Sebagaimana dibahas dalam syarah hadits ke-2, ada beberapa jenis taqdir yang ditetapkan oleh Allah.

  • Pertama, taqdir dalam ilmu (pengetahuan) Allah di zaman azali yang mencakup segala yang akan terjadi.
  • Kedua, taqdir yang dituliskan di Lauh Mahfuzh sebelum diciptakannya langit dan bumi. Rasulullah saw bersabda,”Allah telah menuliskan taqdir terhadap ciptaan-ciptaan-Nya 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.”
  • Ketiga, taqdir ‘umri, yaitu taqdir yang dicatat untuk setiap manusia ketika ia berada di rahim ibunya. Inilah taqdir yang disampaikan dalam hadits Ibnu Mas’ud ini.
  • Keempat, taqdir atas sesuatu yang baik ataupun yang buruk yang terjadi pada waktu yang sesuai dengan ketentuan dan ketetapan Allah.

Dalam sejarah Islam, terdapat dua firqah sesat yang bertolak-belakang satu sama lain dalam memahami taqdir. Pertama, firqah qadariyah yang menafikan taqdir Allah. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui amal perbuatan seorang manusia sampai ia terjadi. Mereka berdalih dengan pemahaman ini untuk menyucikan Allah dari sifat zhalim. Namun pada saat yang sama pada dasarnya mereka telah menyifati Allah dengan sifat keterbatasan pengetahuan atau kebodohan. Maha Suci Allah dari yang demikian. Kedua, firqah jabriyah, yang memiliki paham berkebalikan dari firqah qadariyah. Mereka mengatakan bahwa Allah telah mengetahui amal perbuatan manusia sebelum manusia tersebut melakukan perbuatan tersebut, dan mereka meyakini bahwa Allah amal perbuatan manusia itu dipaksakan oleh Allah Ta’ala. Termasuk bahwa Allah memaksakan perbuatan buruk kepada sebagian manusia lalu kemudian mengadzab mereka. Mereka meyakini hal ini dalam rangka ingin menyucikan Allah dari sifat keterbatasan pengetahuan dan kebodohan akan tetapi pada saat yang sama menyematkan sifat zhalim kepada Allah. Maha Suci Allah dari yang demikian.

Kedua firqah diatas sama-sama ekstrim. Prof. Dr. Syaraf Qudhat dalam Syarh Al-Arba’in Al-Nawawiyah mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan membawa dua sisi: sisi iraadiy (kemampuan untuk memilih) dan sisi ghayr iraadiy (tidak bisa memilih). Sisi yang tidak bisa memilih misalnya jenis kelaminnya, warna kulitnya, bentuk rupanya, waktu dan tempat kelahirannya, siapa orangtua yang melahirkannya, dan semacamnya. Mengenai hal-hal seperti ini, seorang manusia tidak akan ditanya. Adapun di sisi kemampuan untuk memilih, seorang manusia akan ditanya karena ia bertanggung jawab atas pilihannya. Artinya, tidak ada taqdir yang bersifat memaksa manusia untuk melakukan suatu amal perbuatan.

Sebagian orang memahami ayat Al-Qur’an dengan pemahaman yang salah. Misalnya ketika memahami firman Allah: “Fainnallaha yudhillu man yasyaa-u wa yahdii man yasyaa-u”. Maknanya bukanlah “Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki.” Yang benar, “yasyaa-u” dalam ayat ini adalah fi’l mudhari’ dan faa’il-nya adalah dhamir yang taqdirnya “huwa” dan merujuk kepada “man” karena “man” adalah isim (isim maushul), dan isim ini lebih dekat kepada fi’l “yasyaa-u” daripada isim “Allah”. Kaidah bahasa Arab menyatakan bahwa dhamir harus kembali pada isim terdekat yang telah disebutkan. Sehingga makna ayat diatas adalah: “Fainnallaha yudhillu man yasyaa-u al-dhalalah wa yahdii man yasyaa-u al-hidayah (Allah menyesatkan siapa saja yang menghendaki kesesatan dan memberi petunjuk siapa saja yang menginginkan petunjuk)”. Dari sini bisa dipahami bahwa pada sisi iraadiy ada dua iradah: iradatullah (kemauan Allah) dan iradatul insan (kemauan manusia). Kemauan Allah dalam hal ini adalah dalam bentuk menjadikan mungkin bagi seorang manusia untuk melakukan apa yang ia mau, secara umum. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri-diri mereka.”

Salah satu hal terpenting yang perlu kita cermati adalah dampak dari pemahaman kita tentang taqdir. Pemahaman yang benar tentang taqdir akan membawa dampak yang bersifat positif pada seseorang, yakni membuatnya bersemangat melakukan amal perbuatan yang baik dan tidak membuatnya menjadi putus asa, malas, ataupun takut. Misalnya, karena para sahabat tahu bahwa ajal telah ditetapkan maka mereka tidak takut ketika diwajibkan pergi berperang karena mereka yakin bahwa perang tidak bisa mengakhiri hidup mereka jika memang Allah belum menakdirkan kematian. Jika seseorang memiliki pemahaman taqdir yang justru membuatnya malas berbuat baik atau membuatnya putus asa dan ketakutan, maka itu adalah indikasi bahwa ada yang salah dengan pemahamannya tentang taqdir.

Hadits ini juga menyebutkan bahwa ada orang yang melakukan amalan ahli surga sampai sangat dekat dengannya sejengkal saja tapi kemudian melakukan amalan ahli neraka sebagaimana telah dicatat baginya sehingga ia masuk neraka. Sebaliknya, ada juga orang yang melakukan amalan ahli neraka sampai sangat dekat dengannya sejengkal saja tapi kemudian melakukan amalan ahli surga sebagaimana sudah dicatat baginya sehingga ia masuk surga. Yang dimaksud dengan catatan disini adalah catatan taqdir, yang bisa merujuk pada catatan taqdir di Lauh Mahfuzh ataupun catatan taqdir didalam rahim, wallahu a’lam. Ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh memastikan seseorang itu akan masuk surga atau neraka, terutama jika masih hidup, karena kita tidak tahu akhir kehidupan seseorang. Seseorang yang menghabiskan hidupnya dalam kekafiran bisa saja beriman sebelum ia meninggal sehingga ia masuk surga. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang menghabiskan hidupnya dalam Islam dan ketaatan bisa saja mengucapkan kalimat kekufuran di akhir hidupnya sehingga ia menjadi ahli neraka. Hendaknya kita tidak hanya bersandar kepada amal-amal kita dan tidak merasa ‘ujub dengan amal-amal kita karena kita tidak tahu kesudahan kita. Hendaknya kita senantiasa memohon husnul khatimah kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari su-ul khatimah dan kesudahan yang buruk.

Banyak ulama yang mengaitkan hadits ini dengan keikhlasan. Artinya, ada orang yang melakukan amalan ahli surga sehingga sangat dekat dengannya sebagaimana terlihat oleh manusia, padahal dia melakukannya bukan karena Allah, tidak ikhlas karenanya, sehingga Allah tidak menerimanya. Dan pada akhirnya Allah memperlihatkan hakikat orang ini yakni ketidakikhlasannya, wal ‘iyaadzu billah.