dalam barisan dakwah kita, mulai dari lapisan inti sampai lapisan yang paling umum. Konsekuensinya, pendekatan-pendekatan dalam amal bersama dan dakwah tidak bisa disamakan begitu saja. Kedua, usaha-usaha peningkatan kualitas kader yang sedemikian banyak harus semakin ditingkatkan intensitasnya. Ketiga, perlunya pemberdayaan SDM secara merata dan adil, dengan mempertimbangkan kemaslahatan. Jangan sampai terjadi penyia-nyiaan SDM yang bisa memicu rasa kecewa, perpecahan, dan fitnah.