Iman dari sisi bahasa artinya membenarkan. Adapun secara syara’ artinya pembenaran (oleh hati) dengan makna khusus, yakni membenarkan Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, Hari Akhir, dan ketentuan-Nya yang baik maupun yang buruk (yakni enam rukun iman). Adapun Islam disini dimaknai melakukan kewajiban-kewajiban yang sifatnya lahiriyah. Allah Ta’ala membedakan antara Islam dan iman dalam firmannya: “Orang-orang Arab badui itu mengatakan ‘Kami beriman’. Katakanlah, wahai Muhammad, ‘Kalian belum beriman; Akan tetapi katakanlah ‘Kami telah ber-Islam”. Ini dikarenakan orang-orang munafik ketika itu secara lahiriyah melakukan sholat, ikut berpuasa, dan membayar zakat, namun hati mereka mengingkari. Maka ketika mereka mengaku beriman, Allah mengingkari pengakuan mereka karena hati mereka memang tidak beriman. Namun Allah membenarkan pengakuan keislaman mereka karena mereka memang telah melakukan kewajiban-kewajiban Islam yang sifatnya lahiriyah. Pengingkaran Allah atas pengakuan iman orang-orang munafik ini juga dinyatakan di bagian awal QS Al-Munafiqun.
Pembahasan mengenai masalah ketentuan dan ketetapan (qadar) Allah: Yang benar, qadar Allah itu benar adanya. Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan segala sesuatu di awal dan Dia mengetahui bahwasanya ketetapan-ketetapan itu akan terjadi pada waktu dan tempat yang telah Dia ketahui, dan dengan cara yang telah Dia tetapkan.
Ketahuilah bahwa taqdir itu ada empat. Pertama, taqdir dalam pengetahuan Allah. [Komentar penulis: Artinya, segala sesuatu sebetulnya sudah ada dalam pengetahuan Allah. Dan pengetahuan Allah mendahului segala sesuatu.] Kedua, taqdir di Lauh Mahfuzh. Ini adalah taqdir yang bisa berubah. Allah Ta’ala berfirman, “Allah menghapus dan menetapkan apapun yang Dia kehendaki, dan disisi-Nya terdapat Induk dari Kitab.” Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya beliau pernah berdoa, “Ya Allah, jika Engkau mencatatku sebagai orang yang celaka, maka hapuslah aku (dari catatan tersebut) dan catatlah aku sebagai orang yang Bahagia.” Ketiga, taqdir (yang ditetapkan) dalam rahim ibu. Yakni ketika malaikat diperintahkan untuk mencatat rizqi, ajal, amalan, dan bahagia atau celaka atas janin ketika berada di rahim ibunya. Keempat, taqdir baik ataupun buruk yang bisa menimpa pada waktunya, tetapi mungkin untuk dihindari. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwasanya “sedekah dan silaturrahim (menjaga hubungan kekerabatan) menolak kematian dalam keadaan buruk (su’ul khatimah)…” Dalam hadits yang lainnya disebutkan bahwasanya “doa dan bala’ bertempur diantara langit dan bumi, dan doa menghalangi bala’ sebelum bala’ tersebut menimpa”.
[Komentar penulis: taqdir ketiga diatas disebut juga sebagai taqdir 'umri karena taqdir tersebut ditetapkan di awal kehidupan seseorang. Satu jenis taqdir lagi dengan pengertian yang tidak sama dengan jenis-jenis taqdir yang dipaparkan diatas adalah taqdir sanawi yaitu taqdir yang ditetapkan atas segala sesuatu setiap tahun oleh Allah, yakni pada malam Lailatul Qadr setiap tahunnya.]
Kaum qadariyah menyangka bahwa Allah tidak menakdirkan sesuatu di awal dan bahkan ilmu-Nya tidak mendahului segala sesuatu. Mereka berpandangan bahwa Allah mengetahui sesuatu sesudah sesuatu tersebut terjadi. Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Ada juga kaum qadariyah di zaman kontemporer yang mengatakan bahwa kebaikan berasal dari Allah sedangkan keburukan berasal dari selain Allah. Ini menyerupai keyakinan Majusi yang menyatakan bahwa kebaikan berasal dari cahaya sedangkan keburukan berasal dari kegelapan. Dan ini sesuai dengan sabda Nabi saw, “Al Qadariyah adalah Majusi ummat ini.” Padahal Allah-lah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Imam Al-Haramain berkata dalam kitabnya Al-Irsyad, “Sebagian kaum qadariyah berkata, ‘Kami bukan qadariyah, kalianlah yang qadariyah karena kalian meyakini riwayat-riwayat tentang qadar (takdir).” Kemudian beliau membantah mereka yang menisbatkan takdir kepada diri mereka sendiri, bahwasanya itu malah lebih fatal daripada yang menisbatkan keburukan kepada selain dirinya.
[Komentar penulis: Pembahasan ini agak sensitif. Sebetulnya dalam Al-Qur'an sendiri terdapat ayat-ayat yang redaksinya menisbatkan kebaikan secara eksplisit kepada Allah namun tidak demikian dengan keburukan (kadang-kadang pelakunya dibuat majhuul dan kadang-kadang secara eksplisit dinisbatkan kepada manusia yang melakukannya). Namun penisbatan tersebut tidak identik dengan penciptaan. Penisbatan tersebut lebih pada sabab. Artinya, tetap saja yang menciptakan kebaikan dan keburukan adalah Allah. Keduanya adalah makhluq. Diantara cara pandang yang tepat adalah bahwa kebaikan dan keburukan tidak akan terjadi kecuali atas izin Allah, namun hanya kebaikan yang mendapatkan ridha Allah sedangkan keburukan tidak mendapatkan ridha Allah. Wallahu a'lam.]
Pembahasan mengenai ihsan: Ini adalah maqam musyahadah, karena barangsiapa yang mampu melihat Sang Raja maka ia akan malu untuk berpaling dari selainnya dalam sholat dan malah menyibukkan hatinya dengan selain-Nya. Maqam ihsan adalah maqam orang-orang yang shiddiiq. Ini sudah dibahas dalam syarah hadits pertama. Adapun “jika engkau tidak mampu melihat maka sesungguhnya Dia melihatmu”, maka diantara maksudnya adalah jika engkau lalai dalam sholatmu dan malah memikirkan hal-hal lain dari perkara dunia dalam sholatmu maka Allah melihatmu.
Pembahasan mengenai Hari Kiamat: "Tidaklah yang ditanya lebih tahu daripada yang bertanya." Ini menegaskan bahwa Rasulullah saw tidak tahu kapan Hari Kiamat akan terjadi. Hanya Allah yang mengetahui kapan Hari Kiamat terjadi, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya di sisi Allah sajalah ilmu tentang (kapan terjadinya) Hari Kiamat”. Siapa saja yang mengklaim bahwa umur dunia 70 ribu tahun atau sekian tahun maka ini adalah keyakinan yang batil.
Mengenai tanda-tanda Hari Kiamat, diantara yang disebutkan adalah budak perempuan melahirkan majikannya. Salah satu maknanya adalah akan ada banyak sekali budak perempuan (sariyah, jariyah) yang mana anak-anaknya memiliki kedudukan seperti majikannya karena ayahnya adalah sang majikan. Makna lainnya adalah adanya budak-budak perempuan yang melahirkan para raja sehingga budak-budak perempuan tersebut menjadi sebagian dari rakyatnya. Mungkin juga maknanya adalah, ada orang-orang yang meminta budak perempuannya untuk melahirkan anak, lalu sesudah itu mereka menjual budak perempuan tersebut. Kemudian ketika anak tersebut telah besar ia membeli ibunya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknyanya adalah banyaknya anak-anak yang durhaka kepada orangtuanya sampai-sampai orangtua menjadi takut kepada anaknya, sehingga seolah-olah anak menjadi majikan bagi orangtuanya.
Perkataan Rasulullah saw: “Dia (Jibril as) mengajari kalian perkara agama kalian” menunjukkan bahwa iman, Islam, dan ihsan semuanya adalah agama (diin).
Diterjemahkan dan disarikan oleh penulis dari kitab Syarh Matn al Arba'in al Nawawiyah fi al Ahadits al Shahihah al Nabawiyah terbitan Maktabah Dar al Fath, Damaskus. Komentar penulis diletakkan dalam tanda kurung siku [ ].