Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) telah membawa dampak negatif terhadap peradaban lainnya, khususnya dalam bidang epistemologi. Barangkali, “westernisasi ilmu pengetahuan” adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Jika hal ini difahami dengan bâik, maka terma Islamisasi Ilmu Pengetahuan kontemporer” bukan hanya istilah yang wajar dan mudah diterima, tapi lebih merupakan proyek yang membawa keharusan konseptual. Oleh sebab itu, substansi Islamisasi tidak dapat sepenuhnya dimengerti jika tidak dikaitkan dengan persoalan epistemologis yang melanda dunia Islam, dan tantangan yang menjadi sumbernya. Kajian ini akan memaparkan secara singkat Westernisasi ilmu pengetahuan yang menjadi tantangan bagi bangunan ilmu pengetahuan Islam untuk dapat memaharni makna dan relevansi islamisasi.
I. Westernisasi Ilmu Pengetahuan
Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan David Humme yang skeptik.
Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik - a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris.
Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value).
Epistemologi Barat modern-sekular semakin bergulir dengan munculnya hisafat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan Kant. Bagi Hegel, pengetahuan adalah on going process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkaian tetap dipertahankan.
Epistemologi Barat modern-sekular juga melahirkan paham ateisme. Akibatnya, faham ateisme, menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Ludwig Feurbach (1804-1872), murid Hegel dan seorang teolog, merupakan saiah seorang pelopor faham ateisme di abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adaiah inanusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkai, namun pada hakikatnya, agamalah yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah mãnusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dan teologi adaiah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).
Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah “keluhan makhluk yang tertekan”, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi.
Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula spesis (origin of species) bukan berasal dan Tuhan, tetapi dan “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesis yang berbeda sebenarnya berasal dan satu nenek moyang yang sama. Spesis menjadi berbeda ântara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam (natural conditions) .
Faham ateisme juga berkembang dalam disipiin ilmu sosiologi. Auguste Comte, penemu istiiah sosiologi, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang meialui tiga fase teoritis; pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut Sebagai fase positif. Kharasteristik dan setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang lain.
Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau entitas — entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib.
Dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dan mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.
Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk meinbimbing ke arah ilmu pengetahuan.
Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1 844-1900) menulis: “God died, now we want the overman to live”~ Dalam pandangan Nietzsche, agama adalah “membuat lebih baik sesaat dan membiuskan” (momentary amelioration and narcoticizing))°
Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “Seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada seseorang.”
Menegaskan perbedaan ruang lingkup antara agama dan imu pengetahuan, Nietzsche menyatakan: “Antara agama dan sains yang betul, tidak terdapat keterkaitan, pesahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di bintang yang berbeda.” Ketika Nietzsche mengkritik agama, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.
Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty sering menjadikan pemikiran Neitzsche sebagai rujukan. Jika Nietzsche mengumandangkan God is died, maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 M mendeklarasikan The author is died.
Selain melahirkan ateisme, epistemologi Barat modern-sekular telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekular. Pandangan-hidup Kristiani telah mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).
Selain itu, jika pada zaman pertengahan (medieval times) agama Kristen adalah sentral dalam peradaban Barat, maka agama ini menjadi pinggiran pada zaman modern. Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen seperti Santo Augustinus, Boethius cm. 524), Johannes Scotus Erigena (m. 877), Santo Anseim (m. 1109), Santo Bonavantura (m. 1274) dan Santo Thomas Aquinas (m. 1274) memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesuai dengan teologi Kristen, maka kini pada abad ke-20, para teolog Kristen seperti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Friedrich Gogarten (1887-1967), Paul van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vaha,nian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, Harvey Cox dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern-sekular. Mereka menegaskan, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan-hidup sains modem yang sekular. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dan alam ini. Mereka membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Mereka harus menafsirkan kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern yang sekular.
Pemaparan ringkas diatas menunjukkan Westernisasi ilmu, yang bersumber kepada akal dan panca-indera telah melahirkan berbagai macam faham dan pemiki -ran seperti empirisme, rasionalisme, humanisme, eksistensialisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, skeptisisme, relatifisme, agnostisme dan ateisme. Westernisasi ilmu telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu. Westernisasi ilmu juga telah menceraikan hubungan keduanya.
II. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Mengingat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang populer di tahun 80-an, sejatinya telah dicanangkan kurang lebih dua dekade sebelumnya oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, maka kajian mengenai substansi Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer akan lebih jelas jika merujuk kepada konsep-konsepnya. Selain itu, konsep-konsep yang diajukannya berdasarkan pernahaman yang mendalam terhadap pandangan hidup dan peradaban manusia Barat dan epistemologinya.
Sekalipun, peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia.
Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah basil dan kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleb rasio manusia, terus menerus berubah.
limu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidup itu dibangun di atas visi mntelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut Syed Muhammad Naquib alAttas, ada 5 faktor yang menjiwai budaya peradaban Barat: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap reali-. tas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksisterisi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Karena ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat itujustru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).
Memang antara Islam dengan filsafat dan sains modern, sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib alAttas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empins, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.
Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dan sudut pandang rasionalisme dan empirisesme.
Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Kosong dari Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satusatunya realitas.
Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. Alasannya, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral dan telah diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarnya berasal dan refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Jadi, ilmu pengetahuan modern harus diislamkan.
Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dan Barat berarti ditolak, karena terdapat sejumlah persamaan dengan Islam seperti disebutkan di atas. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandanganhidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.
Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusja dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Real itas dan kebenaran dimaknaj berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.
Jadi, pandangan-hidup Islam mencalcup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalain kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansj yang terakhir dan final.
Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatjf. Namun, realitas dan kebenaran dipahamj dengan metode yang menyatukan (tawbid). Pandanganhjdup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya ibadahnya, doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkenibangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma‘lum min al-din bi al-darürah). Pandanganhidup Islam terdiri dan berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan.
Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan Pandanganhjdup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.
Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memuliki pandanganhjdup mutlaknya sendiri, merangkumj persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dli. Islam memuliki penafsjran ontologis, kosmologis dan psikologus tersendini terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonseknasj nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.
Setelah mengetahuj secara mendalam mengenai pandangan~hudup Islam dan Barat, maka proses Isiamisasi baru bisa dilakukan. Sebabnya, Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini (the Islainization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang saling terkait: mengisolir unsur-unsur dan konsepkonsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (5 unsur yang telah disebutkan sebelumnya), dan setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasu harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsjran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan-hudup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol dan ilmu modern; beserta aspek-aspek empins dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubungan dan kaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
ii) memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep.konsep kunci dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dan magik, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dan kontrol sekular kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dan keraguan (sbakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (miro/) menuju keyakmnan akan kebenaran mefigenai realitas spiritual, intelligible dan maten.42 Islamisasi akan mengeluarkan penalsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dan ideologi, makna dan ungkapan sekular.
III. Krifik terhadap Islamisasi Ilmu
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menuai kritik dan beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Faziur Rahman, Muhsjn Mahdj, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi.
Fazlur Rahman tepat dengan menyatakan ilmu pengetahuan akan tergantung kepada cara menggunakannya. Bagaimanapun, Faziur Rahman tampaknya mengabaikan jika konsep dasar mengenam ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan antara Tuhan dan manusia, alam, agama, sumber ilmu akan menentukan cara seseorang memandang ilmu pengetahuan.
Selain itu, pemikiran sekular tampaknya juga hinggap dalam pemikiran Faziur Rahman. Hal ini tampak jelas, ketika ia berpendapat ilmu tidak perlu mencapai tingkat finalitas atau keyakinan.
Ia menyatakan: “Jelas bukan suatu keharusan penafsiran tertentu sekali diterima harus selalu diterima, akan selalu ada ruang dan keharusan Untuk penafsiran-penafsiran baru, dan ini sebenarnya proses yang terus berlanjut.”
Berbeda dengan Faziur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspekaspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.
Pada umumnya, para pengkritmk Islamisasi ilmu berpendapat sains adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independent dan manusia, budaya atau agama, dan harus dipisahkan dan nilai-nilai. Abdus Salam menyatakan:
“Hanya ada satu sains universal, problem-probleninya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kristen.”
Pernyataan Abdus Salam menunjukkan tidak ada yang namanya sains Islam. Pernyataan sekular ini menunjukkan bahwa Abdus Salam menceraikan pandangan hidup Islam menjadi dasar metafisis kepada sains. Padahal, pandangan-hidup Islam akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktivitas seorang saintis. Pernyataan Abdus Salam di atas menunjukkan hasil pemikiran seorang saintis Muslim sekular.
Menurut Prof. Alparsian Açikgenc, pemikiran dan aktivitas ilmiah dibuat di dalam pandangan-hidup saintis yang menyediakan baginya struktur konsep keilmuan tertentu sebagaimana juga panduan etis. Seorang saintis akan bekerja sesuai dengan perspektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan-hidup yang dimilikinya.
Kritik terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan juga diajukan Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan, Islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis atau tidak mungkin (the inipossibility or illogicality of Islamization of knowledge). Alasannya, Realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Kebenaran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh sebab itu, Sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula tidak Islami.
Para filosof Muslim terdahulu tak pernah menggunakan istilah filsafat Islam. Istilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage). Mengelaborasi ringkas argumentasinya, Abdul Karim Sorush menyatakan:
(1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independent dan Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa diislamkan, (3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan.
Pandangan alam dalam argumentasi Abdul Karim Sorush adalah realitas sebagai sebuah perubahan. Ilmu pengetahuan dibatasi hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas tetap dan berubah.
Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, reality is at once both perma nence and change, not in the sense that change is permanent, but in thes sense that there is something permanent whereby change occurs.
Islamisasi ilmu pengetahuan juga dianggap sebagai pribumisasi (indigenization), sebagaimana dinyatakan oleh Bassam Tibi. Ia memahami Islamisasi ilmu sebagai tanggapan dunia ketiga kepada klaim universalitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali (nilai-nilai) lokal untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi.
Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia rnaju, maka gagasan Islamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pàndangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransforinasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadikan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.
Sekalipun istilah Islamisasi adalah baru, namun konsep yang terkandung di dalam kata tersebut bukanlah baru. AlQur’an, misalnya telah mengislamkan sejumlah kosa-kata Arab yang digunakan pada saat itu. Al-Qur’än mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidangbidang semantik dan kosa kata. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dan pandangan hidup Islam.
Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak.
Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang diformulasikan Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat.
[Diambil dari majalah Islamia dengan sedikit penyesuaian bahasa]