Gimana sih Walimahan yang Islami?
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
[Artikel ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis: https://abdurrosyid.wordpress.com/2010/01/11/gimana-sih-walimahan-yang-islami/]
Walimah artinya berkumpul, sambil makan-makan tentunya. ‘Urs artinya pernikahan. Dengan demikian, walimatul ‘urs – atau biasa disingkat menjadi walimah saja – adalah acara kumpul-kumpul alias kendurenan, selametan, resepsi, atau pesta yang dilakukan sebagai tanda syukur atas pernikahan yang telah terjadi, berbagi kegembiraan dengan orang lain. Disamping itu juga untuk mengumumkan kepada khalayak mengenai telah terjadinya pernikahan tersebut, agar tidak timbul fitnah. Rasulullah saw bersabda, ”Umumkan pernikahan!” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:1537 dan Shahih Ibnu Hibban hal.313 no:1285). Adapun salah satu hikmah diumumkannya pernikahan adalah untuk membedakannya dengan zina, disamping untuk menghindari munculnya fitnah.
Hukum walimah menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Sementara sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib, dengan berdasar pada hadits Rasulullah saw, dimana beliau saw pernah bersabda kepada Abdurrahman bin ’Auf r.a., ”Adakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (Muttafaqun ’alaih). Dan dari Buraidah bin Hushaib, ia bertutur, ”Tatkala Ali melamar Fathimah ra, Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya pada perkawinan harus diadakan walimah.” (Shahih Jami’us Shaghir no:2419 dan al-Fathur Rabbani XVI:205 no:175).
Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan pelaksanaan walimah. Pada saat pernikahan beliau dengan Zainab ra, beliau menyembelih seekor kambing. Dari Anas ra, beliau berkata, “Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Namun pernah pula Rasulullah saw mengadakan walimah dengan hidangan yang sangat sederhana, tanpa daging, yakni pada saat pernikahan beliau dengan Shafiyah ra. Anas ra berkata, “Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah berdiam selama tiga malam di daerah antara Khaibar dan Madinah untuk bermalam bersama Shafiyyah (istri baru). Lalu aku mengundang kaum muslimin menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu tak ada roti dan daging. Yang ada ialah beliau menyuruh membentangkan tikar kulit. Lalu ia dibentangkan dan di atasnya diletakkan buah kurma, susu kering, dan samin.” (Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari).
Ngobrol Soal Mahar
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
[Artikel ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis: https://abdurrosyid.wordpress.com/2010/01/10/ngobrol-soal-mahar/]
Dalam tulisan ini, saya mau membincang salah satu tema populer seputar pernikahan: mahar. Saya tidak akan menulis sebuah makalah pelajaran fiqih. Karena itu, sejumlah detail fiqih mengenai mahar sepertinya akan sengaja saya lewatkan dalam tulisan ini, kecuali yang saya anggap menarik untuk diobrolkan. Kalau mau tahu detail fiqih tersebut, silakan baca saja referensi yang sesuai.
By the way, kita semua pasti sudah tahu kalo kita menikah si laki-laki harus ngasih mahar kepada si wanita. Mahar – atau dalam bahasa Indonesia sering disebut maskawin – adalah sesuatu yang harus diberikan oleh seorang laki-laki kepada wanita yang dinikahinya, sebagai salah satu syarat sah pernikahan. Dasar hukumnya adalah firman Allah Ta’ala:
Berikanlah mahar kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS An-Nisa’: 4).
Pemberian mahar memiliki beberapa hikmah antara lain menunjukkan kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita, sebagai bukti cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, dan menunjukkan tanggung jawab suami kepada istrinya.
Mahar adalah hak seorang istri. Karena itu, seorang wanita berhak untuk menetapkan mahar apa yang ia inginkan dari laki-laki yang akan menikahinya. Konsekuensi lainnya, mahar yang telah diberikan akan sepenuhnya menjadi hak milik istri. Siapapun – termasuk ayah dan wali si wanita – tidak berhak untuk mengambil sebagian atau seluruh mahar yang telah diberikan, kecuali dengan kerelaan si wanita. Ini sungguh merupakan salah satu bukti ketinggian syariat Islam. Dahulu di zaman jahiliyah, mahar menjadi hak milik ayah atau wali. Tapi kemudian Islam menetapkan bahwa mahar adalah sepenuhnya hak milik istri. Seandainya saja praktek di zaman jahiliyah tersebut tidak dibatalkan oleh Islam, niscaya akan muncul kesan bahwa ayah atau wali bisa menjual anak wanitanya dengan harga tertentu.
Salah Paham Soal Sholat Istikharah
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
[Artikel ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis: https://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/21/salah-paham-tentang-sholat-istikharah/]
Saya pernah mendapatkan email dari seorang ‘net-buddy’ saya yang ada di Mesir. Begitu Inbox saya buka, langsung terbaca judul email tersebut: Al-Mafaahim Al-Khaathiah Haula Shalat alIstikharah. Terjemahannya ya kurang lebih seperti judul artikel ini.
Setelah link judul email tersebut saya ‘double-click’, muncullah sebuah artikel yang tidak terlalu panjang, tentunya dalam bahasa Arab. Sepertinya artikel tersebut adalah ringkasan dari sebuah buku kecil. Tertulis di bagian paling bawah artikel tersebut: ‘Oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Abdil Aziz Al-Musnid’. Bisa ditebak, dialah sang penulis buku yang telah diringkas dalam artikel singkat tersebut.
Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan isi artikel tersebut, dan semoga bermanfaat bagi Anda semua. Dalam artikel tersebut, disebutkan beberapa pemahaman yang keliru mengenai sholat istikharah:
Pertama, banyak orang memahami bahwa sholat istikharah hanya disyariatkan ketika sedang bimbang atau ragu antara dua atau beberapa pilihan. Padahal ini tidak benar, sebab Rasulullah saw bersabda dalam haditsnya: “Idzaa hamma ahadukum bil amr (Apabila salah seorang kalian menginginkan suatu perkara).” Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan kata ‘hamma’ (menginginkan) yang merupakan satu tingkatan dibawah ‘azama’ (bertekad), dan beliau tidak mengatakan: “Jika salah seorang kalian bimbang atau ragu…”
Bagaimana sih Bersikap Hemat Itu?
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
[Artikel ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis: https://abdurrosyid.wordpress.com/2008/04/03/bagaimana-sih-bersikap-hemat-itu/]
Gemi nastiti. Hemat pangkal kaya. Keduanya adalah pepatah yang menganjurkan kita untuk hidup hemat. Namun apa dan bagaimana hidup hemat itu? Apa bedanya hemat dengan pelit?
Cukup tipis memang perbedaan antara hemat dan pelit. Namun bagaimanapun, kita harus mampu membedakannya, karena keduanya adalah dua hal yang bertentangan. Hemat dianjurkan, sementara pelit justru dilarang.
Al-Qur’an sepertinya bisa membantu kita memaknai hemat dengan tepat. Dalam Al-Qur’an ada larangan untuk bersikap boros, dan pada saat yang sama ada larangan untuk bersikap pelit. Al-Qur’an memerintahkan kita untuk bersikap diantara keduanya, yakni antara boros dan pelit. Nah, agaknya sikap pertengahan antara boros dan pelit inilah definisi yang tepat untuk hemat.
Boros berarti membelanjakan sesuatu tidak pada tempatnya ataupun melebihi ukuran yang semestinya. Jika kita membelanjakan uang kita untuk sesuatu yang haram, meskipun sedikit, maka itu sudah dikatakan boros karena kita membelanjakan uang tidak pada tempatnya. Pembelanjaan yang pada tempatnya adalah pembelanjaan untuk sesuatu yang halal. Namun pembelanjaan untuk yang halal pun tidak selamanya bebas dari boros. Jika kita membelanjakan untuk yang halal tetapi melebihi ukuran yang semestinya maka itu juga boros. Contohnya kalau kita berbelanja pakaian –yang tentu saja halal – melebihi jumlah yang pantas maka itu adalah sikap boros.
Amalan Pemelihara Diri
- Ditulis oleh Abdur Rosyid
Artikel ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis: https://abdurrosyid.wordpress.com/2009/04/20/amalan-pemelihara-diri/]
Apakah saya ingin bicara tentang amalan-amalan yang bisa memelihara diri dari gangguan makhluk halus atau sihir? That’s included here. Namun, yang lebih penting bagi saya adalah memelihara diri agar iman dan takwa tetap hidup dalam hati kita. Sebab, tidak ada hal yang lebih berharga bagi kehidupan seorang manusia kecuali iman dan takwanya. Nilai seorang manusia hanyalah ditentukan oleh dua hal tersebut. Semakin seseorang beriman dan bertakwa, iapun semakin bernilai. Sebaliknya, semakin rendah iman dan takwa seseorang, iapun semakin tidak bernilai.
“Innaa khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim, tsumma radadnaahu asfala saafiliin (Sesungguhnya Kami – Allah – telah menciptakan manusia dalam penciptaan yang sebaik-baiknya, kemudian Kami mencampakkannya – yakni mereka yang durhaka – ke tempat yang serendah-rendahnya.”
“Inna akramakum ‘indallahi atqaakum (Yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa).”
Sekarang, apa yang bisa kita lakukan agar iman dan takwa kita senantiasa bersinar dalam hati kita?
Saya rasa, yang pertama adalah banyak-banyak memohon dan berdoa kepada Allah agar Ia senantiasa memberikan petunjuknya kepada kita. Salah satu doa yang sangat untuk dibaca adalah: “Rabbanaa laa tuzigh quluubana ba’da idz hadaitanaa, wa hablanaa min ladunka rahmah, innaka antal wahhab (Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah Engkau memberikan petunjuk kepada kami, dan berilah kami kasih sayang dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Yang Maha Pemberi).”
Halaman 10 dari 69