ImageHegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) telah membawa dampak negatif terhadap peradaban lain­nya, khususnya dalam bidang epistemologi. Barangkali, “westernisasi ilmu pengetahuan” adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Jika hal ini difahami dengan bâik, maka terma Islamisasi Ilmu Pengetahuan kon­temporer” bukan hanya istilah yang wajar dan mudah diterima, tapi lebih merupakan proyek yang membawa keharusan konseptual. Oleh sebab itu, substansi Islamisasi tidak dapat sepenuhnya dimengerti jika tidak dikaitkan dengan persoalan epistemol­ogis yang melanda dunia Islam, dan tantangan yang menjadi sumbernya. Kajian ini akan memaparkan secara singkat Westernisasi ilmu pengetahuan yang menjadi tantan­gan bagi bangunan ilmu pengetahuan Islam untuk dapat memaharni makna dan relevan­si islamisasi.

I. Westernisasi Ilmu Pengetahuan

Image
Rene Descartes
Sejarawan Barat menganugerahkan gelar “Bapak Filsafat Modern” kepada René Descartes (rn. 1650), yang memformulasi sebuah prinsip, aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan panca indera sebagai sum­ber ilmu juga dilakukan oleh para filosof lain seperti: Thomas Hobbes (m. 1679), Benedict Spinoza (m. 1677), John Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), Francois-Marie Voltaire (m. 1778), Jean-Jacques Rousseau (m. 1778), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), Georg Friedrick Hegel (m. 1831), Arthur Schopenhauer (rn. 1860), Soren Kierkegaard (m. 1855), Edmund Husserl (rn. 1938), Henri Bergson (m. 1941), Alfred North Whitehead (m. 1947), Bertrand Russell (rn1970), Martin Heidegger (m. 1976), Emil­io Betti (m. 1968), Hans-Georg Gadam­er, Jurgen Habermas, dan lain-lain.

Pada zaman modern, filsafat Imman­uel Kant sangat berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu penge­tahuan yang dimunculkan David Humme yang skeptik.

Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan ke­pada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik - a priori sep­erti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fak­ta empiris.

Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemol­ogis (metaphysicial assertions are without epistemo­logical value).

Epistemologi Barat modern-sekular semakin bergulir dengan munculnya hi­safat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan Kant. Bagi Hegel, pengetahuan adalah on going process, dima­na apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi ta­hap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebe­naran. Tetapi yang benar dalam pen­yangkaian tetap dipertahankan.

Epistemologi Barat modern-sekular juga melahirkan paham ateisme. Akibat­nya, faham ateisme, menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.

Ludwig Feurbach (1804-1872), murid Hegel dan seorang teolog, merupa­kan saiah seorang pelopor faham ateisme di abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adaiah inanusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkai, namun pada hakikatnya, agamalah yang menyem­bah manusia (religion that worships man). Aga­ma Kristen sendiri yang menyatakan Tu­han adalah mãnusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manu­sia. Makna sebenarnya dan teologi adaiah antropologi (The true sense of Theology is An­thropology). Agama adalah mimpi akal manu­sia (Religion is the dream of human mind).

Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah “keluhan makhluk yang tertekan”, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pan­dangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya ad­alah ekonomi.

Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula spesis (origin of species) bukan be­rasal dan Tuhan, tetapi dan “adaptasi ke­pada lingkungan” (adaptation to the environ­ment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak men­ciptakan makhluk hidup. Semua spesis yang berbeda sebenarnya berasal dan satu nenek moyang yang sama. Spesis menjadi berbeda ântara satu dan yang lain disebab­kan kondisi-kondisi alam (natural conditions) .

Faham ateisme juga berkembang dalam disipiin ilmu sosiologi. Auguste Comte, penemu istiiah sosiologi, meman­dang kepercayaan kepada agama merupa­kan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang meialui tiga fase teoritis; pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut Se­bagai fase positif. Kharasteristik dan set­iap fase itu bertentangan antara satu den­gan yang lain.

Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau en­titas — entitas yang nyata, yang mengganti­kan kekuatan ghaib.

Dalam fase positif, akal manusia men­yadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spen­cer. Agama, tegas Spencer, bermula dan mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.

Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk mein­bimbing ke arah ilmu pengetahuan.

Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam kary­anya Thus Spoke Zarathustra, Friedrich Ni­etzsche (1 844-1900) menulis: “God died, now we want the overman to live”~ Dalam pandan­gan Nietzsche, agama adalah “membuat lebih baik sesaat dan membiuskan” (mo­mentary amelioration and narcoticizing))°

Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “Seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memili­ki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan ke­pada seseorang.”

Menegaskan perbedaan ruang lingk­up antara agama dan imu pengetahuan, Nietzsche menyatakan: “Antara agama dan sains yang betul, tidak terdapat keter­kaitan, pesahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di bintang yang ber­beda.” Ketika Nietzsche mengkritik agama, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.

Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Rich­ard Rorty sering menjadikan pemikiran Neitzsche sebagai rujukan. Jika Ni­etzsche mengumandangkan God is died, maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 M mendeklarasikan The author is died.

Selain melahirkan ateisme, episte­mologi Barat modern-sekular telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekular. Pandangan-hidup Kristiani telah mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).

Selain itu, jika pada zaman perten­gahan (medieval times) agama Kristen adalah sentral dalam peradaban Barat, maka aga­ma ini menjadi pinggiran pada zaman modern. Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen seperti Santo Augusti­nus, Boethius cm. 524), Johannes Scotus Erigena (m. 877), Santo Anseim (m. 1109), Santo Bonavantura (m. 1274) dan Santo Thomas Aquinas (m. 1274) memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesuai dengan teologi Kristen, maka kini pada abad ke-20, para teolog Kristen sep­erti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Friedrich Gogarten (1887-1967), Paul van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vah­a,nian,  William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, Harvey Cox dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern-sekular. Mereka menegaskan, aja­ran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan-hidup sains modem yang seku­lar. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dan alam ini. Mereka membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gere­ja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Mereka harus menafsirkan kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkemban­gan kehidupan masyarakat modern yang sekular.

Pemaparan ringkas diatas menunjuk­kan Westernisasi ilmu, yang bersumber kepada akal dan panca-indera telah mela­hirkan berbagai macam faham dan pemiki -ran seperti empirisme, rasionalisme, hu­manisme, eksistensialisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, sos­ialisme, skeptisisme, relatifisme, agnostisme dan ateisme. Westernisasi ilmu telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu. Westernisasi ilmu juga telah menceraikan hubungan keduanya.

 

II. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Mengingat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang populer di tahun 80-an, sejatinya telah dicanangkan kurang lebih dua dekade sebelumnya oleh Syed Mu­hammad Naquib al-Attas, maka kajian mengenai substansi Islamisasi ilmu penge­tahuan kontemporer akan lebih jelas jika merujuk kepada konsep-konsepnya. Selain itu, konsep-konsep yang diajukannya berdasarkan pernahaman yang mendalam terhadap pandangan hidup dan peradaban manusia Barat dan epistemologinya.

Image
Syed Naguib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern­sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problema­tis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghi­langkan maksud dan tujuan ilmu.

Sekalipun, peradaban Barat modern meng­hasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebab­kan kerusakan dalam kehidupan manusia.

Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah basil dan kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat kera­guan dan dugaan ke tahap metodologi ‘il­miah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keil­muan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan keper­cayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spe­kulasi filosofis yang terkait dengan kehidu­pan sekular yang memusatkan manusia se­bagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan mor­al, yang diatur oleb rasio manusia, terus menerus berubah.

limu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidup itu dibangun di atas visi mntelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut Syed Muhammad Naquib al­Attas, ada 5 faktor yang menjiwai budaya peradaban Barat: (1) akal diandal­kan untuk membimbing kehidupan manu­sia; (2) bersikap dualistik terhadap reali-. tas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksisterisi yang memproyeksikan pandan­gan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.

Karena ilmu pengetahuan dalam bu­daya dan peradaban Barat itujustru meng­hasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa di­jadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup se­suatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan be­bas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).

Memang antara Islam dengan filsafat dan sains modern, sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib al­Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatu­an cara mengetahui secara nalar dan em­pins, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) men­genai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.

Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang meng­gambarkan realitas dan kebenaran dan sudut pandang rasionalisme dan empiris­esme.

Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Kosong dari Wahyu, ilmu penge­tahuan ini hanya terkait dengan fenome­na. Akibatnya, kesimpulan kepada fenom­ena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, re­alitas yang dipahami hanya terbatas ke­pada alam nyata ini yang dianggap satu­satunya realitas.

Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muham­mad Naquib al-Attas mengobatinya den­gan Islamisasi ilmu. Alasannya, tantan­gan terbesar yang dih­adapi kaum Muslimin ad­alah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral dan telah diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarn­ya berasal dan refleksi kesadaran dan pengala­man manusia Barat. Jadi, ilmu pengetahuan mod­ern harus diislamkan.

Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dan Barat berarti ditolak, karena terdapat sejumlah persamaan dengan Is­lam seperti disebutkan di atas. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan­hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.

Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebe­naran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusja dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Real itas dan kebenaran dimaknaj berdasar­kan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.

Jadi, pandangan-hidup Islam mencalc­up dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalain kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansj yang terakhir dan final.

Pandangan hidup Islam tidak ber­dasarkan kepada metode dikotomis sep­erti obyektif dan subyektif, historis dan normatjf. Namun, realitas dan kebenaran dipahamj dengan metode yang menyatu­kan (tawbid). Pandanganhjdup Islam ber­sumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya ibadahnya, doktrinya serta sistem teolog­inya telah ada dalam wahyu dan dijelas­kan oleh Nabi.

Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkenibangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma‘lum min al-din bi al-darürah). Pandanganhidup Islam terdiri dan berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pen­ciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan.

Konsep-konsep tersebut yang menen­tukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan Pandanganhjdup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.

Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah aga­ma yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bu­kan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memuliki pandanganhjdup mutlaknya sendiri, merangkumj persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam se­mesta dli. Islam memuliki penafsjran on­tologis, kosmologis dan psikologus tersendini terhadap hakikat. Islam meno­lak ide dekonseknasj nilai karena merelat­ifkan semua sistem akhlak.

Setelah mengetahuj secara mendalam mengenai pandangan~hudup Islam dan Bar­at, maka proses Isiamisasi baru bisa dilaku­kan. Sebabnya, Islamisasi ilmu penge­tahuan saat ini (the Islainization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang sal­ing terkait:  mengisolir unsur-unsur dan konsep­konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (5 unsur yang telah disebutkan sebelumnya), dan setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan hu­maniora. Bagaimanapun ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasu harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsjran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandan­gan-hudup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. ini mencak­up metode, konsep, praduga, simbol dan ilmu modern; beserta aspek-aspek em­pins dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historisi­tas ilmu tersebut, bangunan teori ilmun­ya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klas­ifikasinya, batasannya, hubungan dan kaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubunga­nnya dengan sosial harus diperiksa den­gan teliti.

ii)   memasukkan unsur-unsur Islam be­serta konsep.konsep kunci dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Jika kedua proses tersebut selesai di­lakukan, maka Islamisasi akan membebas­kan manusia dan magik, mitologi, animis­me, tradisi budaya nasional yang berten­tangan dengan Islam, dan kemudian dan kontrol sekular kepada akal dan bahasan­ya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dan keraguan (sbakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (miro/) menuju keyakmnan akan kebenaran mefi­genai realitas spiritual, intelligible dan ma­ten.42 Islamisasi akan mengeluarkan penal­siran-penafsiran ilmu pengetahuan kon­temporer dan ideologi, makna dan ungkapan sekular.

 

III. Krifik terhadap Islamisasi Ilmu

Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menuai kritik dan beberapa pemikir Mus­lim kontemporer seperti Faziur Rahman, Muhsjn Mahdj, Abdus Salam, Abdul Ka­rim Soroush dan Bassam Tibi.

Image
Fazlur Rahman
Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan kare­na tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, Bagi Faziur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertang­gung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika rnemperolehnya.

Fazlur Rahman tepat dengan menya­takan ilmu pengetahuan akan tergantung kepada cara menggunakannya. Bagaim­anapun, Faziur Rahman tampaknya meng­abaikan jika konsep dasar mengenam ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan ant­ara Tuhan dan manusia, alam, agama, sum­ber ilmu akan menentukan cara seseorang memandang ilmu pengetahuan.

Selain itu, pemikiran sekular tampa­knya juga hinggap dalam pemikiran Fa­ziur Rahman. Hal ini tampak jelas, ketika ia berpendapat ilmu tidak perlu menca­pai tingkat finalitas atau keyakinan.

Ia menyatakan: “Jelas bukan suatu keharu­san penafsiran tertentu sekali diterima harus selalu diterima, akan selalu ada ruang dan keharusan Un­tuk penafsiran-penafsiran baru, dan ini sebenarnya proses yang terus berlanjut.”

Berbeda dengan Faziur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas mene­gaskan ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspek­aspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.

Pada umumnya, para pengkritmk Islam­isasi ilmu berpendapat sains adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan inde­pendent dan manusia, budaya atau aga­ma, dan harus dipisahkan dan nilai-nilai. Abdus Salam menyatakan:

“Hanya ada satu sains universal, problem-problenin­ya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kris­ten.”

Pernyataan Abdus Salam menunjuk­kan tidak ada yang namanya sains Islam. Pernyataan sekular ini menunjukkan bah­wa Abdus Salam menceraikan pandangan­ hidup Islam menjadi dasar metafisis ke­pada sains. Padahal, pandangan-hidup Is­lam akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktivitas seorang saintis. Pernyataan Abdus Salam di atas menunjukkan hasil pemikiran seorang saintis Muslim sekular.

Menurut Prof. Alparsian Açikgenc, pemikiran dan aktivitas ilmiah dibuat di dalam pandangan-hidup saintis yang menyediakan baginya struktur konsep keil­muan tertentu sebagaimana juga panduan etis. Seorang saintis akan bekerja sesuai dengan perspektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan-hidup yang di­milikinya.

Kritik terhadap Is­lamisasi ilmu penge­tahuan juga diajukan Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan, Is­lamisasi ilmu penge­tahuan tidak logis atau tidak mungkin (the inipos­sibility or illogicality of Is­lamization of knowledge). Alasannya, Realitas bu­kan Islami atau bukan pula tidak Islami. Kebe­naran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Isla­mi. Oleh sebab itu, Sains sebagai proposi­si yang benar, bukan Is­lami atau bukan pula tidak Islami.

Para filosof Muslim terdahulu tak per­nah menggunakan istilah filsafat Islam. Is­tilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage). Mengelabo­rasi ringkas argumentasinya, Abdul Karim Sorush menyatakan:

(1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independent dan Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diis­lamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa diis­lamkan, (3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan.

Pandangan alam dalam argumentasi Abdul Karim Sorush adalah realitas se­bagai sebuah perubahan. Ilmu penge­tahuan dibatasi hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas tetap dan berubah.

Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, reality is at once both perma­ nence and change, not in the sense that change is permanent, but in thes sense that there is something permanent whereby change occurs.

Islamisasi ilmu pengetahuan juga di­anggap sebagai pribumisasi (indigenization), sebagaimana dinyatakan oleh Bassam Tibi. Ia memahami Islamisasi ilmu sebagai tang­gapan dunia ketiga kepada klaim univer­salitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali (nilai-nilai) lokal untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi.

Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islam­isasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia rnaju, maka gagasan Is­lamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pàndangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi bukan saja mengkri­tik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransforinasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandan­gan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadi­kan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.

Sekalipun istilah Islamisasi adalah baru, namun konsep yang terkandung di dalam kata tersebut bukanlah baru. Al­Qur’an, misalnya telah mengislamkan sejumlah kosa-kata Arab yang digunakan pada saat itu. Al-Qur’än mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang­bidang semantik dan kosa kata. Khususn­ya istilah-istilah dan konsep-konsep kun­ci, yang digunakan untuk memproyeksi­kan hal-hal yang bukan dan pandangan hidup Islam.

Pada “zaman pertengahan,” Islamis­asi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fa­khruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yu­nani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang diteri­ma dan ada juga yang ditolak.

Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang diformulasikan Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi epistemologis” yang meru­pakan merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat.

[Diambil dari majalah Islamia dengan sedikit penyesuaian bahasa]