Iman artinya "meyakini". Dalam firman Allah dan sabda-sabda Rasulullah, perkataan "iman" kadang-kadang digandengkan dengan hal yang diyakini, misalnya "al-iman billah", "al-iman bi aayaatillah", "al-iman bil yaumil aakhir", dan sebagainya, dan kadang-kadang digunakan secara munfarid, misalnya "alladzina aamanuu", "al-mu'minuun", dan semacamnya. Istilah yang digunakan sebagai lawan dari iman adalah kufur dan takdzib. Kufur dari sisi isytiqaq berasal dari makna "menutupi", dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan sebagai "mengingkari". Adapun takdzib artinya mendustakan, maknanya dekat dengan makna kufur. Sebagaimana iman, perkataan "kufur" dalam firman Allah dan sabda-sabda Rasulullah juga kadang-kadang digandengkan dengan yang diingkari, misalnya "al-kufr billah", "al-kufr bi aayaatillah", dan sebagainya, dan kadang-kadang digunakan secara munfarid, misalnya "alladzina kafaruu", "al-kaafiruun", dan semacamnya. Adapun perkataan "takdzib" dalam Al-Qur'an biasanya digandengkan dengan hal yang didustakan, misalnya "takdziib bi aayaatillah". Dalam Al-Qur'an, dialog tentang keimanan dan kekufuran yang paling banyak adalah: 1) keimanan dan kekufuran kepada Allah, 2) keimanan dan kekufuran kepada Hari Akhir, Hari Kebangkitan, dan Hari Pembalasan, 3) keimanan dan kekufuran kepada kerasulan Muhammad saw, dan 4) keimanan dan kekufuran kepada Al-Qur'an. Al-Qur'an juga mengisahkan tentang kebenaran para nabi dan rasul terdahulu beserta kitab-kitab suci yang mereka bawa. Artinya, kita juga mesti mengimani seluruh nabi dan rasul Allah dan kitab-kitab suci yang mereka bawa. Keimanan kepada para malaikat disebutkan secara spesifik dalam beberapa ayat. Meski tidak banyak dibicarakan dalam dialog tentang keimanan dan kekafiran, keimanan kepada para malaikat terutama malaikat yang diutus untuk urusan-urusan tertentu adalah keniscayaan karena dengan perantaraan malaikatlah Allah menurunkan wahyu kepada rasul-Nya. Adapun keniscayaan keimanan kepada qadar Allah bisa disimpulkan dari banyak ayat Al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah menetapkan qadar atas segala sesuatu. Dari Al-Qur'an dan penjelasan Rasulullah saw, kita mengetahui bahwa rukun iman ada enam sebagaimana yang sudah kita ketahui.

Keimanan itu pada dasarnya ada didalam hati. Berupa keyakinan yang teguh. Iman yang benar akan terpancar dalam perbuatan. Karena itulah Rasulullah saw bersabda, "Jika hati baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika hati rusak maka rusaklah seluruh tubuh." Hal paling utama yang menentukan baik dan rusaknya hati adalah ada tidaknya iman. Karena itulah menguat dan melemahnya iman, atau biasa disebut sebagai naik turunnya iman, bisa dilihat dari cerminannya, yaitu baik dan buruknya perbuatan seseorang. Iman yang benar akan mendorong seseorang untuk berbuat baik, dan sebaliknya iman yang melemah akan mendorong seseorang untuk berbuat buruk. Inilah makna dari ungkapan: "Iman itu naik dan turun. Naik dengan ketaatan dan turun dengan kemaksiatan."

Iman kepada Allah dan Hari Akhir

Inti dari keimanan adalah iman kepada Allah dan Hari Akhir. Karena itulah, iman kepada keduanya sangat sering disebutkan dalam firman Allah dan sabda-sabda Rasulullah. Beriman kepada Allah artinya meyakini keberadaan Allah Yang Maha Esa dalam rububiyah dan sifat-sifat-Nya dan secara otomatis menjadikan seseorang tunduk dan menyembah hanya kepada-Nya semata. Lalu bagaimana kita mesti menyembah Allah? Disinilah manusia memerlukan petunjuk. Karena itulah manusia memerlukan rasul dan ajaran yang dibawanya. Ajaran yang dibawa ini biasa dibukukan dalam kitab suci. Inilah mengapa manusia mesti mengimani rasul ketika Allah mengutusnya dan kitab suci ketika Allah menurunkannya bersama rasul tersebut. 

Ketika seseorang beriman kepada Allah, artinya dia yakin bahwa Allah Maha Melihat. Termasuk melihat apapun yang dia lakukan, bahkan apa yang ada dalam hatinya. Maka orang yang betul-betul beriman kepada Allah akan merasakan muraqabatullah, merasa senantiasa diawasi oleh Allah. Inilah yang menjadikan seseorang menjadi baik dan menghindari yang buruk, karena keyakinannya kepada Allah menyadarkannya bahwa Allah senantiasa mengawasinya.

Iman kepada para malaikat artinya tidak hanya meyakini bahwa para malaikat itu ada. Namun mesti memiliki keyakinan yang benar mengenai para malaikat. Yakni bahwa para malaikat itu adalah makhluq-makhluq Allah juga, yang diberikan berbagai tugas oleh Allah Ta'ala. Dengan demikian, orang tidak akan menuhankan malaikat, atau menjadikan malaikat sebagai sekutu bagi Allah. Demikian pula, orang tidak akan menyifati dan mempersepsikan malaikat dengan sifat-sifat dan gambaran yang salah. Kaum paganis memiliki keyakinan yang salah mengenai para malaikat, yang mungkin disebut oleh sebagian mereka sebagai para dewa, atau sebagai para malaikat dengan sifat-sifat dan gambaran yang tidak benar.

Adapun iman kepada Hari Akhir menjadikan seseorang memiliki harapan dan sekaligus rasa takut akan pembalasan di hari tersebut. Yakni harapan untuk mendapatkan kenikmatan di akhirat dan rasa takut akan mendapatkan siksa di akhirat. karena itulah, keyakinan yang kuat terhadap Hari Akhir mendorong seseorang untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Karena ia sadar bahwa semua perbuatan baiknya akan dibalas dengan kenikmatan di akhirat sedangkan perbuatan buruk akan dibalas dengan siksaan yang pedih di akhirat.

Sampai disini, kita bisa memahami mengapa orang yang betul-betul beriman kepada Allah dan Hari Akhir pasti akan menjadi orang yang baik. Yakni orang yang hanya tunduk dan menyembah kepada Allah semata, tidak menzhalimi sesama manusia, dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi.

Iman kepada qadar

Adapun iman kepada qadar akan menuntun manusia bagaimana menjalani dan menyikapi hidup. Qadar secara umum mencakup dua makna (bukan salah satunya saja). Pertama, ketentuan-ketentuan Allah mengenai segala sesuatu. Ini mencakup apa yang biasa kita sebut sebagai sunnatullah. Kedua, apa-apa yang Allah tetapkan terhadap hamba-hamba-Nya berupa ajal, rizki, nasib, dan sebagainya. Keyakinan terhadap qadar haruslah keyakinan yang benar, bukan keyakinan yang menyimpang. Segala sesuatu, yang besar maupun yang kecil, ada dalam pengetahuan Allah dan tidak akan terjadi tanpa kehendak dan izin Allah. Segala sesuatu telah Allah catat dengan ilmu, hikmah, dan kasih-sayang-Nya yang Maha Luas. Dan Allah memberikan kebebasan kepada manusia dengan konsekuensi akan memberikan balasannya. 

Yang menaikkan dan menurunkan iman

Kita telah memahami bahwa iman itu pada dasarnya adalah keyakinan dan kesadaran didalam hati. Iman memiliki dua dimensi: 1) kuat lemahnya iman, dan 2) hadir tidaknya iman. Yang pertama artinya, seberapa kuat keyakinan seseorang bisa berbeda dari satu orang ke orang yang lainnya. Ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman atau pengertian. Sebagai gambaran mengenai hal ini adalah Ibrahim 'alaihissalam. Dia pernah meminta kepada Allah untuk ditunjukkan suatu bukti bahwa Allah Maha Menghidupkan dan Mematikan. Setelah melihat bukti yang jelas, akhirnya Ibrahim menjadi makin yakin, artinya keimanannya makin kuat. Gambaran lainnya adalah para tukang sihir Fir'aun. Setelah mereka menyadari kemukjizatan Nabi Musa, mereka menjadi tersadar dan mengerti. Akhirnya mereka menjadi yakin dengan keyakinan yang kuat sehingga bahkan tidak mempan oleh siksaan yang sangat pedih dari Fir'aun atas keimanan mereka. Pemahaman dan pengertian ini bisa didapatkan dengan berbagai cara, antara lain: 1) mempelajari, memahami, dan merenungi ayat-ayat Allah dalam Al-Qur'an, 2) merenungi ayat-ayat Allah yang ada di alam ini, dan 3) menarik pelajaran dari pengalaman hidup. 

Dalam dialog-dialog tentang keimanan didalam Al-Qur'an, konsep keimanan senantiasa dialamatkan kepada akal pikiran manusia, yakni akal sehat manusia. Ini menunjukkan bahwa iman erat kaitannya dengan akal manusia. Dengan akal itulah, manusia bisa memahami dan menerima iman. Karena itulah Allah menganugerahkan akal kepada manusia. 

Adapun hadir tidaknya iman pada suatu waktu dalam diri kita, bergantung pada apakah kita sedang ingat ataukah sedang lengah. Ketika iman yang kuat sedang ada dalam hati kita, ia akan mendorong kita melakukan yang baik dan meninggalkan yang tidak baik. Sebaliknya, ketika kita sedang terlena dan lupa dengan apa yang kita imani, maka kita bisa terbawa oleh tarikan-tarikan berbuat buruk. Potensi berbuat buruk sebetulnya sudah ditanamkan oleh Allah dalam diri manusia, sebagaimana juga potensi berbuat baik. Hanya saja syetan senantiasa berusaha membisikkan ajakan untuk berbuat buruk kepada manusia. Syetan ini dalam dua bentuk: syetan dari golongan jin dan syetan dari golongan manusia. Ketika kita sedang terlena dan lupa maka bisikan-bisikan syetan bisa mendorong kita untuk melakukan yang buruk.

Cara utama agar kita tidak terlena dan lupa adalah dengan sering-sering mengingat Allah. Karena itulah mengapa Allah memerintahkan kita untuk banyak-banyak mengingatnya, minimal lima kali setiap hari ketika kita mengerjakan sholat fardhu. Namun idealnya adalah mengingat Allah setiap waktu, sebagaimana yang digambarkan oleh Allah: "yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring". Artinya mengingat Allah setiap saat. Tentu yang dimaksud disini adalah mengingat Allah dengan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dengan senantiasa mengingat Allah yang Maha Mengetahui, kita bisa senantiasa merasakan muraqabatullah. Dengan senantiasa mengingat Allah Yang Maha Agung, kita senantiasa merasa harus tunduk dan patuh kepada-Nya. 

Karena pentingnya mengingat Allah inilah, Rasulullah saw menganjurkan kita memperbanyak sholat (yakni dengan mengerjakan sholat-sholat yang sunnah) dan berdzikir dalam setiap kesempatan. Rasulullah saw telah mengajarkan banyak sekali dzikir yang bisa kita ucapkan pada setiap pagi, setiap petang, setiap selesai sholat, dan dalam berbagai kesempatan dan aktivitas dalam keseharian kita. Juga banyak-banyak membaca Al-Qur'an seraya memahami, menghayati, dan merenungkannya akan mengingatkan kita kepada Allah. Orang-orang yang beriman jika dibacakan ayat-ayat Allah akan bertambah imannya.

Cara kedua adalah dengan banyak-banyak mengingat kehidupan sesudah kematian, yakni Hari Akhir. Kita harus senantiasa ingat akan pembalasan, sehingga membuat kita berhati-hati dalam berbuat. Inilah makna taqwa. Akhirat harus senantiasa menjadi orientasi hidup kita. Jangan pernah lupa akhirat. Ingat selalu: akhirat, akhirat, akhirat. Akhirnya bisa kita simpulkan bahwa kita harus banyak-banyak mengingat dua hal: Allah dan Hari Akhir, agar kita tidak lengah. 

Selain dua cara diatas, yang tidak kalah pentingnya adalah memperbarui iman. Dengan naik turunnya iman kita, kita perlu senantiasa memperbarui iman kita. Karena itulah kita senantiasa mengucapkan dua kalimat syahadat setiap kali kita melakukan sholat. Cara lain untuk memperbarui iman adalah dengan cara mengingatkan dan mengevaluasi keimanan kita. Ini bisa kita lakukan dengan sendirian ataupun dalam suatu majelis (dua orang atau lebih).

Allah melihat hakikat, manusia menghukumi dengan apa yang nampak

Karena Allah Maha Mengetahui, maka Allah melihat hakikat segala sesuatu. Karena itulah, bagi Allah orang-orang munafiq (dengan pengertian nifaq i'tiqadi) itu adalah orang-orang kafir, karena memang hati mereka kafir. Bahkan Allah menjanjikan siksa yang lebih pedih bagi mereka, karena mereka melakukan dua kesalahan sekaligus. Yang pertama, kekafiran. Yang kedua, penipuan (deception), yaitu menipu orang-orang mukmin dengan menampakkan keimanan padahal hati mereka kafir.

Adapun manusia, karena keterbatasan pengetahuannya, hanya diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan apa yang nampak. Karena itulah orang-orang munafiq tetap diperlakukan sesuai dengan hukum-hukum terhadap sesama muslim, selama mereka belum jelas-jelas menampakkan atau menyatakan kekafiran.

Man qaala "Laa ilaaha illallah"

Yang dimaksud dengan "man qaala Laa ilaaha illallah", yang menandai identitas seseorang sebagai seorang "muwahhid (yang mengesakan Allah)" dan membuatnya berhak atas jaminan masuk surga dari Allah, bukanlah sekadar ucapan. Kita mesti memahami haditsnya dengan menggabungkannya dengan hadits-hadits lainnya, yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah "mengucapkan disertai dengan keyakinan", atau dengan kata lain "mengucapkannya karena meyakininya." Jadi tidak berlaku untuk ucapan yang tidak disertai keyakinan, sebagaimana halnya ucapan orang-orang munafiq.

Orang-orang kafir

Kita mungkin bertanya: bagaimana dengan orang-orang kafir yang menjadi kafir semenjak kecil karena orangtua dan lingkungannya membuatnya demikian? Pertama-tama memang betul bahwa orang bisa tetap dalam fitrah agama tauhid atau menjadi kafir karena orangtua dan lingkungannya. Ini ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam salah satu haditnya. Disinilah mengapa dakwah itu harus disampaikan. Jika ada seseorang yang sama sekali tidak pernah mendengar seruan kepada agama Allah, maka bagaimana akan tegak hujjah atasnya? Jika dalam hal ini kaum mukmin tidak menyebarkan seruan dakwah agar bisa sampai kepada orang-orang yang masih kafir, maka kaum mukmin itu menanggung dosa. Namun jika kaum mukmin telah berdakwah namun ada pihak-pihak yang menghalang-halangi sampainya seruan tersebut atau berusaha mendistorsi seruan tersebut, maka kewajiban dakwah telah gugur dan dosa akan ditanggung oleh mereka yang menghalang-halangi dan mendistorsi tersebut. Namun dalam keadaan pesan-pesan dakwah dihalangi sehingga tidak bisa masuk dan sampai, maka disitulah ada perintah berjihad. Jika seruan telah masuk dan sampai sehingga setiap orang mendengarnya, maka kini ada hujjah atas mereka, dan perintah jihad telah gugur. Kecuali jihad karena dizhalimi (jihad defensif).