Disini kita akan merenungi QS Al-Qashash dan QS Luqman, dengan dua ikon yang disebutkan didalamnya yaitu Qarun dan Luqman. Dalam QS Al-Qashash, Allah menceritakan kisah Qarun sebagai manusia yang tidak bisa bersyukur, atau dengan kata lain: kufur dengan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Sementara dalam QS Luqman yang datang sesudahnya (setelah QS Al-Ankabut dan QS Al-Ruum), Allah menceritakan kisah Luqman sebagai manusia yang pandai bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepadanya. 

Allah menjelaskan dua mazhahir (perwujudan) dari rasa syukur tersebut. Pertama, dengan tidak menyekutukan Allah. Kedua, dengan berbuat baik kepada kedua orangtua. Yang pertama adalah wujud syukur kepada Allah, sedangkan yang kedua adalah wujud syukur kepada kedua orangtua kita.

Sebegitu pentingnya sikap syukur ini, Allah memaparkan bagaimana sikap syukur mesti kita berikan kepada kedua orangtua. Meski bahkan ketika orangtua mengajak kepada syirik kepada Allah, kita tetap harus bersikap syukur kepada mereka dengan cara tetap berbuat baik kepada mereka. Ini memberikan kita dua pelajaran. Pertama, jika kepada kedua orangtua saja kita harus bersyukur sedemikian rupa, maka bagaimana pula kita mesti bersyukur kepada Allah yang nikmat-Nya kepada kita tak bisa kita hitung. Kedua, kita mesti bersikap syukur kepada Allah dan sekaligus kepada sesama. Jangan hanya bersikap syukur kepada Allah tetapi tidak bisa bersyukur kepada sesama.

Perwujudan syukur kepada Allah yang paling utama adalah dengan menuhankan-Nya semata, beribadah dan menyembah-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun juga. Karena itulah orang yang tidak mau menyembah Allah semata disebut sebagai orang yang kafir, yaitu orang yang tidak bisa bersyukur kepada Allah, menutupi sekian banyak nikmat Allah yang telah Dia limpahkan kepadanya.

Istidraj

Takutlah dengan istidraj. Sebagaimana yang telah Allah berikan kepada Qarun. Dia berikan nikmat dunia yang berlimpah kepadanya. Sampai dengan ketika ia tidak mau menerima nasihat-nasihat yang baik dan terus-menerus bersikap sombong dan zhalim kepada sesama maka Allah menimpakan adzab-Nya. Pertama adzab di dunia yang mengakhiri segala kenikmatan dunianya. Dan kedua, adzab yang lebih pedih yaitu adzab di akhirat.

Nikmat Allah Tidak Selalu Berupa Kenikmatan Material

Sebagaimana dikisahkan dalam QS Al-Qashash, banyak orang awalnya merasa iri dengan kekayaan Qarun. Mereka bergumam, "Andaikan aku seperti Qarun." Tetapi ternyata akhirnya mereka tersadar bahwa harta kekayaan Qarun sama sekali tidak bisa menolongnya ketika Allah menimpakan adzab-Nya. 

Di sisi yang lain, dalam QS Luqman Allah menceritakan bahwa Dia telah mengkaruniakan hikmah yang banyak kepada Luqman. Inilah bentuk nikmat besar yang telah Allah anugerahkan kepada Luqman. Dan Allah menyatakan dalam surat tersebut bahwa hendaknya Luqman bersyukur dengan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Dari sini kita bisa memahami bahwa nikmat itu tidak selalu berupa sesuatu yang sifatnya material. Bahkan ilmu dan hikmah, sebagai contoh, adalah nikmat yang sangat besar dari Allah, yang mesti kita syukuri.

Karena itu, marilah kita banyak merenungi apa saja kiranya berbagai nikmat Allah yang telah Dia anugerahkan kepada kita, dan kita mesti berkomitmen untuk memperbanyak sikap syukur atas nikmat-nikmat tersebut.

Larangan Bersikap Sombong

Dalam QS Al-Qashash Allah membenci dan melarang sikap sombong sebagaimana yang ditunjukkan oleh Qarun. Demikian pula dalam QS Luqman Allah memerintahkan melalui nasihat Luqman kepada anaknya agar tidak bersikap sombong di muka bumi (QS Luqman: 18 - 19).

Disini pula kita bisa memahami kaitan sikap sombong dan rendah hati dengan sikap kufur dan syukur. Sikap sombong dan sikap kufur adalah dua hal yang senantiasa bersama, demikian pula sikap rendah hati dan sikap syukur adalah dua hal yang senantiasa bersama.