Hadits ke-6 ini memiliki beberapa kandungan utama sebagai berikut. Pertama, bahwa Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan dan menjelaskan dengan jelas mana yang haram (yang jelas-jelas haram) dan mana yang halal (yang jelas-jelas halal). Kedua, bahwa diantara yang jelas-jelas haram dan yang jelas-jelas halal ada perkara-perkara yang sifatnya syubhat. Maka sikap yang dianjurkan adalah menjaga diri dari perkara-perkara syubhat. Inilah yang sering disebut sebagai sikap wara'. Rasulullah saw memberikan perumpamaan batas yang tidak boleh dilampaui. Jika ingin selamat maka hendaknya menjauhi batas tersebut. Ketiga, bahwa qalb menentukan baik tidaknya jasad.
Syubhat memiliki dua makna. Pertama, sesuatu yang hukumnya tidak jelas halal haramnya. Contohnya adalah perkara-perkara yang diperselisihkan halal haramnya oleh para ulama. Dalam pengertian ini, syubhat tidaknya sesuatu juga bergantung pada ilmu (pemahaman) seseorang. Bisa jadi suatu hal itu syubhat bagi seseorang namun terlihat jelas (halal haramnya) bagi seseorang yang mendalam ilmunya. Mengenai hal ini, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan bahwa jika agama ini hanya berisi kumpulan kehati-hatian saja, maka agama ini menjadi berat dan sempit, sehingga disinilah diperlukan ijtihad dari orang-orang yang mendalam ilmunya sehingga haram dan halalnya sesuatu menjadi jelas dan agama tidak menjadi berat dan sempit. Yang benar adalah sikap pertengahan. Artinya, tidak sedikit-sedikit berkata "hati-hati" dalam segala hal, karena hal ini akan menjadikan agama menjadi berat dan sempit, terutama dalam berfatwa untuk banyak orang. Meskipun untuk preferensi pribadi, seseorang bisa saja bersikap ketat dalam segala hal untuk dirinya sendiri. Tidak juga kita bersikap terlalu menggampangkan dan terlalu permisif sehingga cenderung membolehkan atau menghalalkan segala sesuatu, karena sikap ini jauh dari wara' sehingga bisa menjatuhkan seseorang kedalam perkara yang haram. Makna kedua adalah sesuatu yang bercampur antara yang halal dan yang haram. Misalnya harta yang sebagiannya diperoleh dengan cara yang halal dan sebagiannya diperoleh dengan cara yang haram.
Hadits ke-11 menganjurkan seorang muslim untuk meninggalkan apa-apa yang meragukan hatinya dan mencukupkan dirinya dengan hal-hal yang hatinya tidak ragu-ragu, yakni tenteram dengannya. Ini adalah anjuran untuk meninggalkan perkara yang syubhat. Ketaqwaan bisa dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkatan ketaqwaan minimal, adalah ketaqwaan dengan menjalankan yang wajib saja dan meninggalkan yang haram saja. Kedua, tingkatan wara', adalah ketaqwaan dengan menjalankan juga yang sunnah dan meninggalkan juga yang makruh dan syubhat. Hadits ke-11 mengisyaratkan tingkatan ini. Ketiga, tingkatan zuhud, adalah ketaqwaan dengan meninggalkan sebagian yang mubah karena khawatir melakukan atau tergelincir pada yang syubhat. Ini adalah tingkatan tertinggi. Wallahu a'lam.
Mengenai makna qalb, ada dua makna yang bisa dipahami. Pertama adalah qalb dalam pengertian lahiriyah, yang bermakna "jantung". Dan ini selaras dengan ilmu biologi dan kedokteran, yang menyatakan bahwa kehidupan seseorang bergantung pada fungsi jantungnya. Jika jantung masih berdetak, maka seseorang masih hidup. Sebaliknya, jika jantung tidak lagi berdetak maka seseorang tidak lagi bisa hidup. Dan kesehatan jantung sangat penting bagi kesehatan tubuh. Makna kedua dari qalb adalah hati yang bersifat maknawi. Dengan makna ini, hadits ini bisa dimaknai bahwa baik tidaknya hati seseorang akan mempengaruhi baik tidaknya amal perbuatannya. Hati yang baik akan menghasilkan amal perbuatan yang baik, dan demikian pula sebaliknya.
Hadits ke-6 ini sama-sama mungkin menunjuk pada makna lahiriyah dan makna batiniyah dari qalb. Jika kita hendak menggabungkan makna lahiriyah dan makna batiniyah, bisa dipahami bahwa ada kaitan erat antara jantung dan hati yang bersifat maknawi. Kebanyakan orang memisahkan pengertian otak dan hati. Otak hanyalah organ untuk menyimpan dan memproses informasi, yakni melakukan fungsi kognitif. Adapun hati adalah fungsi maknawi dalam jiwa kita yang mempertimbangkan baik buruknya sesuatu dan menentukan apakah kita akan melakukan sesuatu atau tidak, yakni melakukan fungsi afektif.
Qalb bisa dibedakan menjadi beberapa macam berdasarkan kondisinya. Pertama, qalb salim (hati yang selamat). Ini adalah hati seorang mukmin yang senantiasa disucikan. Kedua, qalb mariidh (hati yang yang berpenyakit atau hati yang sakit). Ini adalah hati orang-orang munafiq dan hati yang dipenuhi dengan penyakit-penyakit hati. Ketiga, qalb mayyit (hati yang mati) atau qalb qaasiy (hati yang hitam kelam). Ini adalah hati orang-orang kafir. Untuk menjaga agar hati kita tetap sehat maka hendaknya kita selalu menyucikan hati kita. Inilah yang menjadi tujuan tazkiyatun nafs (penyucian hati) yang sering dibahas dalam ilmu akhlaq.