Apa Itu Masyarakat Madani?
Kata Madani berasal dari bahasa Arab m-d-n yang artinya menempati suatu tempat (Ar Raziy dalam Mukhtar as Shihah hal.742). Dari kata inilah kemudian dibentuk kata madinah yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok orang, sehingga lawan kata al-madinah adalah al-badiyah yang berarti kehidupan yang masih nomaden. Bentuk jamaknya adalah madain atau mudun. Kata madani merupakan bentuk dari mashdar shina’iy, yang menunjukkan arti sifat yang dimiliki orang kota (min ahlil madinah).
Hanya saja dalam perkembangan berikutnya, kata madani --juga kata hadharah--, ini digunakan oleh orang Arab untuk menerjemahkan istilah bahasa Inggris civilization. Justru pada akhirnya kata madani yang berarti civilization yang sering dipakai dalam perbincangan kehidupan masyarakat dan negara. Dalam konteks perangkat negara, madani memiliki arti sipil (bukan militer), sedangkan dalam konteks hukum, madani berarti bukan pidana. Sehingga, hukum perdata sering disebut qanun madani, seperti undang-undang sipil perkawinan disebut dengan qanun al-zawaj al-madani.
Anwar Ibrahim mengartikan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perseorangan dengan kestabilan masyarakat. Pelaksanaannya antara lain berupa pelaksanaan pemerintahan yang tunduk pada undang-undang dan terselenggaranya sistem yang transparan.
Nurcholis Madjid mengartikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang berperadaban (ber-“madaniyyah”) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Ia pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum (lawless) Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa seperti yang selama ini menjadi pengertian umum tentang negara.
BJ Habibie pernah memerintahkan LIPI dan BP7 untuk merumuskan makna masyarakat madani yang lebih tepat untuk konteks Indonesia. Lantas apa bedanya? Menurut Dr Alfitra Salamm, peneliti pada LIPI dan BP7 yang mendapat tugas menginventarisasikan konsep masyarakat madani dari para cendekiawan se-Indonesia, konsep masyarakat madani tidak terlalu jauh berbeda dengan konsep civil society, yakni berintikan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Tapi kalau civil society melulu bicara dalam paradigma politik, konsep masyarakat madani juga mengandung unsur keagamaan.
Cendekiawan Malaysia Profesor Naquib Al-Attas -- yang pernah mengadakan diskusi bertema "Masyarakat Madani or Civil Society"-- berusaha mempresentasikan bahwa paradigma masyarakat madani lebih relevan untuk masyarakat ideal masa depan daripada konsep civil society. Menurut Hatta, istilah masyarakat madani yang dipopulerkan oleh Al Attas ini merupakan terjemahan dari kosa kata bahasa Arab, mujtama’ madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti. Pertama, "masyarakat kota", karena madani adalah turunan dari kata bahasa Arab, madinah, yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga turunan dari kata bahasa Arab, tamaddun atau madaniyyah yang berarti peradaban dalam bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization. Maka dari nama ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Namun bagi Ahmad Hatta, secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh keempat Khulafaur-Rasyidin. Masyarakat yang dibangun pada zaman Rasul tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban (civility). Karena itu model masyarakat ini sering dijadikan model sebuah masyarakat modern, sebagaimana yang juga diakui oleh seorang sosiolog kenamaan, Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief (1976). Bellah mengakui, dalam buku hasil penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia itu, bahwa masyarakat yang dipimpin Rasulullah itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah melakukan lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya.
Upaya Ahmad Hatta merujuk pada komunitas zaman Nabi itu tentu bukan sekadar mengada-ada serta bukan sebuah sikap pembelaan yang tanpa alasan. Sebab kecanggihan masyarakat yang pernah dibangun Nabi itu juga masih bisa dirunut jejaknya melalui sebuah piagam tertulis yang disebut dengan Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah).
Inilah dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, menurut Hatta dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
Secara formal Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama, antar sesama muslim, bahwa sesama muslim adalah satu ummat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsp bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama. Akan tetapi secara umum, sebagaimana terbaca dalam teks, piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah secara lebih luas. Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam piagam Madinah, yang menjadi dasar bagi pendirian sebuah negara Madinah kala itu. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawwah wal-'adalah) Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Oleh sebab itu, dalam negeri Madinah saat itu, walaupun penduduknya heterogen (baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan) kedudukannya sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas dalam bidang sosial ekonomi. Setiap pihak mempunyai kebebasan yang sama untuk membela Madinah tempat tinggal mereka.
Yang mungkin menjadi pertanyaan, bagaimana Rasulullah SAW bisa membangun sebuah masyarakat modern di tengah padang gersang dan dalam sebuah lingkungan yang dicitrakan tak beradab itu? Menurut Ahmad Hatta, masyarakat Madinah bernilai peradaban itu dapat dibangun hanya setelah Rasulullah melakukan reformasi dan transformasi ke dalam (inner reformation and transformation) pada individu yang berdimensi aqidah, ibadah dan akhlaq. "Karena itu iman dan moralitas menjadi landasan dasar Piagam Madinah," paparnya. Semua prinsip dan nilai di atas menjadi dasar semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan hukum masa itu, sehingga masyarakat madani yang diidealkan itu secara empiris pernah terwujud di muka bumi ini, bukan sekedar sebuah impian.
Adapun Ryaas Rasyid berpendapat bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang terpenuhi haknya dalam penyelanggaraan kekuasaan. "Hak dalam pengertian suara rakyat harus didengar pemerintah sekaligus ikut serta dalam penyelenggaraan kekuasaan," jelas mantan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta ini.
Ide seperti itu telah pula menjadi agenda penting gerakan politik di Indonesia pasca kemakzulan Soeharto. Partai Keadilan (PK) misalnya, dalam manifesto politiknya jelas-jelas menjadikan konsep masyarakat madani sebagai model masyarakat berkeadilan yang dicita-citakan. "Setiap warga negara harus memahami hak dan kewajibannya serta menyadari wewenang dan kewajiban pemerintahnya. Dalam keadaan pemerintahan lalai menerapkan hukum, maka masyarakat berkewajiban melakukan hisbah (kontrol). Fungsi kontrol akan berjalan efektif kalau warga memiliki keberdayaan politis. Keberdayaan masyarakat dalam melaksanakan seluruh hak dan kewajibannya merupakan inti dari masyarakat madani. Warga yang sadar akan mampu mencegah kesewenang-wenangan elit yang mendominasi proses pembuatan kebijakan publik," kata Dr Hidayat Nur Wahid dalam deklarasi pendirian PK.
Apa saja yang menjadi elemen penting terbentuknya masyarakat madani? Masih menurut rumusan PK, masyarakat madani adalah masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlaq mulia, secara politik-ekonomi-budaya bersifat mandiri serta memiliki pemerintahan sipil.
Bagaimana Rasulullah SAW Membangun Masyarakat Madani?
Menurut Dr. Ahmad Sathori, dalam rangka menuju masyarakat madani, Rasulullah mencanangkan empat sendi. Pertama, akidah Islam sebagai titik tolak menuju tersebarnya Islam ke seluruh dunia. Kedua, masyarakat Islam sebagai titik tolak menuju terciptanya masyarakat terbaik dan moderat. Ketiga, perundang- undangan Islam sebagai awal perubahan menuju kehidupan sejahtera masa kini dan mendatang. Keempat, kekuatan Islam sebagai titik tolak menuju perdamaian internasional.
Sendi kedua, yakni masyarakat Islam, merupakan sendi terpenting dalam melakukan perubahan. Akidah, bila tidak ada masyarakat yang mengamalkannya, akan menjadi barang mati. Masyarakat inilah yang dibangun Rasulullah sejak di Mekah dan diteruskan di Madinah.
Rasulullah saw telah meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak pembentukan masyarakat baru di Yatsrib, yaitu:
- Memperkokoh hubungan kaum muslim dengan Tuhannya dengan membangun masjid
- Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan mempersaudarakan kaum pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk asli Madinah, yaitu kaum Anshor
- Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam, baik yang ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan perjanjian perdamaian.
Melalui tiga hal di atas, Rasulullah saw. berhasil membangun masyarakat ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang beliau beri nama Madinah, artinya “kota” atau “tempat peradaban”.
Mengapa masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah saw. dan bukan yang lainnya? Sebab, Rasulullah mengetahui bahwa imanlah sesungguhnya inti kekuatan dari masyarakat madani yang hendak dibangun. Maka, masjid adalah sarana yang tepat untuk memelihara iman agar tetap kokoh dan mantap.
Selain itu, masjid ini juga diharapkan menjadi tempat pembinaan umat secara keseluruhan. Dari masjid inilah lahir masyarakat baru yang dikenal dengan nama masyarakat madinah, yang menjadi acuan bagi peristilahan masyarakat madani saat ini.
Hal kedua yang Rasulullah saw. lakukan adalah melaksanakan strategi ‘ta-akhi bainal muhaajiriina wal anshaar (persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor) yang dimaksudkan untuk menguatkan kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslim. Tujuan lain dari hal ini adalah untuk menguatkan hubungan antara pendatang dan penduduk asli, memusnahkan fanatisme kesukuan ala jahiliyah, dan menumbuhkan semangat pengabdian yang ditujukan hanya untuk Islam. Karena secara historis, orang-orang Anshar yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khajraz pernah saling bermusuhan. Darah yang belum kering, dendam yang belum padam, sirna dihapus oleh jiwa baru persaudaraan Islam.
Adapun hal ketiga tertuang dalam Piagam Madinah, yang telah dijelaskan dalam beberapa paragraf sebelum ini.
Sendi ketiga adalah meletakkan dasar-dasar tasyri’ (perundang-undangan) Islam, untuk membentuk masyarakat dan mengatur hubungan antaranggota masyarakat. Tasyri’ Islam yang diletakkan di Madinah telah mencapai derajat kesempurnaan dan bisa memenuhi kebutuhan umat manusia sampai kapan pun. Bila diterapkan secara utuh di masyarakat akan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.
Sendi keempat adalah kekuatan Islam. Ketika dakwah memasuki fase madani, dan mulai membangun masyarakat Islami, tidak boleh tidak ia harus memiliki kekuatan. Dengan kekuatan ini umat Islam akan mampu menyebarkan prinsip-prinsip ajaran ke setiap tempat dan sekaligus bisa melindungi diri dari serangan musuh-musuh. Bahkan, bisa mempertahankan kelompok mustadh’afin (lemah) dari tindakan kaum kuffar.
Karakteristik Masyarakat Madani
- Masyarakat yang beriman dan berakhlaq
- Persatuan dan kesatuan umat, tidak fanatis terhadap ikatan-ikatan kesukuan
- Tegaknya hak-hak asasi manusia dan tidak adanya kesewenang-wenangan
- Egaliterisme, anti-feodalistik, anti-otoriterisme, ruang publik yang luas, dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kekuasaan
- Masyarakat yang memiliki hukum dan taat hukum, tidak barbarian, dan tegaknya supremasi hukum
- Masyarakat yang inklusif, toleran dalam perbedaan, dan kemampuan untuk bekerjasama dalam menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan
- Keadilan sosial bagi seluruh umat
Indonesia dan Masyarakat Madani
Menurut Ryaas Rasyid masyarakat madani di Indonesia baru berada dalam proses pertumbuhan, bahkan masih berupa embrio. "Still in the making," katanya. Dikatakan sedang tumbuh, menurut Ryaas, karena masyarakat madani bangkit berdasarkan banyak faktor pendukung. Faktor pertama adalah adanya perbaikan di sektor ekonomi, yakni semakin tinggi pendapatan masyarakat yang menyebabkan mereka tidak tergantung kepada pemerintah, bahkan secara logika justru pemerintah yang tergantung kepada masyarakat karena harus membayar pajak untuk mendukung kegiatan pemerintahan. Faktor kedua, tumbuhnya intelektualitas. Semakin intelek suatu masyarakat, maka secara umum semakin memiliki komitmen untuk independen. Sedangkan faktor ketiga, terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independen.
Tetapi, menurut pengamat politik asal Australia Dr Daniel Lev, yang menjadi pangkal persoalan sejak dulu bukanlah masyarakat, tetapi negara itu sendiri. Pemerintahlah yang selama puluhan tahun mengembangkan sistem pemerintahan yang mengasingkan diri dari
masyarakatnya, sehingga tidak dapat dikendalikan langsung oleh mereka. Jika demikian, menurut Ryaas, masyarakat harus memperjuangkan hak-hak mereka pada penguasa. "Karena tidak ada di dunia ini pemerintah atau penguasa yang secara sukarela menyerahkan kekuasaannya. Masyarakat sendirilah yang harus memperjuangkannya," kata Ryaas.