"Faman kaana hijratuhu ilallahi wa rasuulihi…"
Makna asal dari hijrah adalah meninggalkan. Hijrah memiliki beberapa pengertian.
Pengertian pertama, hijrah para sahabat radhiyallahu ‘anhum dari Mekah ke Habasyah (Etiopia) ketika orang-orang musyrik mengintimidasi Rasulullah saw dan para sahabat beliau sehingga para sahabat diperintahkan untuk mengungsi ke negeri Raja Najasyi. Ini terjadi pada tahun kelima sesudah Kenabian.
Pengertian kedua, hijrah dari Mekah ke Madinah, yang terjadi pada tahun ketiga belas setelah Kenabian. Setiap muslim di Mekah wajib hijrah kepada Rasulullah saw menuju Madinah. Menurut sebagian ulama, hijrah diwajibkan semata-mata dari Mekah ke Madinah. Namun sebetulnya tidak demikian, karena sebetulnya tidak mesti harus ke Madinah. Yang betul adalah wajibnya hijrah kepada Rasulullah saw, kemanapun yang beliau perintahkan, termasuk ke Madinah.
Ibnul ‘Iraqi berkata, “Para ulama membagi perjalanan diatas bumi menjadi dua kategori: haraban (karena lari dari sesuatu) dan thalaban (karena mencari atau menuntut sesuatu). Adapun kategori yang pertama (haraban) bisa dibagi menjadi enam jenis:
- Pertama, keluar dari Darul Harb menuju Darul Islam. Perintah ini senantiasa berlaku hingga Hari Kiamat. [Komentar penulis: Darul Harb adalah negeri yang sedang berperang dengan Darul Islam]. Adapun hijrah yang selesai dengan peristiwa Fathu Makkah (sebagaimana dalam hadits “Tidak ada hijrah sesudah Fathu Makkah”) maka maksudnya adalah hijrah kepada Rasulullah saw pada masa beliau hidup [yang dimaksud adalah hijrah dari Mekah karena Mekah telah menjadi Darul Islam sesudah Fathu Makkah].
- Kedua, keluar dari negeri bid’ah. Ibnul Qasim mengatakan bahwa ia mendengar seorang penguasa pernah berkata, “Tidak halal seseorang bermukim di suatu negeri yang didalamnya para generasi salaf dicaci-maki.” [Komentar penulis: Yang dimaksudkan dengan bid'ah dalam hal ini terutama adalah bid'ah dalam perkara-perkara pokok, yakni masalah aqidah].
- Ketiga, keluar dari negeri yang didominasi oleh perkara-perkara yang haram, karena mencari yang halal adalah kewajiban bagi setiap muslim.
- Keempat, melarikan diri dari hal-hal yang menyakiti badan. Ini adalah dalam rangka mencari karunia Allah yang diberikan sebagai keringanan bagi hamba-hamba-Nya. Jika seseorang takut akan dirinya di suatu tempat, maka Allah Ta’ala mengijinkan baginya untuk keluar dari negeri tersebut dikarenakan keluar dari negeri tersebut akan menghindarkan dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Yang pertama kali melakukan hal ini adalah Nabi Ibrahim as ketika beliau merasa takut terhadap kaumnya, lalu beliau berkata, “Sesungguhnya aku berhijrah kepada Tuhanku.” Demikian pula Nabi Musa as yang diceritakan dalam Al-Qur’an: “Maka (Musa) keluar dari negeri tersebut (Mesir) dalam keadaan takut dan waspada.”
- Kelima, keluar dari suatu tempat atau suatu negeri karena takut terkena penyakit.
- Keenam, keluar dari suatu tempat karena takut hartanya rusak atau terampas, karena harta seorang muslim itu harus dijaga sebagaimana darahnya juga harus dijaga.
Adapun kategori yang kedua (thalaban) bisa dibagi menjadi sepuluh jenis, yang kesemuanya bisa dikelompokkan menjadi dua: tuntutan agama dan tuntutan dunia. Adapun tuntutan agama mencakup sembilan jenis:
- Pertama, bepergian dalam rangka mencari ibrah (safar al-‘ibrah). Ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Apakah mereka tidak berjalan diatas bumi sehingga mereka bisa melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka.” Dzulqarnain telah menjelajahi dunia dalam rangka melihat keajaiban-keajaiban dunia.
- Kedua, bepergian dalam rangka menunaikan haji.
- Ketiga, bepergian dalam rangka berjihad.
- Keempat, bepergian dalam rangka mencari penghidupan (nafkah).
- Kelima, bepergian dalam rangka berdagang atau mencari penghasilan tambahan. Ini diperbolehkan, sebagaimana firman Allah, “Tidak ada dosa atas kalian untuk mencari karunia dari Tuhan kalian.”
- Keenam, bepergian dalam rangka mencari ilmu.
- Ketujuh, bepergian untuk mengunjungi tempat-tempat suci. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Janganlah kalian bepergian (secara khusus) kecuali ke tiga masjid.”
- Kedelapan, bepergian dalam rangka ribath.
- Kesembilan, bepergian dalam rangka mengunjungi saudara dalam agama. Rasulullah saw bersabda, “Seseorang mengunjungi saudaranya di suatu kampung, maka Allah mengutus seorang malaikat di tengah perjalanannya lalu bertanya, ‘Mau kemana engkau?’ Orang itu berkata, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di kampung ini.’ Lalu malaikat tersebut bertanya, ‘Apakah ada kenikmatan yang ingin engkau dapatkan darinya?’ Orang itu berkata, ‘Tidak. Aku mengunjunginya hanya karena aku mencintainya karena Allah Ta’ala.’ Maka malaikat itu berkata, ‘Aku diutus oleh Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR Muslim dan yang lainnya)
Pengertian hijrah yang ketiga, hijrah para kabilah kepada Rasulullah saw untuk mempelajari agama sehingga mereka bisa kembali kepada kaumnya untuk mengajari mereka.
Pengertian hijrah yang keempat, hijrahnya orang dari penduduk Mekah untuk mendatangi Nabi saw kemudian dia kembali kepada kaumnya.
Pengertian hijrah yang kelima, hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam, karena seorang muslim tidak halal bermukim di negeri kafir. Al Mawardi berkata, “Jika dia memiliki keluarga dan tempat yang memungkinkan baginya untuk mempraktekkan agamanya secara terang-terangan maka dia tidak boleh berhijrah karena negeri tersebut pada dasarnya adalah negeri Islam juga.”
Pengertian hijrah yang keenam, meng-hajr saudara sesama muslim lebih dari tiga hari tanpa sebab syar’i. Ini makruh selama tiga hari pertama, dan haram ketika melebihi tiga hari, kecuali karena dharurah.
Pengertian hijrah yang ketujuh, suami meng-hajr istrinya ketika istrinya berbuat nusyuz. Allah Ta’ala berfirman, “Dan hajr-lah istri-istri kalian dari ranjang. Termasuk dalam pengertian ini adalah meng-hajr orang yang berbuat maksiat (dengan maksud agar ia kembali taat). [Komentar penulis: Contohnya adalah ketika Nabi saw dan para sahabat meng-hajr Kaab bin Malik dan dua sahabat lainnya karena tidak turut serta dalam Perang Tabuk). Pengertian yang serupa adalah meng-hajr orang-orang kafir yang memerangi Islam, sebagaimana firman Allah: "Wahjurhum hajran jamiilan".]
Pengertian hijrah yang kedelapan, hijrah dari apa-apa yang dilarang oleh Allah. Ini adalah pengertian hijrah yang paling luas.
[Komentar penulis: Berbagai pengertian hijrah yang dipaparkan dalam syarah ini pada dasarnya meliputi tiga pengertian. Pertama, hijrah dengan makna hijrah makaniyah, yakni berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ini mencakup pengertian pertama sampai kelima dalam paparan diatas. Kedua, hijrah dengan makna hajr, meninggalkan, seseorang. Ini mencakup pengertian keenam dan ketujun dalam paparan diatas. Dan ketiga adalah hijrah dalam pengertian hijrah maknawiyah, yakni berpindah dari kemaksiatan kepada ketaatan.]
"Wa man kaana hijratuhu ilaa dunyaa yushiibuhaa..."
Diriwayatkan bahwasanya (sabab wurud hadits ini adalah) ada seorang laki-laki yang berhijrah dari Mekah ke Madinah ternyata tidak mengharapkan fadhilah hijrah namun terungkap hanya untuk menikahi seorang wanita bernama Umm Qays, sehingga akhirnya ia dikenal sebagai Muhajir Umm Qays. Jika dikatakan, “Bukankah nikah juga anjuran syariat, lalu mengapa motivasi menikah dikatakan sebagai tuntutan dunia?” Dikatakan bahwa jawabannya adalah karena laki-laki tersebut tidak berterus-terang akan tujuannya menikahi wanita tersebut. Dia secara lahiriyah menampakkan bahwa dirinya ke Madinah untuk berhijrah namun ternyata tujuan sebenarnya bukanlah itu, sehingga dia layak dicela karenanya. Serupa dengan ini adalah orang yang secara lahiriyah menampakkan dirinya berangkat haji namun ternyata tujuan sebenarnya adalah untuk berdagang. Demikian pula seseorang yang mengatakan bepergian menuntut ilmu namun ternyata tujuan sebenarnya adalah untuk mendapatkan kedudukan atau kekuasaan.
Sabda Rasulullah saw “Fahijratuhu ilaa maa haajara ilaihi, Maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia sebenarnya niatkan” membawa konsekuensi bahwa tidak ada pahala bagi orang yang berangkat haji dengan tujuan untuk berdagang atau berwisata. Namun kita mesti memaknai hadits ini dengan batasan jika motivasi utama berangkat haji memang adalah berdagang. Jika motivasi utama tetaplah berhaji maka dia tetap mendapatkan pahala haji meskipun kemudian kegiatan berdagang menjadi tujuan tambahan. Hanya saja pahalanya berkurang jika dibandingkan dengan yang berangkat haji semata-mata hanya untuk berhaji saja.
Adapun jika seseorang memaksudkan kedua tujuan tersebut sekaligus (berhaji dan berdagang) maka bisa jadi tetap mendapatkan pahala karena tujuannya tidak semata-mata dunia. Namun bisa jadi juga tidak mendapatkan pahala haji karena dia telah mencampurkan amal akhirat dengan amal dunia.
Hanya saja hadits ini mesti dimaknai secara hitam putih. Jika seseorang memiliki niat yang bercampur antara akhirat dan dunia maka tidak bisa juga dikatakan bahwa dia memiliki tujuan dunia semata. Wallahu a’lam bish shawab.
Diterjemahkan oleh penulis dari kitab Syarh Matn al Arba'in al Nawawiyah fi al Ahadits al Shahihah al Nabawiyah terbitan Maktabah Dar al Fath, Damaskus. Komentar penulis diletakkan dalam tanda kurung siku [ ].