Pertama-tama, dalam bahasa Arab, zakat fitrah sebetulnya lebih sering disebut zakat al-fithr atau shadaqah al-fithr, yang bermakna zakat yang dikeluarkan ketika berbuka mengakhiri Ramadhan. Zakat ini disebut juga zakat al-nafs atau zakat al-badan karena diwajibkan kepada setiap muslim, baik itu laki-laki, perempuan, tua, muda, dan bahkan bayi yang baru dilahirkan sekalipun, sepanjang yang bersangkutan masih memiliki kelebihan harta untuk kebutuhannya sehari-hari sampai dengan Hari Raya Idul Fitri. 

Siapa yang diwajibkan membayar zakat fitrah?

  1. Muslim, laki-laki maupun perempuan.
  2. Memiliki kelebihan harta untuk kebutuhan sehari-hari untuk dirinya dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya sampai dengan Hari Raya Idul Fitri.
  3. Menjumpai dua waktu, yaitu Ramadhan dan Syawal. Artinya, seorang muslim yang meninggal dunia sebelum maghrib hari terakhir Ramadhan tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Sedangkan, seorang bayi yang terlahir sebelum maghrib hari terakhir Ramadhan dan masih hidup hingga menjumpai maghrib hari terakhir Ramadhan wajib dibayarkan zakat fitrahnya.

Syarat waktu bagi kewajiban membayar zakat fitrah

Sebetulnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu persisnya seseorang wajib membayar zakat fitrah. Ada dua pendapat dalam hal ini:

Pendapat pertama, wajib bagi yang mendapati maghrib hari terakhir Ramadhan. Ini adalah pendapat Syafi'i, Ahmad, Ishaq, Al-Tsauri, dan Malik (dalam salah satu riwayat).

Pendapat kedua, wajib bagi yang mendapati fajar Hari Raya Idul Fitri. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Hanafiyah, Al-Laits, Abu Tsaur, dan Malik (dalam riwayat yang lainnya).

Dengan demikian, yang menjadi perbedaan pendapat adalah bayi yang terlahir atau muslim yang meninggal antara maghrib hari terakhir Ramadhan dan fajar Hari Raya Idul Fitri.

Kapan zakat fitrah dikeluarkan dan dibagikan?

Masih terkait dengan syarat waktu diwajibkannya zakat fitrah sebagaimana disebutkan diatas, waktu wajib membayar zakat fitrah adalah antara waktu maghrib hari terakhir Ramadhan dan sebelum ditunaikannya sholat Idul Fitri. Adapun waktu yang paling afdhal adalah waktu yang keluar dari khilaf, yaitu antara fajar dan sebelum sholat Idul Fitri. Namun ini bisa jadi mendatangkan kesulitan dan kesempitan, terutama jika zakat fitrah dibayarkan kepada amil zakat. Bahkan pembayaran antara waktu maghrib dan sebelum sholat Idul Fitri pun bisa jadi masih menimbulkan kesulitan, terutama jika dibayarkan kepada amil zakat. Karena itulah, para ulama memperbolehkan membayar zakat selama bulan Ramadhan. Lebih afdhal jika dibayarkan di hari-hari terakhir bulan Ramadhan, tapi tidak terlalu akhir yang menyebabkan kesulitan bagi amil zakat untuk mengelola dan mendistribusikannya. Ini dikarenakan amil zakat mesti membagikannya kepada para penerima zakat fitrah paling lambat menjelang sholat Idul Fitri.

Jika zakat fitrah dibayarkan sesudah ditunaikannya sholat Idul Fitri, maka ia dianggap sebagai sedekah biasa, berdasarkan hadits Nabi saw.

Siapa yang wajib membayarkan zakat fitrah?

Seorang muslim hendaknya membayar zakat fitrah dari orang-orang yang ada dalam perwaliannya atau orang-orang yang wajib dinafkahinya, jika yang bersangkutan belum mampu membayar sendiri zakat fitrahnya.

Dengan apa zakat fitrah ditunaikan?

Ada beberapa pendapat mengenai hal ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwa zakat fitrah mesti ditunaikan dengan komoditas yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi, seperti tamr (kurma), sya'iir (gandum), aqith, hinthah, burr, dan zabib

Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat fitrah tidak terbatas pada komoditas makanan yang disebutkan dalam hadits; substansi dari hadits-hadits Nabi adalah quut al-balad (makanan pokok di suatu negeri). Pendapat ini lebih tepat karena tidak semua negeri memiliki komoditas makanan yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi. Padahal perintah membayar zakat fitrah dengan beberapa komoditas makanan yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi tersebut justru dimaksudkan untuk mempermudah karena pada saat itu kebanyakan orang memilikinya. 

Pendapat ketiga mengikuti pendapat kedua, yakni bahwa zakat fitrah bisa dibayar dengan quut al-balad, namun menambahkan bahwa bisa pula membayar nilainya dengan mata uang.

Berapa kadar zakat fitrah?

Berdasarkan nash-nash yang ada, kadar zakat fitrah yang harus dibayarkan adalah satu sha'. Perlu diketahui bahwa sha' adalah ukuran volume alias takaran, bukan ukuran berat, karena memang di zaman Nabi saw orang-orang biasa menggunakan ukuran volume, bukan ukuran berat. Tentu saja, satu sha' kurma, satu sha' gandum, dan satu sha' beras belum tentu memiliki berat yang persis sama. Demikian pula, sha' di zaman Nabi tidak hanya satu jenis. Beberapa wilayah yang berbeda bisa memiliki takaran sha' dengan volume yang tidak persis sama. Dalam hal ini, kebanyakan peneliti berpatok pada sha' Madinah. Untuk  beras, kebanyakan peneliti mengatakan bahwa satu sha' beras setara dengan 2.5 kg beras. Ada juga yang mengatakan 2.75 kg dan bahkan 3 kg beras.

Bagaimana jika terdapat beberapa jenis quut al-balad?

Jika di suatu negeri terdapat lebih dari satu quut al-balad, sebagaimana juga di zaman Nabi saw (ada kurma, gandum, dan yang lainnya), maka hendaknya seseorang membayar zakat fitrah dengan komoditas makanan yang biasanya ia konsumsi. Misalnya, jika di suatu negeri quut al-balad yang biasa digunakan oleh masyarakatnya adalah gandum dan beras, sedangkan Fulan biasa makan dari beras ketimbang dari gandum, maka ia bisa membayar zakat fitrah dengan beras.

Jika terdapat beberapa jenis kualitas (grade) yang berbeda dari satu komoditas quut al-balad, maka hendaknya seseorang membayar zakat fitrahnya dengan grade yang biasa ia konsumsi. Misalnya, jika seseorang biasa makan dari beras, sedangkan terdapat beberapa grade beras, maka hendaknya ia membayar zakat fitrahnya dengan grade beras yang biasa ia konsumsi.

Apakah zakat fitrah bisa dibayarkan dengan nilainya?

Ini termasuk topik yang paling banyak dibicarakan di era modern ini, karena memang ada yang membolehkannya dan ada pula yang tidak membolehkannya. Pendapat yang lebih tepat menurut penulis adalah pendapat yang membolehkannya, sebagaimana yang difatwakan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Kebolehan disini artinya seseorang bisa membayar dengan komoditas makanan (misalnya beras) dan bisa pula membayar dengan nilainya (yaitu uang yang setara), tergantung situasi dan kondisi. Misalnya, di desa-desa dimana masyarakatnya adalah petani gabah, lebih mudah bagi mereka untuk membayar zakat fitrah dengan beras, dan ini lebih afdhal dalam situasi seperti ini. Namun di perkotaan biasanya orang-orang lebih mudah dan lebih praktis membayar zakat fitrah dengan uang yang setara.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan beberapa alasan diperbolehkan membayar zakat fitrah dengan nilainya (uang):

Pertama, Nabi saw bersabda terkait dengan zakat fitrah: "Cukupkanlah mereka (maksudnya orang-orang fakir miskin) pada hari ini (yakni Hari Raya Idul Fitri, dengan zakat fitrah)." Tentu saja kecukupan disini bisa dipenuhi dengan makanan ataupun dengan uang. Bahkan di zaman sekarang, bisa jadi kecukupan akan lebih mudah terpenuhi dengan uang ketimbang dengan makanan. Karena bisa jadi seorang fakir miskin sudah punya cukup makanan namun masih kekurangan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya seperti pakaian dan semacamnya.

Kedua, Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para sahabat Nabi saw membolehkan membayar zakat fitrah dengan setengah sha' qamh karena mereka memandang itu setara dengan satu sha' kurma atau gandum. Ini artinya, boleh membayar zakat fitrah dengan yang setara.

Ketiga, di zaman modern ini kebanyakan orang bermuamalah dengan uang, sehingga lebih mudah dan praktis bagi orang-orang (terutama di perkotaan) untuk membayar zakat fitrah dengan uang. Apalagi, di zaman ini sangat bisa jadi uang lebih besar manfaatnya bagi fakir miskin ketimbang makanan pokok.

Keempat, Nabi saw ketika memerintahkan pembayaran zakat fitrah dengan beberapa komoditas makanan yang disebutkan dalam hadits, tujuannya pada dasarnya adalah untuk mempermudah, karena ketika itu uang (dinar dan dirham) merupakan sesuatu yang sangat berharga dan belum tentu dimiliki oleh setiap orang. Sedangkan membayar dengan komoditas-komoditas yang disebutkan dalam hadits  jauh lebih mudah bagi masyarakat di zaman Nabi ketika itu. Demikian pula orang-orang fakir miskin ketika itu lebih butuh pada makanan pokok.

Kelima, hukum dan fatwa bisa berubah dengan berubahnya waktu dan tempat, atau situasi dan kondisi. Kaidah ini memperkuat alasan-alasan yang sudah disebutkan diatas.

Kepada siapa zakat fitrah dibagikan?

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa ada tiga pendapat yang berbeda mengenai hal ini.

Pendapat pertama: zakat fitrah hendaknya dibagikan kepada semua dari delapan golongan (ashnaf) sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an, jika semuanya ada. Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi'iyah.

Pendapat kedua: zakat fitrah boleh dibagikan kepada delapan golongan, namun bisa dikhususkan kepada fakir dan miskin saja.  Ini adalah pendapat jumhur ulama'.

Pendapat ketiga: zakat fitrah hanya boleh dibagikan kepada fakir dan miskin saja. Ini adalah pendapat dalam madzhab Malikiyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dan gurunya, Ibnu Taimiyah. 

Sebab perbedaan pendapat adalah perbedaan dalam ta'mim dan takhshish dari, utamanya, dua dalil. Yang pertama adalah Al-Qur'an QS Al-Taubah: 60 yang menerangkan tentang delapan ashnaf yang berhak menerima zakat. Yang kedua adalah hadits Nabi saw yang memerintahkan untuk mencukupkan fakir dan miskin pada Hari Raya Idul Fitri dengan zakat fitrah. Pendapat pertama diatas berpegang pada keumuman QS Al-Taubah:60, sedangkan pendapat ketiga berpegang pada takhshish (pengkhususan) oleh hadits Nabi. Adapun pendapat kedua berusaha menggabungkan antara keumuman ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi saw.

Pendapat ketiga diatas masih terbagi lagi menjadi beberapa pendapat. Pertama, yang mensyaratkan bahwa fakir dan miskin yang menerima zakat fitrah haruslah muslim. Kedua, yang membolehkan fakir miskin dari Ahludz Dzimmah menerima zakat fitrah. Ketiga, yang mempersyaratkan bahwa Ahludz Dzimmah yang boleh menerima zakat fitrah adalah para pendeta (ruhbaan).

Dan karena zakat fitrah ini merupakan zakat, maka ia tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak boleh menerima zakat, seperti orang kafir yang memusuhi Islam, orang tua, anak, dan sebagainya.