Usaha ke arab proses Islamisasi ilmu pengetahuan menghadapi beberapa tantangan, khususnya justru dan kalangan cerdik pandai Islam sendiri. Mereka terdiri dan beberapa golongan. Pertama, golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya dan berusaha untuk menjelmakannya dan menghasilkan karya yang menepati maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka.
Kedua, golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya tetapi tidak mengusahakannya secara praktis.
Ketiga, terdapat golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemôoh, mengej ek dan mempermainkan gagasan ini. Golongan ini lazimnya berargumen bahwa semua ilmu datangnya dan Allah dan justru itu semua ilmu adalah benar dan secara tabiatnya sudah Islam.
Golongan keempat adalah di kalangan mereka yang tidak mempunyai pendinan terhadap isu ini. Mereka lebih suka mengikut perkembangan yang dirintis oleh sarjana lain atau pun mereka tidak perduli dengannya.
Aktivitas golongan pertama amat penting untuk mengokohkan dan memurnikan lagi konsep ini walaupun mereka saling mengknitik ide satu sama lain. Pengkritik juga turut tenlibat dalam usaha Islamisasi ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu masing-masing. Golongan ini adalah golongan yang konstruktif. S.A. Ashraf mengkritik al-Faruqi yang “ingin penyelidikan dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkmnkan.”
Dalam pemikirannya, kompromi begitu mustahil sebab konsep-konsep ini terbit dan dua pandangan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa sarjana Islam tidak Seharusnya mula dengan konsep Barat tetapi dengan konsep Islam. Oleh karena itu, tugas pertama mereka adalah untuk merumuskan konsep tersebut berdasarkan prinsip yang dicungkil dan al-Qur’an dan alSunnah. Beliau menjelaskan bahwa adalah wajar bagi cendekiawan Muslim untuk mula-mula menemui kembali konsep-konsep Islam bagi setiap cabang ilmu dan kemudian membandingkan konsep itu denga konsep Barat dan seterusnya melahirkan pemikiran Islam bagi setiap cabang sains kemanusiaan dan sains tabii.” Bagaitnanapun, berbeda dengan Ashraf, Nasr berpendapat bahwa integrasi Sebagaimana yang dicadang oleh al-Faruqi bukan saja satu yang mungkin tetapi juga perlu. Beliau berargumen:
“Pemikir Islam mesti memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka, Bukan saja menerimanya, tapi sering mengkritik dan menolak struktur dan premis pada kebanyakan ilmu sains, dan kemudian menulis buku teks tentang tema itu. Misalnya anthropologi atau astronomi dilihat dan pandangan Islam, seperti yang pernah dilakukan oleh Ibn Sina atau Ibn Khaldun berkurun-kurun silam.”
Usaha al-Faruqi untuk membina konsep Islamisasi ilmu pengetahuan modern berasaskan Prinsip-Prinsip Pertamanya harus dihormati. Beliau mencoba menyelamatkan identiti Islam mahasiswa Musurn yang mendapat pendidikan Barat. Bagaimanapun apabila beliau mencoba menterjemahkan konsepnya ke dalam kerangka kerjanya, ia menjadi masalah besar yang mengundang kritikan. ini kentara sekali ketika beliau meletakkan penguasaan ilmu pengetahuan modern Sebagai langkah pertama mendahului penguasaan ilmu warisan Islam dan menjelaskan relevansi Islam kepada disiplin ilmu Barat. Sardar mengkritiknya karena berselonjor sebelum duduk. Menurutnya, ilmu pengetahuan modernlah yang perlu dijadikan relevan kepada Islam sebab Islam adalah “a priori relevan untuk semua masa”. Beliau berargumen bahwa semua ilmu dilahirkan dan pandangan tertentu dan dan segi hirarki tunduk kepada pandangan tersebut. Oleh karena itu, usaha untuk menemui epistemologi Islam tidak boleh bermula dengan memberi tumpuan kepada ilmu modern. Menurutnya, Islarnisasi ilmu modern hanya bisa terjadi dengan membina paradigma, yang mengkaji aplikasi luar peradaban Islam yang berhubungan dengan keperluan dan realitas kontemporer. Contohnya, dalam menghadapi krisis ekologi, Sardar menguraikan konsep tawhid, khilafah, amãnah, halal, harãm, ‘adl, i’tidal (keseimbangan dan keharmonian) dan istihsãn (keutamaan kepada yang lebih baik) untuk teori lingkungan Islam. Sardar ingin meraih disiplin baru berdasarkan pandangan Islam, dan bukan sekedar mengislamkan disiplin ilmu yang ada. Tegas beliau:
“Keperluan tertentu, masalah tertentu, tugas tertentu akan menarik perhatian sarjana dan ahli sains kepada bidang penyelidikan tertentu, justru meraih disiplin yang tunduk kepada pandangan Islam dan pada saat yang sama memenuhi keperluan material, budaya dan kerohanian urnmah.”51 Namun ide Sardar supaya sarjana Muslim merangkai disiplin mereka dan paradigma sendiri dan memisahkan din mereka dan paradigma Barat agak berat, contoh bermula dan nol, Wa!hal peralatan analitis, mekanik pembinaan teori dan analisa proses sosial umum dan pandangan mereka yang netral, dapat dimanfaatkan.
Al-Attas juga tidak sependapat dengan langkah ini dalam kerangka kerja alFaruqi karena ini membayangkan bahwa ada sesuatu yang tidak benar dalam ilmu pengetahuari Islam dan karena itu ia perlu dibenarkan. Pada pendapat beliau yang tidak benar dan perlu dibenarkan adalah ilmu pengetahuan sekuler dan Barat. Oleh sebab itu dalam konsepnya, al-Attas tidak langsung memasukkan tugas dekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tradisional. Beliau memerlukanrekonstruksi ilmu pengetahuan kontemporer saja. Beliau juga menyatakan perlu meneliti kembali ilmu warisan Islam ini tetapi sekedar untuk melihat sejauh mana ia menyimpang dan tradisi Islam dan bukan untuk menjelaskan relevansinya kepada disiplin ilmu Barat.
Golongan yang paling dikhawatirkan adalah golongan ketiga yang percaya bahawa semua ilmu itu sudah islami, sebab sumber ilmu adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pelabelan Islam ataü bukan Islam pada segala ilmu. Contohnya, Hoodbhoy dan Abdus Salam, peménang Anugerah Nobel yang sangat bergengsi, sangsi dengan keberadaan sains Barat, sains Islam, sains Yunani atau peradaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama atau peradaban. Begitu juga Bassam Tibi, seorang sarjana Islam di Jerman berargumen dengan halus untuk memperjuangkan keserasian Islam dan sekularisme.
Fazlur Rahman, seorang yang tergolong dalam golongan ini menegaskan bahwa ilmu itu pada asasnya adalah balk dan yang membuatnya buruk adalah penyalahgunaannya. Berlawanan dengan al-Faruqi yang mendahulukan penguasaan ilmu dan disiplin modern, beliau menyatakan sarjana Islam seharusnya menguasai ilmu wanisan Islam sebab banyak kekeliruan telah ditimbulkan oleh sarjana Islam awal. Beliau mengajak sarjana Islam kembali kepada al-Qur’an. Seterusnya beliau berargumen bahwa apa yang diperlukan umat Islam adalah untuk mengislamkan akal dan bukannya ilmu. Pada tanggapan Rahman, segala sesuatu yang mengutarakkan yang baru kepada akal adalah ilmu. Beliau mengkategorikan ilmu kepada dua, yaitu ilmu yakin yang dianugerah kepada para mursalin melalui wahyu dan ilmu-ilmu lain yang disebut dalam aI-Qur’an, termasuklah ilmu sihir. Jelas sekali bahwa Fazlur Rahman menanggapi konsep ilmu yang dibicarakan sebagai know-how sebagaimana beliau menyatakan bahwa “bagaimana membuat coats of mail” sebagai ilmu atau “jika seseorang mempunyai kuasa atom ... ia membuat bom atom itu adalah keputusannya untuk menyalahgunakan ilmu. Kalau kita teliti, yang pertama itu adalah metode (bagaimana) dan yang kedua (yaitu kekuatan atom) adalah satu alat. Justru, beliau menyalahgunakan istilah ilmu dan membayangkan bahwa Islamisasi ilmu adalah usaha mengislamkan metode dan alat. Memang metode dan alat itu netral dan umat Islam tidak berusaha untuk mengislamkannya, tetapi isu besar terjadi apabila nilai dan pandangan tersirat pada metode dan alat ini sehingga Ia meraih metodologi dan teori yang menjadi ilmu.
Rahman juga sadar bahwa usaha awal pentenjemahan karya Yunani dilakukan dalam bidang falsafäh, sains dan perobatan tetapi tidak kesusasteraan yang mengandung berbagai cerita tentang dewadewa yang mereka percayai. ini menunjukkan bahwa sarjana Islam di zaman awal menyadari mitos-mitos ini bisa mempengaruhi pandangan dan nilai Islam. Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi ilmu zaman kontemporer sebab kini sekularisme mempengaruhi pandangan Islam. Rahman mendefinisikan ilmu sebagai “segala perkara yang mengutarakan sesuatu yang baru kepada akal.” Ilmu mungkin mengandung nilai baru tetapi tidak berarti ia netral. Kehadiran golongan yang demikian akan rnengelirukan umat Islam. Bahkan mereka juga kelihatan tidakterlalu memahami gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan mengkritik bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan cuma satu retorik atau propaganda waihal pada waktu yang sama mereka mengatakan “yang pentingnya adalah menilai sesuatu disiplin ilmu itu dan perspektif Islam.” Kerancuan ide ini menunjukkan kekeliruan yang terdapat dalam akal mereka.
Tantangan paling besar saat ini dalam kelanjutan proses Islamisasi ilmu adalab komitmen sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendini. Tantangan gbbalisasi yang ditimbulkan oleh kecanggihan Teknobogi Informasi dan Komunikasi sungguh memusingkan. Ilmu kini dianggap sebagai komoditi yang boleh dijuabbelikan dan sebagai dampaknya universitas menumpukan perhatian kepada “ilmu” yang berupaya meraih uang bersesuaian dengan ekonomi. Akibatnya, konsep ilmu pun sudah berubah dan mengenal Khaliq kembali kepada kemahiran, begitu juga konsep universitas berubah menjadi pabrik pengeluaran tenaga kerja dan bukan pusat percambahan ide-ide murni dan besar. Universitas di negara Islam turut terpengaruh dan perhatian para pengajar pun dialihkan kepada perhatian yang mengutarnakan kursus atau penyelidikan yang dapat meraih dana keuangan untuk universitas. Dalam kontek ini banyak juga universitas yang telah meletakkan Islamisasi ilmu ini ke tahap lebih rendah dalam keutamaan misi ‘mereka. Menurut al-Attas, tantangan yang terbesar terhadap gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan timbul dan golongan umat Islam itu sendini sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Beliau juga menegaskan bahwa tantangan kedua adalah kedangkalan umat Islam terhadap agamanya sendiri. Menurutnya golongan intelektual Islam sendiri tidak memahami Islam dengan sebaiknya dan itu dapat diketahui melalui hasil penulisan mereka.
Perkembangan Usaha Islamisasi Ilmu
Usaha Islamisasi ilmu secara perlahan mulai marak dan beberapa karya telah pun dihasil. Al-Attas sendiri telah menunjukkan satu model usaha Islamisasi ilmu yang baik melalui karya beliau, The Concept of Education in Islam. Dalam teks ini beliau berusaha menunjukkan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Beliau menganalisis istilah-istmlah yang sering dimaksudkan untuk mendidik seperti ta’lim, tarbiyah dan ta’dib, dan akhirnya menemukan istilab yang paling sesuai dan komprehensif adalah ta’dib. Usaha ini kemudian dilanjutkan antara lain oleh Malik Badri (Dilemma of a Muslim PsycholQgist, 1990), S.H.Nasr (Islamic science), Akbar S. Ahmad (Thward Islamic Anthropology, 1986), W M Nor (The concept of knowledge in Islam, 1989), AbuSulayman (Toward an Islamic Theory of International Relations, 1993), SM. Dawilah alEdrus (Islamic epistemology, 1992); Sardar (Islamic Futures, ), Rashid Moten (Political Science: An Islamic Perspective, 1996), dan Rosnani Hashim (Educational Dualism in Malaysia: Implications for theory and practice, 1996). Usaha dalam bidang sosiologi dapat dijumpai dalam tulisan Ragab, dalam bidang pendidikan dalam penulisan lshaq Farhan, Fathi Malkawi, Rosnani, bidang psikologi dalam penulisan Hasan Langgulung, sementara dalam bidang ekonomi dalam karya Muhammad Anwar, Muhammad Arif, Zubair Hasan dan Ataul Haq. Pengislaman sains alam telah banyak juga dibicarakan oleh pemikir Islam khususnya S. H. Nasr, Sardar dan Bucaille.
Banyak di antara cendekiawan Muslim yang berusaha menjelaskan dan mengembangkan lagi gagasan islamisasi ilmu-ilmu modern yang dipelopori Al-Attas dan al-Faruqi di samping mengetengahkan ide mereka sendiri seperti Louay Safi dan Ibrahim Ragab yang mengembangkan ide al-Faruqi dan IIIT. AbuSulayman membuat sedikit penjelasan dan sedikit modifikasi terhadap konsep al-Faruqi dalam edisi kedua monograf yang diterbitkan pada tahun 1988. Begitu juga Safi mencanangkan supaya kerangka kerja al-Faruqi yang mempunyai 12 langkah dislngkatkan kepada tiga langkah yang lebih umum saja. Ibrahim Zein (Sudan), mu-rid al-Faruqi berpendapat bahwa al-Attas lebih layak bèrbicara tentang pemaduan t~ori, amali dan rohani, yaitu sintesis aql, jasad dan ruh, dan hal seperti ml tidak diberi perhatian secukupnya oleh pemikir di IIIT. Sementara itu Wan Mohd Nor juga menjelaskan dan mengembangkan ide al-Attas. Di samping mengembangkan gagasan, ada juga cendekiawan yang mernbuat perbandingan ide antara pendapatpendapat tokoh seperti perbandingan antara Al-Attas dan Al-Faruqi, Al-Attas dan Fazlur Rahman, dan al-Faruqi dan Ziauddin Sardar.
Gagasan Islamisas.i ilmu pengetahuan kini sudah menjangkau usia lebih kurang 30 tahun, jika kita menghitungnya bermula dan Persidangan Sedunia Pertama Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Banyak juga hasil dalam bentuk tulisan telah dilahirkan. Namun di milmnium baru ini, stamina bagi Islamisasi ilmu pengetahuan kelihatan berada di tingkat yang paling rendah. Mungkin ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, ketiadaan pemimpin yang mempunyai visi pengislaman ilmu pengetahuan semakin dirasakan ketika pemimpin berwibawa dan institusi yang terlibat dengan misi ini, mengundurkan din atau dicopot karena desakan politik atau masalah-masalah internal lain. Kedua, peristiwa September 11 juga memben dampak karena setelah itu kebanyakan institusi pendidikan Islam, baik dalam negara Islam sendiri atau bukan negara Islam dipantau oleh Amerika Serikat sebagai upaya memberantas “TERORISME”. Ketiga, walaupun ketika keadaan aman, tidak terdapat strategi jangka panjang dan jangka pendek yang dirancang oleh institusi berkenaan untuk memahamkan wanganya dan segi falsafah Islamisasi Ilmu dan juga penggarapan falsafah ilmu wanisan Islam dan Barat. Intelektual kita lemah dari segi falsafah - metafisik, epistemologi, nilai - maupun dari segi tasawwur, tetapi kita tidak mengambil usaha memperkokoh pemahaman mereka supaya mereka memahami pertempuran peradaban yang tenjadi diperingkat tinggi yang hanya dapat difahami oleh cendekiawan. Justru, intelektual kita tidak merasakan urgency. Strategi pertama yang harus dilaksanakan oleh institusi perguruan tinggi Islam adalah untuk memastikan bahwa pengajarnya faham tentang tasawwur, falsafah dan pemikiran Islam dan Barat. Faktor kelima, adalah kesibukan mntelektual muda membuat penyelidikan empinikal demi kemajuan proyek ini. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang lazim didengar di Barat — publish or perish (terbit atau binasa). Maka, waktu mereka sepenuhnya diberikan kepada usaha riset tanpa meninggalkan ruang untuk pemikiran tinggi.
Namun ahli sains kita tidak berlandaskan pada aqidah yang kokoh dan falsafah yang dalam sebagaimana ahli sains Barat. Oleh karena itu mereka tidak dapat memberi sumbangan yang sangat bermakna kepada ummah. Dan yang terakhir, sejumlah besar warga akademik kurang berkeyakinan terhadap misi ini. Buku teks Barat khususnya untuk sains sos Ia! dan sains kemanusiaan masih banyak lagi yang digunakan di kampus-kampus. Dengan arus giobalisasi yang amat kuat yang menyebarkan pemahaman sekularisme, hedonisme, materialisme di samping pemahaman “Islam Teroris” yang mengancam ummah, Islamisasi manusia, ilmu pengetahuan dan pendidikan sebenarnya menjadi sangat perlu.
Penutup
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan akan lebih lancar sekiranya umat Islam sadar dan faham akan tuntutan Islam dalam segala lapangan kehidupan. Is!amisasi ilmu pengetahuan bukan terjadi di luar sana, tetapi ia terjadi di dalam akal kita melalui bahasa, rasio dan pemikiran. ini bermakna seorang sarjana Islam akan dapat melahirkan karya yang serasi dengan ruh Islam jika jiwanya sudah islami.
Maka titik tolak permulaan Islamisasi ilmu pengetahuan adaiah din kita sendiri dan pemahaman tentang Islam dan penghayatannya.
Sebagai mahaguru atau para aiim yang sering berinteraksi dengan ilmu di institusi perguruan tinggi adalah menjadi tanggungjawab kita untuk menyambut ide in memahaminya, menghayatinya di ruang kuliah maupun dalam penyeiidikan dan mengembangkannya. Bagaimanapun, untuk menyukseskan misi ini, diperiukan political will sebab ia melibatkan pendidikan yang seharusnya di bawah kuasa pemerintah. Maka dukungan pihak pemerintah juga diperlukan mensukseskannya.
[Diambil dari majalah Islamia dengan sedikit penyesuaian bahasa]