Hadits ini menyatakan bahwa amalan yang dibuat-buat tanpa ada tuntunannya dari Rasulullah saw tidak akan diterima oleh Allah. Jika kita kaitkan ini dengan hadits Arba'in nomor satu, maka kita dapati bahwa amalan akan diterima jika memenuhi dua syarat. Pertama, niatnya ikhlas karena Allah Ta'ala. Kedua, mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Dalam hadits yang lain, amalan yang dibuat-buat ini disebut dengan bid'ah. Dari sisi bahasa, bid'ah artinya sesuatu yang baru. Namun secara istilahi tidak setiap yang baru bisa disebut sebagai bid'ah yang tertolak dan sesat. Suatu amalan baru bisa disebut sebagai bid'ah secara istilah jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut.

Pertama, amalan tersebut bersifat ta'abbudiyah. Amal perbuatan manusia atau ibadah secara umum bisa dibedakan menjadi dua: ta'abbudiyah dan ghayr ta'abbudiyah. Amal ta'abbudiyah sifatnya untuk taqarrub dan memiliki kaifiyat yang sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan sifatnya tidak bisa dilogikakan (ibadah ghayr ma'qulah) karena memang kaifiyatnya bersifat tauqifi. Contohnya adalah jumlah dan gerakan-gerakan sholat, tata cara wudhu dan tayammum, bulan diwajibkannya berpuasa (Ramadhan), waktu dan tata cara haji, dan sebagainya. Syarat pertama ini memiliki dua sifat. Pertama, sifatnya taqarrub. Kedua, sifatnya tidak bisa dilogikakan.

Kedua, amalan tersebut bersifat baru, yakni belum pernah dicontohkan atau dituntunkan oleh Rasulullah saw. Namun tidak setiap yang baru dan belum ada contohnya dari Rasulullah pastilah bid'ah, karena masih ada syarat ketiga.

Ketiga, tidak ada landasannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan Ijma'.

Bid'ah itu sendiri bisa dibagi menjadi beberapa jenis. Pertama, bid'ah kubra, adalah bid'ah dalam masalah aqidah. Contohnya adalah paham Khawarij, Syiah Rafidhah, Qadariyah, Jabriyah, Murjiah, dan Mu'tazilah. Imam Al-Syathibi dalam kitabnya Al-I'tisham banyak membahas tentang bid'ah jenis ini, dan menyebut para pelakunya sebagai ahlul bid'ah. Kedua, bid'ah shughra, yaitu bid'ah dalam ruang lingkup amal ibadah.

Bid'ah shughra sendiri bisa dibagi menjadi bid'ah 'amaliyah dan bid'ah tarkiyah. Bid'ah 'amaliyah artinya mengamalkan suatu amalan yang memenuhi ketiga syarat diatas. Ini bisa dalam bentuk menambah-nambah ataupun mengurangi. Misalnya secara sengaja menambah jumlah rakaat sholat shubuh menjadi empat rakaat karena menganggapnya lebih afdhal. Atau mengurangi jumlah rakaat sholat zhuhur menjadi dua rakaat bukan karena qashar, namun karena misalnya mengganggap bahwa sholat zhuhur dua rakaat dengan masing-masing rakaatnya lebih panjang lebih utama daripada empat rakaat tapi rakaatnya pendek-pendek. Adapun bid'ah tarkiyah artinya meninggalkan suatu hal yang memenuhi tiga syarat diatas. Misalnya, meninggalkan tidur dengan maksud untuk taqarrub, atau meninggalkan makan selama 24 jam untuk taqarrub, atau meninggalkan makan daging untuk taqarrub (bukan karena alasan kesehatan atau medis), atau mengharamkan nikah untuk taqarrub, dan semacamnya.

Imam Al-Syathibi dalam kitabnya Al-I'tisham membagi bid'ah menjadi dua: bid'ah haqiqiyah dan bid'ah idhafiyah. Bid'ah haqiqiyah adalah bid'ah yang seratus persen, artinya benar-benar tidak ada landasannya sama sekali dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma', dan dalil-dalil lainnya yang mu'tabar. Sedangkan bid'ah idhafiyah adalah bid'ah yang bercampur dengan sunnah. Artinya, di satu sisi ia adalah sunnah karena ada landasan syar'inya, namun di sisi lain ia adalah bid'ah karena tidak ada landasan syar'inya. Ini ibarat dua sisi mata uang.

Sebagian ulama ada yang memaknai bid'ah dalam pengertian bahasa, sehingga cakupannya juga tidak hanya perkara-perkara ta'abbudiyah, namun juga perkara-perkara ghayr ta'abbudiyah. Diantara mereka adalah Imam Al-Syafi'i, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar, yang membagi bid'ah menjadi bid'ah mahmudah (hasanah) dan bid'ah madzmumah (sayyi-ah). Imam Al-Syafi'i berkata, "Hal baru dan bertentangan dengan Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma', dan Atsar maka itu adalah bid'ah yang sesat, sedangkan hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil tersebut maka itu adalah bid'ah mahmudah." Juga 'Izzudin ibn 'Abdissalam yang membagi bid'ah menjadi lima sebagaimana hukum ada lima, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Karena itu menjadi penting ketika membahas tentang bid'ah untuk terlebih dulu memperjelas definisi dan cakupannya, karena dengan definisi dan cakupan yang berbeda maka hukumnya pun berbeda. Wallahu a'lam bish shawab.