Wanita Sebelum Islam
Masyarakat Arab jahiliyah sebelum datangnya Islam menganggap bahwa anak perempuan itu tidak ada harganya. Seseorang diantara mereka akan merasa sangat malu jika memiliki seorang anak perempuan. Keadaan ini diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl ayat 58-59)
Ketika itu kaum wanita dihalangi untuk mendapatkan warisan. Karena itulah kemudian Allah SWT berfirman: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa’:7).
Bahkan kaum wanita tidak sekadar dihalangi dari hak waris. Mereka juga diperjualbelikan dan dijadikan sebagai harta warisan. Bila suaminya meninggal, maka anaknya yang paling besar dari suaminya mewarisinya. Jika mau ia menikahinya atau menikahkannya kepada selainnya dan dia mengambil maharnya atau melarangnya untuk menikah hingga meninggal. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).”(An-Nisa’: 22).
Wanita dalam Peradaban Lain
Di Athena, kedudukan wanita tidak lebih baik ketimbang di India dan Romawi. “Athenian women were always minors, subject to some male.” Wanita Athena selalu berada diposisi yang lebih rendah (minor), tunduk terhadap laki-laki – kepada ayah mereka, saudara laki-laki mereka atau keluarga laki-laki mereka.
Dalam hukum Romawi Kuno, wanita dalam masa sejarah sangat tergantung sepenuhnya. Jika menikah, dirinya dan hartanya berpindah tangan dalam kekuasaan suaminya. Jika seorang wanita menikah, maka dia dan seluruh hartanya secara otomatis menjadi milik sang suami.
Ini hampir sama dengan yang tertulis dalam English Common Law. “All real property which a wife held at the time of a marriage became a possession of her husband.” “Semua harta benda riil yang dimiliki seorang perempuan pada saat dia menikah menjadi milik suaminya.” Hanya pada akhir abad ke 19 keadaan ini mulai berubah. “Dengan serangkaian peraturan, dimulai dengan Pengaturan Kepemilikan wanita menikah pada tahun 1870, yang diamandemen pada tahun 1882 dan 1887, wanita menikah memperoleh hak untuk memuliki harta pribadi.
Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya."
Dalam tradisi Hindu, hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi.
Masih dalam tradisi Hindu, sebagaimana tertulis dalam The Encyclopaedia Britannica, bahwa ciri seorang isteri yang baik adalah wanita yang pikiran, perkataan, dan seluruh tingkah lakunya selalu patuh pada suaminya bagaimanapun seorang suami bersikap kepadanya.
Dalam ajaran Yahudi, mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak. Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi disselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki.
Wanita dalam Pandangan Islam
Secara ringkas bisa dikatakan bahwa dalam Islam, pria dan wanita itu equal but not identical (sama tetapi tidak serupa). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan. (QS.Al-Isra’ [17]:70). Tentu, kalimat anak-anak Adam dalam ayat ini mencakup lelaki dan perempuan. Demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki.
Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah Ali 'Imran yang menyatakan: “Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain”, dalam arti bahwa "sebagian kamu (yakni kaum lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki, dan sebagian yang lain (yakni kaum perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya.
Allah SWT mempertegas lagi kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam firman-Nya: “Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl: 97)
Tabiat manusia antara laki-laki dan perempuan hampir dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan, sebagaimana dia menganugerahkan kepada laki-laki, potensi yang cukup untuk memikul tanggungjawab dan menjalankan aktivitas-aktivitas.
Oleh karena itu, Allah memberikan hak dan kewajiban yang sama antara pria dan wanita, seperti kewajiban sholat, puasa, zakat, haji, ‘amr ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya.
Akan tetapi, adakalanya syariat Islam menetapkan adanya pembebanan hukum (hak dan kewajiban) yang berbeda bagi pria dan wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada kaum pria, tidak kepada wanita. Masalah perwalian juga diserahkan hanya kepada kaum pria. Sedangkan tugas menjadi ibu dibebankan kepada wanita saja dan tidak kepada pria.
Pembedaan tersebut karena memang ada perbedaan tabiat fitri yang dimiliki oleh masing-masing. Inilah yang dimaksud bahwa pria dan wanita itu ‘not identical’.
Allah SWT berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS Al-Baqarah : 228)
Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS An-Nisa’: 34).
Kelebihan laki-laki atas wanita yang dimaksudkan dalam ayat-ayat tersebut adalah qiwamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di mata hukum. Nanum peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi diktator atas isterinya. Islam menekankan pentingnya nasehat dan persetujaun bersama dalam diskusi keluarga. Al-Qur’an memberi kita contoh: “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. “ (QS Al-Baqarah : 233).
Lalu bagaimana kita menyikapi hadits Rasulullah saw: “Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” (HR Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, dari sahabat Abu Hurairah)? Memang benar ada hadis yang berbunyi demikian. Namun kemudian dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Untunglah, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana.
--------------------------------------------
Dalam Islam, wanita memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia karena wanita adalah ibu kita. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548). Dalam hadits yang lain disebutkan: “Surga berada dibawah telapak kaki ibu.”
Dikatakan juga bahwa wanita adalah “tiang negara”. Jika bagus keadaan wanita dalam sebuah masyarakat, maka baguslah keadaan masyarakat tersebut. Demikian pula sebaliknya. Ini benar sekali, karena wanita merupakan salah satu fitnah terbesar dalam kehidupan. Jika dalam sebuah masyarakat kaum wanitanya baik dan shalihah, niscaya masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang baik dan shalih pula. Sebaliknya juga demikian.
Bahkan Islam tidak membenarkan budaya masyarakat Arab jahiliyah yang marah, bersedih, dan tidak suka jika mereka memiliki anak perempuan. Sebaliknya, Islam mengatakan bahwa anak-anak perempuan jika berhasil dididik menjadi wanita yang shalihah akan menjadi tameng bagi orangtuanya dari sengatan api neraka.
Semua ini menunjukkan betapa tinggi dan mulianya kedudukan seorang wanita dalam Islam.
Wanita Sumber Masalah?
Dalam doktrin Yahudi dan Kristen, wanita dianggap sebagai biang masalah dan sumber kajahatan karena dulu telah menggelincirkan Adam dari Surga.
Dari ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS 20:120).
-------------------------------
Namun dalam Islam ada anjuran untuk bersikap waspada dan hati-hati terhadap fitnah yang bisa muncul dari kaum wanita.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk condong kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak … .” (Ali Imran: 14).
Takutlah kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari wanitanya.” (HR. Muslim)