Dalam iklim demokrasi, rakyat diberikan hak yang lebih luas untuk menentukan pemimpinnya. Mulai dari Pilkades, Pilbup/ Pilwali, Pilgub, Pileg, sampai Pilpres.

ImageBarangkali Anda merasa lelah untuk terus memilih, namun bagaimanapun juga kita memiliki tanggung jawab terhadap kepemimpinan di negeri kita ini. Bagaimana kalau orang yang baik-baik tidak ikut memilih sementara mereka yang tidak baik dan tidak paham agama justru yang ikut memilih? Tentu para pemimpin yang tidak baiklah yang akan menguasai kita semua.

Memang benar masyarakat yang sudah relatif mandiri mungkin merasa tidak akan secara signifikan dipengaruhi oleh siapa yang akan menjadi pemimpin, namun dalam konteks yang lebih besar dan lebih menyeluruh, baik pada level nasional maupun internasional, siapa yang memimpin akan benar-benar menentukan kemana negeri ini akan berjalan.

Apakah kita rela bisa hidup sejahtera namun sekian banyak saudara-saudara kita tetap bergelimang dalam kesusahan, dan hak-hak mereka terus-menerus dikebiri dan dikorupsi oleh para pemimpinnya? Apakah kita rela kekayaan negeri ini terus-menerus dieksploitasi oleh asing, sehingga tidak ada yang tersisa bagi anak negeri ini kecuali sangat sedikit? Apakah kita rela bisa hidup merdeka, namun negeri ini diam dan bungkam terhadap kezhaliman dan penjajahan yang masih bercokol di belahan bumi yang lain?

Jika kita tidak rela, berarti kita harus menentukan para pemimpin kita, yang di tangan merekalah semua hal tadi ditentukan.

Lebih dari sekadar hak, menggunakan hal pilih dengan pilihan yang tepat adalah usaha yang bisa kita lakukan untuk mengubah negeri ini, yakni dengan memilih para pemimpin yang tepat. Sebab jika tidak, jangan-jangan akan muncul para pemimpin yang tidak baik, yang akan menguasai negeri ini.

******

Berbicara tentang pemimpin, Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimana pemimpin yang baik itu, melalui beberapa contoh kepemimpinan yang Allah ketengahkan dalam kitab-Nya, Al-Qur’an.

Diantara sosok yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah Musa as. Dalam QS Al-Qashash: 26, Allah SWT berfirman: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat (al-qawiyy) lagi dapat dipercaya (al-amin)".

Dalam ayat tersebut, Musa as disifati memiliki dua sifat yaitu al-qawiyy (kuat) dan al-amin (bisa dipercaya). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang  yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-quwwah yang bermakna kapabilitas, kemampuan, kecakapan, dan al-amanah yang bermakna integritas, kredibilitas, moralitas.

Sosok pemimpin lainnya yang disebutkan oleh Al-Qur’an adalah Yusuf as. Dalam QS Yusuf: 55, Allah SWT mengabadikan perkataan Yusuf as kepada Raja Mesir: “Yusuf berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".

Dari ayat diatas, kita mengetahui bahwa Yusuf as itu hafiizh (bisa menjaga) dan ‘alim (pintar, pandai). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-hifzh yang tidak lain berarti integritas, kredibiltas, moralitas, dan al-‘ilm yang tidak lain merupakan sebentuk kapabilitas, kemampuan, dan kecakapan.

Jadi kesimpulannya, kriteria pemimpin yang baik menurut Al-Qur’an adalah yang kredibel dan juga kapabel. Dua-duanya harus ada pada diri seorang pemimpin, bukan hanya salah satunya. Jika seorang pemimpin hanya kredibel tapi tidak kapabel, maka urusan akan berantakan karena diserahkan pada yang bukan ahlinya. Rasulullah saw bersabda, “Jika urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya”. Sebaliknya, jika seorang pemimpin hanya kapabel tapi tidak kredibel, maka dia justru akan ‘minteri’ rakyat, menipu rakyat, menjadi maling dan perampas hak-hak rakyatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai contoh dan teladan. Dan jika para pemimpinnya bermoral rendah, bagaimana dengan rakyatnya?

******

Dalam konteks saat ini di negeri kita ini, orang-orang berlomba-lomba untuk bisa meraih kekuasaan. Siapapun, yang baik ataupun yang tidak baik, yang berkualitas ataupun yang tidak berkualitas, yang bermoral ataupun yang tidak bermoral, yang kapabel ataupun yang tidak kapabel, semuanya berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan dukungan yang sebesar-besarnya, sehingga bisa terpilih dan duduk dalam kursi kekuasaan.

Dalam kondisi semacam ini, tidak mungkin seseorang bersikap diam dengan dalih bahwa Nabi berkata “meminta jabatan itu tidak boleh”. Sebetulnya, kata-kata Nabi itu adalah melarang orang yang tidak kredibel dan tidak cakap untuk meminta jabatan, lagipula di masa Nabi saw tidak ada sahabat yang minta-minta jabatan.

Kalau sekarang, kondisinya berbeda. Semua orang berlomba-lomba minta jabatan. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini kita harus melakukan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf. “Yusuf berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". Dia meminta karena dia memang mampu dan berkualitas, kredibel dan juga cakap.

******

Ditengah ramainya persaingan meraih kursi kekuasaan saat ini, jangan sampai kita terlena dan tertipu dengan berbagai macam bentuk usaha untuk mendapatkan dukungan.

Pertama, jangan sampai kita terjebak dalam money politic, yang tidak lain adalah usaha untuk menyuap rakyat. Mari kita tolak money politic, dan kita mengajak semua orang untuk memberantas praktek-praktek money politic.

Apakah kita rela dipimpin oleh orang-orang yang memberikan kepada kita 50 ribu untuk kemudian mencuri dan merampas hak-hak kita yang nailainya jauh lebih besar dari itu?

Kedua, kita harus jeli dalam melihat kualitas calon-calon pemimpin kita. Kita harus bisa melihat secara lebih obyektif. Jangan mudah tertipu dengan lips service atau abang-abang lambe, apalagi sekedar janji-janji kosong.

Mari kita melihat track record para kandidat tersebut. Sejauh ini, apa saja yang telah mereka lakukan. Karya nyata apa yang bisa mereka persembahkan. Dan harapan apa yang bisa digantungkan ke pundak mereka. Mari kita lihat semuanya dengan jeli dan obyektif, baik itu orang-orangnya maupun partainya.