Perbedaan dalam penentuan waktu sholat secara umum ada dua macam. Pertama, perbedaan antar madzhab. Diantara perbedaan-perbedaan ini bisa dibaca di artikel ini. Sebagaimana bisa dibaca pada artikel tersebut, diantara perbedaan yang mencolok adalah perbedaan antara madzhab Hanafiyah dan yang lainnya mengenai mulainya waktu asar. Kedua, perbedaan antar lembaga modern penentuan waktu sholat. Lembaga-lembaga ini adalah beberapa otoritas yang menentukan standar yang bersifat astronomis dan kuantitatif dalam penentuan waktu sholat. Di zaman Nabi dan generasi salaf belum ada jam dengan akurasi menit seperti saat ini. Di zaman modern, dengan adanya teknologi jam yang memiliki akurasi menit dan bahkan detik, waktu sholat pun ditetapkan dengan akurasi menit. Untuk mengakomodasi tingkat akurasi yang sedemikian, penentuan waktu sholat pun dikuantifikasi dalam jam dan menit dengan memanfaatkan ilmu astronomi. Untuk waktu-waktu sholat tertentu, seperti sholat shubuh dan sholat isya', terdapat perbedaan kriteria diantara lembaga-lembaga yang menetapkan standarisasi waktu sholat.

Tabel dibawah ini menunjukkan perbedaan kriteria waktu sholat shubuh dan isya' diantara beberapa lembaga tersebut:

Sumber: https://fiqhcouncil.org/the-suggested-calculation-method-for-fajr-and-isha/

Adapun Badan Hisab dan Rukyat Indonesia (BHRI) menggunakan kriteria yang sama dengan Majlis Agama Islam Singapura untuk waktu shubuh, yakni 20 derajat. Khusus untuk permulaan waktu isya' menurut Ummul Qura pada tabel diatas, itu bukanlah kriteria yang presisi. Sifatnya hanya penggenapan saja. Karena pada kenyataannya, permulaan waktu isya' yang sebenarnya bisa lebih awal dari itu.

Mengapa kriteria yang dipakai berbeda-beda? Asal muasalnya tentu berawal dari teks (nash) Al-Qur'an dan hadits Nabi. Kemudian, bagaimana teks syar'i tersebut diterjemahkan dan ditransformasikan secara astronomis. Mulainya waktu sholat shubuh adalah ketika muncul al-fajr al-shadiq, yang didalam Al-Qur'an digambarkan sebagai "ketika telah jelas antara benang putih dan benang hitam". Ciri-ciri serupa dari al-fajr al-shadiq juga disebutkan dalam beberapa hadits Nabi. Adapun waktu sholat isya' dimulai ketika mega merah (syafaq) telah hilang.

Perlu diingat bahwa fajar dalam teks-teks syar'i ada dua macam: al-fajr al-shadiq dan al-fajr al-kadzib. Al-fajr al-kadzib muncul terlebih dahulu sebelum al-fajr al-shadiq. Waktu shubuh, demikian pula waktu mulainya berpuasa, dimulai dari munculnya al-fajr al-shadiq. Ciri-ciri al-fajr al-kadzib dan al-fajr al-shadiq ada dalam teks-teks syar'i. Foto dibawah ini menunjukkan al-fajr al-kadzib (sebelah kanan) dan al-fajr al-shadiq (sebelah kiri). Al-fajr al-kadzib terlihat seperti cahaya yang berbentuk segitiga yang meninggi (mustathil, vertikal). Dalam istilah astronomi, al-fajr al-kadzib biasa disebut sebagai cahaya zodiak (zodiac light). Adapun al-fajr al-shadiq terlihat seperti cahaya putih horizontal (mustathir) diatas lapisan cahaya kemerah-merahan, dan bagian paling bawahnya adalah hitamnya kegelapan. Kemudian, al-fajr al-kadzib akan diikuti dengan kegelapan kembali (selama beberapa saat sebelum munculnya al-fajr al-shadiq), sedangkan al-fajr al-shadiq cahayanya akan terus menerang sampai dengan terbitnya matahari.

Sumber: https://tawheedonline.wordpress.com/2015/04/11/description-of-prayer-class-3/

Sekarang mari kita cermati twilight dalam astronomi. Twilight adalah periode waktu dimana matahari sudah berada dibawah horizon (ufuk) namun sinarnya masih menerpa atmosfer diatas kita, sehingga atmosfer terlihat masih bercahaya, terutama warna merah, dan kita tidak sepenuhnya berada dalam kegelapan. Dalam astronomi, sebagaimana ditunjukkan pada gambar dibawah ini, ada tiga jenis twilight, yaitu astronomical twilight, nautical twilight, dan civil twilight. 

Sumber: https://www.weather.gov/fsd/twilight

Astronomical twilight didefinisikan antara 18 sampai 12 derajat dibawah horizon. Seringkali twilight jenis ini masih sulit dibedakan dengan malam, terutama di tempat yang polusi udaranya tinggi. Sebelum masuk fase astronomical twilight, astronomer biasanya belum bisa melihat bintang-bintang dan benda-benda langit yang samar. Karena itulah disebut "astronomical twilight" karena pada twilight ini observasi astronomis sudah bisa dilakukan terhadap semua benda langit, termasuk terhadap bintang-bintang dan benda-benda langit yang samar sekalipun.

Nautical twilight didefinisikan antara 12 sampai 6 derajat dibawah horizon. Disebut "nautical twilight" karena munculnya twilight ini membuat para pelayar di tengah lautan mulai bisa melihat horizon, yaitu bertemunya air laut dan langit.

Civil twilight didefinisikan antara 6 derajat sampai dengan terbitnya matahari. Disebut "civil" twilight karena hampir semua benda di permukaan yang lapang sudah bisa terlihat oleh manusia pada fase ini, sehingga aktivitas diluar rumah sudah bisa dimulai karena cahaya sudah cukup jelas.

Begitu pula, terdapat tiga jenis dawn (fajar), yaitu astronomical dawn, nautical dawn, dan civil dawn. Astronomical dawn adalah awal dari astronomical twilight; nautical dawn adalah awal dari nautical twilight, sedangkan civil dawn adalah awal dari civil twilight. Untuk lebih jelasnya, silakan lihat gambar dibawah ini. Definisi malam (night) pada gambar dibawah ini berbeda dengan definisi malam pada gambar sebelumnya. Ini wajar, tergantung definisinya. Bisa dibilang, "malam" pada gambar diatas adalah "civil night" sedangkan "malam" pada gambar dibawah ini adalah "astronomical night".

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Dawn

Antara terminologi astronomi dan terminologi syar'i

Apakah munculnya al-fajr al-shadiq itu sama dengan permulaan salah satu dari ketiga jenis twilight yang didefinisikan dalam astronomi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu kembali pada pengertian dan ciri-ciri al-fajr al-shadiq yang dinyatakan dalam beberapa teks syar'i. Setelah dicermati, sebagaimana penjelasan Dr. Yasir Qadhi, beliau menguatkan pandangan bahwa al-fajr al-shadiq itu tidak sama dengan beberapa definisi twilight dalam astronomi. Saya rasa pandangan ini lebih tepat daripada pandangan yang menyamakan al-fajr al-shadiq dengan astronomical twilight. Mengapa demikian? Karena definisi astronomical twilight menurut ilmu astronomi berbeda dengan definisi al-fajr al-shadiq menurut teks Al-Qur'an dan hadits Nabi. Karena itulah, meskipun definisi "astronomical twilight" sudah ditetapkan 18 derajat dibawah horizon, kriteria yang ditetapkan oleh berbagai lembaga mengenai awal waktu shubuh tidak selalu 18 derajat, sebagaimana bisa dilihat pada tabel di awal artikel ini. Atas dasar inilah waktu shubuh menurut ISNA, misalnya, dimulai dari sudut 15 derajat, dan bukan 18 derajat astronomical twilight. Demikian pula, waktu shubuh menurut BHRI dan Majlis Agama Islam Singapura dimulai dari sudut 20 derajat, bukan 18 derajat astronomical twilight.

Dimana sih perbedaan antara terminologi astronomi dan terminologi syar'i? Pertama, "astronomical twilight" didefinisikan sebagai fase dimana para astronomer sudah bisa mengamati semua bintang-bintang dan benda langit, meskipun yang samar sekalipun. Ini tentu berbeda dengan definisi al-fajr al-shadiq secara syar'i, yang lebih bertumpu pada "observability (visibility)" horizon oleh seorang pengamat (observer), yang tidak ada kaitannya dengan kemungkinan seorang astronomer untuk mengamati semua benda langit. Belum lagi, al-fajr al-shadiq ini juga dalam teks-teks syar'i disifati dengan sifat-sifat khusus, seperti "ketika telah jelas antara benang putih dan benang hitam", "dicirikan oleh cahaya horizontal", "dicirikan oleh adanya cahaya kemerahan", dan semacamnya. Jika kita bandingkan antara definisi astronomis yang ada dan definisi syar'i, justru definisi astronomis yang paling dekat dengan al-fajr al-shadiq bisa jadi adalah "nautical twilight" karena pada fase ini seorang pelayar di tengah lautan sudah bisa melihat horizon. Namun ternyata, definisi "nautical twilight" inipun tidak sepenuhnya identik dengan definisi al-fajr al-shadiq dalam teks-teks syar'i, karena al-fajr al-shadiq menuntut adanya sifat-sifat yang lebih dari sekadar "bisa melihat horizon". Kedua, definisi ketiga jenis twilight secara astronomis diatas sudah dipatok besaran derajatnya. Sedangkan definisi al-fajr al-shadiq lebih bertumpu pada "observability (visibility" oleh seorang pengamat beserta adanya sifat-sifat yang sudah disebutkan dalam teks-teks syar'i. Karena itulah, tergantung pada beberapa faktor, utamanya lokasi geografis, besaran sudut al-fajr al-shadiq bisa berbeda-beda, sebagaimana yang bisa kita lihat pada tabel di awal artikel ini.

Perbedaan sudut munculnya al-fajr al-shadiq

Perlu dipahami bahwa timing munculnya al-fajr al-shadiq dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

  1. Ketebalan atmosfer. Faktor ini dibahas dalam buku Ensiklopedia Fikih Indonesia karya Ust. Ahmad Sarwat dan salah satu kajian "live streaming" beliau di Rumah Fiqih, yang menukil penjelasan dari Ketua Lapan, Dr. Thomas Djamaluddin. Atmosfer di katulistiwa dan sekitarnya lebih tebal daripada atmosfer di belahan bumi utara dan selatan. Ini disebabkan oleh gaya sentrifugal akibat rotasi bumi, yang tidak hanya membuat bentuk bumi menjadi sedikit elipsoid, namun juga membuat atmosfer di katulistiwa dan sekitarnya "terlempar keluar" sehingga menjadi lebih tebal. Dikarenakan atmosfer yang lebih tebal, maka cahaya matahari masih mengenai bagian atas atmosfer pada sudut yang lebih besar. Ini artinya, mulainya waktu shubuh di katulistiwa bisa lebih awal, demikian pula mulainya waktu isya' di katulistiwa lebih lambat. Karena itulah mengapa BHRI dan Majlis Agama Islam Singapura sepakat menggunakan kriteria 20 derajat untuk permulaan waktu sholat shubuh, sedangkan Ummul Qura menetapkan 18,5 derajat, MWL menetapkan 18 derajat, dan ISNA menetapkan 15 derajat.
  2. Lokasi geografis.
  3. Musim.
  4. Polusi udara.
  5. Ketinggian diatas permukaan laut. Makin tinggi posisi seseorang, makin cepat ia bisa melihat fajar di waktu pagi dan makin lambat ia melihat hilangnya mega merah di sore hari.

Disamping itu, adanya penghalang di sisi horizon, seperti pegunungan, pebukitan, pepohonan, dan bahkan bangunan-bangunan, juga mempengaruhi penglihatan kita. Karena itu, tempat yang ideal untuk mengamati al-fajr al-shadiq adalah di tepi lautan yang luas (dimana horizon adalah batas permukaan air laut yang bisa kita lihat) atau padang pasir yang sangat luas.

Sampai disini kita tahu bahwa timing munculnya al-fajr al-shadiq bisa berbeda-beda, tergantung pada beberapa faktor, antara lain sebagaimana yang disebutkan diatas. Karena itulah sangat wajar bahwa otoritas di berbagai belahan bumi yang berbeda memiliki kriteria yang berbeda-beda untuk permulaan waktu shubuh.

Kriteria Ummul Qura vs Riset Tahun 2005

Kriteria Ummul Qura termasuk kriteria yang lazim dipakai di Arab Teluk. Pada tahun 2005 dilakukan sebuah riset di Saudi yang dipimpin oleh Dr. Zaky ibn Abdurrahman Almusthafa. Riset ini berjudul "Masyru' Dirasat al-Syafaq (Twilight Study Project)". Laporan riset ini bisa diunduh disini (dalam bahasa Arab). Riset ini melibatkan para pakar fiqih dan astronomi sekaligus. Peralatan astronomi modern juga dipakai dalam riset ini. Riset tersebut mengidentifikasi "astronomical twilight" sebagai al-fajr al-kadzib. Kemudian, riset tersebut menyimpulkan bahwa al-fajr al-shadiq muncul pada sudut 14.6 derajat dibawah horizon. Besaran sudut ini jika dibulatkan sangat dekat dengan kriteria ISNA (15 derajat). 

Namun pada akhirnya Pemerintah Saudi tetap berpegang pada kriteria Ummul Qura, namun mengundur waktu iqamah sholat shubuh menjadi sekitar 20 menit setelah masuknya waktu shubuh berdasarkan kriteria Ummul Qura, dalam rangka "ihtiyath (kehati-hatian)". Diantara argumentasinya adalah perkataan Ibnu Qudamah: "Barangsiapa yang ragu-ragu mengenai masuknya waktu sholat, maka janganlah ia sholat sampai ia yakin atau memiliki persangkaan yang kuat bahwa waktu sholat telah masuk. Dan yang lebih utama adalah mengakhirkannya sedikit untuk kehati-hatian."

Meski demikian, pendukung kriteria Ummul Qura juga tidak sedikit. Misalnya, dalam video ini, Syaikh Asim Alhakim memberikan testimoni bahwa ia mendapatkan riwayat dengan rantai yang pendek bahwa Syaikh Shalih Alfauzan melakukan observasi langsung di padang pasir yang luas dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa terbitnya fajar persis sama dengan kriteria Ummul Qura. Ternyata, di kalangan ulama Saudi sendiri, yang sama-sama berpaham salafiyah, juga terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mendukung kriteria Ummul Qura, dan sebagian lagi tidak mengingkari riset tahun 2005. Walhasil, sebagaimana saya tulis diatas, Pemerintah Saudi tetap menggunakan kriteria Ummul Qura tapi menunda sedikit waktu iqamah menjadi sekitar 20 menit setelah masuknya waktu shubuh.

Muhammadiyah mengubah kriteria dari 20 menjadi 18 derajat

Pada sekitar pertengahan tahun 2021, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih-nya melakukan koreksi kriteria awal waktu shubuh, dari yang semula 20 derajat dibawah horizon, menjadi 18 derajat dibawah horizon. Ini setara dengan mengundurkan 8 menit dari waktu yang biasanya. Koreksi ini dilakukan berdasarkan observasi (pengamatan) astronomis di lebih dari 20 kota di Indonesia selama 4 tahun. Berita mengenai hal ini bisa dilihat disini dan disini.

Bagaimana kita menyikapi perbedaan?

Pertama, sebagaimana kita lihat pada tabel di awal artikel ini, setiap lembaga penetapan waktu sholat memiliki wilayah jurisdiksi masing-masing (secara de facto, karena memang secara umum tidak ada ikatan de jure). Misalnya, negara-negara Arab Teluk pada umumnya memakai kriteria Ummul Qura, dan seterusnya. Bisa dikatakan, mengikuti lembaga-lembaga setempat adalah pilihan terbaik. Karena masing-masing lembaga lokal tersebut melakukan pengamatan dan investigasi sesuai dengan kondisi lokal masing-masing (lokasi geografis, ketebalan atmosfer, dan sebagainya). Dengan demikian, pilihan terbaik bagi umat Islam di Indonesia dalam hemat saya adalah mengikuti kriteria BHRI. Atau mengikuti putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah bagi warga Muhammadiyah.

Kedua, dalam konteks "al-khuruuj min al-khilaf" dan "ihtiyath" (kehati-hatian), tidak ada ruginya, alias ada baiknya, untuk menggunakan kriteria yang lebih awal untuk mulai imsak (dalam pengertian memulai puasa dengan tidak lagi makan dan minum, bukan dalam pengertian imsak yang sering digunakan dalam jadwal imsakiyah) dan menggunakan kriteria yang lebih akhir untuk memulai sholat shubuh. Dalam hal ini, misalnya, meskipun adzan penanda waktu shubuh mengikuti kriteria BHRI (20 derajat dibawah horizon), namun iqamah bisa sedikit diakhirkan sampai bertepatan dengan 15 atau 14 derajat dibawah horizon. Apalagi Muhammadiyah juga menetapkan kriteria baru yang lebih lambat. Bukan hanya ini membuat kita keluar dari khilaf dan lebih berhati-hati, namun juga memberi kesempatan yang lebih banyak kepada orang-orang untuk bersiap-siap menuju masjid untuk menunaikan sholat shubuh secara berjamaah. Ini jika kita adalah takmir masjid yang memang berwenang untuk mengatur kapan iqamah akan dikumandangkan. Namun jika kita bukan takmir masjid, ya kita ikuti saja apa yang ada, selama itu masih bersesuaian dengan salah satu kriteria yang ada (misalnya BHRI). Bagaimanapun, sholat shubuh berjamaah tetap lebih utama daripada sendirian.