[Artikel ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis: https://abdurrosyid.wordpress.com/2010/01/10/ngobrol-soal-mahar/]

Dalam tulisan ini, saya mau membincang salah satu tema populer seputar pernikahan: mahar. Saya tidak akan menulis sebuah makalah pelajaran fiqih. Karena itu, sejumlah detail fiqih mengenai mahar sepertinya akan sengaja saya lewatkan dalam tulisan ini, kecuali yang saya anggap menarik untuk diobrolkan. Kalau mau tahu detail fiqih tersebut, silakan baca saja referensi yang sesuai.

By the way, kita semua pasti sudah tahu kalo kita menikah si laki-laki harus ngasih mahar kepada si wanita. Mahar – atau dalam bahasa Indonesia sering disebut maskawin – adalah sesuatu yang harus diberikan oleh seorang laki-laki kepada wanita yang dinikahinya, sebagai salah satu syarat sah pernikahan. Dasar hukumnya adalah firman Allah Ta’ala:

Berikanlah mahar kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS An-Nisa’: 4).

Pemberian mahar memiliki beberapa hikmah antara lain menunjukkan kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita, sebagai bukti cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, dan menunjukkan tanggung jawab suami kepada istrinya.

Mahar adalah hak seorang istri. Karena itu, seorang wanita berhak untuk menetapkan mahar apa yang ia inginkan dari laki-laki yang akan menikahinya. Konsekuensi lainnya, mahar yang telah diberikan akan sepenuhnya menjadi hak milik istri. Siapapun – termasuk ayah dan wali si wanita – tidak berhak untuk mengambil sebagian atau seluruh mahar yang telah diberikan, kecuali dengan kerelaan si wanita. Ini sungguh merupakan salah satu bukti ketinggian syariat Islam. Dahulu di zaman jahiliyah, mahar menjadi hak milik ayah atau wali. Tapi kemudian Islam menetapkan bahwa mahar adalah sepenuhnya hak milik istri. Seandainya saja praktek di zaman jahiliyah tersebut tidak dibatalkan oleh Islam, niscaya akan muncul kesan bahwa ayah atau wali bisa menjual anak wanitanya dengan harga tertentu.

Mahar dalam bentuk harta lebih utama

Kalau kita mencermati sunnah Rasulullah saw, mahar itu sebaiknya dalam bentuk materi (harta). Tetapi jika seseorang benar-benar tidak mampu, maka mahar bisa diberikan dalam bentuk sesuatu yang immaterial (bukan harta), yang memberikan kemanfaatan kepada si wanita.

Salah satu dalilnya adalah hadits Rasulullah saw dari Sahl bin Sa’ad ra berkata, ”Ketika kami berada di tengah-tengah para sahabat di dekat Rasulullah saw. tiba-tiba ada seorang perempuan berdiri, lalu menyatakan ’Ya Rasulullah, sesungguhnya ia (seorang perempuan) menghibahkan diri kepadamu, maka bagaimana pendapatmu tentangnya.’

Kemudian ia bangun (lagi) untuk kedua kalinya, lalu mengatakan, ’Ya Rasulullah, sesungguhnya ia benar-benar menghibahkan diri kepadamu maka lihatlah bagaimana pendapatmu.’

Kemudian bangunlah ia untuk ketiga kalinya, lantas berujar. ’Ya Rasulullah, sesungguhnya ia telah menghibahkan diri kepadamu maka perhatikanlah ia, bagaimana pendapatmu?’

Maka bangunlah seorang sabahat, lalu mengatakan, ”Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya.

Kemudian beliau bertanya, “Apakah engkau mempunyai barang sebagai mahar?”

Jawabnya, ’Belum.’

Maka, sabda beliau, ‘Pergilah mencari walaupun sekadar cincin dari besi.’

Maka dia pergi mencarinya. Kemudian datang lalu berkata (kepada beliau), ’Aku tidak mendapatkan apa-apa, walaupun sekadar cincin dari besi.’

Sabda beliau selanjutnya, “Apakah engkau punya hafalan Al-Qur’an?”

Dia menjawab, ’Saya hafal surah ini dan surah ini.’

Sabda beliau (lagi), “Pergilah, sungguh saya telah menikahkan kamu dengannya, dengan mahar hafalan Al-Qur’an-mu.”

(Muttafaqun ‘alaih. Shahih: Fathul Bari, IX:205 no:5149 dan ini lafadz Imam Bukhari, Muslim II:1040 no:1425, ’Aunul Ma’bud VI:143 no:2097, Tirmidzi II:290 no:1121, Ibnu Majah I:608 no: 1889 secara ringkas dan Nasa’i VI:123).

Dalam lafazh yang lain bunyinya demikian: Dari Sahl bin Sa’ad, Nabi saw didatangi seorang wanita yang berkata, ”Ya Rasulullah, kuserahkan diriku untukmu.” Wanita itu berdiri lama, lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah, kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.” Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? Dia berkata, “Tidak ada, kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab, ”Bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi. Carilah sesuatu.” Dia berkata,” Aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah berkata, ”Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan
tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, ”Apakah kamu menghafal Al-Qur’an?” Dia menjawab, ”Ya, surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi, ”Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Al-Qur’an-mu” (HR Bukhori dan Muslim).

Dari hadits diatas kita mendapatkan penjelasan bahwa yang diperintahkan kepada sahabat ini adalah mencari harta walau itu sekadar cincin besi sebagai mahar. Beliau tidak langsung menanyakan apakah yang bersangkutan mempunyai hafalan Al-Qur’an hanya ketika kemudian pemuda tersebut tidak mendapatkan harta walau sekadar cincin besi disisinya. Hal ini berarti yang lebih utama sebagai mahar adalah dalam bentuk material (harta).

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan An-Nasai bahwa Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib ra memberi sesuatu kepada Fatimah sebelum berhubungan dengannya. Ali bin Abi Thalib berkata,”Aku tidak mempunyai apa-apa.” Rasulullah saw bersabda,”Mana baju besimu?” Ali bin Abi Thalib ra pun memberikan baju besinya kepada Fatimah sebelum menggaulinya.

Dalam posisi yang sama, yakni dengan tidak adanya harta, Rasulullah saw tidak langsung menyuruh Ali untuk memberikan hafalan Al-Qur’an sebagai mahar kepada Fatimah, karena beliau bertanya tentang harta yang masih dipunyai Ali, meski hanya sebuah baju besi. Ini menunjukkan bahwa yang lebih afdhal dalam pernikahan adalah menggunakan sesuatu yang bersifat material (harta) sebagai mahar.

Lalu, berapa nilai harta yang mesti diberikan sebagai mahar?

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, mahar tidak memiliki batasan minimal maupun batasan maksimal. Beberapa imam memang ada yang menetapkan batasan minimal, tetapi jumhur tetap berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal. Salah satu dalilnya adalah perintah Rasulullah kepada salah seorang sahabatnya untuk mencari mahar meski hanya sebuah cincin dari besi. Semua orang tahu, cincin dari besi tentunya sangat murah harganya.

Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sandal ini?” Dia menjawab, ”Rela.” Maka Rasulullah pun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu Majah 1888).

Meskipun tidak ada batasan minimal untuk sebuah mahar, sebisa mungkin tetap memperhatikan kepantasan (‘urf). Menarik disini untuk saya kutipkan jawaban Ust. Ahmad Sarwat dalam sebuah konsultasi di Eramuslim (dengan sedikit adaptasi):

Mahar pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekadar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.

Hal seperti inilah yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu.

Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat (saja), tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suami yang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya. Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu.

Namun perlu dicatat, bahkan bila perlu di-stabilo, bahwa Islam tidak menganjurkan seorang wanita menetapkan nilai mahar yang terlalu tinggi, yang bisa memberatkan laki-laki yang akan menikahinya. Mahar yang terlalu tinggi ini terutama banyak ditemui di negara-negara Teluk. Oleh karena itu, sangat wajar jika para ulama di negara-negara tersebut sering memberikan peringatan keras mengenai hal tersebut.

Islam menganjurkan kepada para wanita untuk memperingan nilai maharnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra, Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (maharnya).” (HR. Abu Dawud (n. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 dalam al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724) dshahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihihul Jaami’ (no. 3300))

Hadits yang sangat mirip diriwayatkan dari Aisyah ra, dimana Rasulullah saw bersabda, “Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya” (HR Ahmad 6/145)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)

Dan dalam riwayat yang lainnya lagi, Rasulullah saw bersabda, “Wanita yang paling besar barakahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.” (Diriwayatkan Ahmad, Al Hakim, dan Al Baihaqi dengan sanad shahih).

Sebagaimana mahar tidak memiliki batasan minimal, mahar juga tidak memiliki batasan maksimal. Pernah suatu ketika Umar bin Khathab ra berinisiatif untuk menetapkan batasan maksimal untuk mahar saat beliau berbicara diatas mimbar. Beliau menyebutkan bahwa maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat Al-Qur’an, sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata, ”Allahumma afwan, ternyata orang-orang lebih faqih daripada Umar.” Kemudian Umar pun kembali naik ke mimbar dan berkata, ”Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silakan lakukan sekehendak kalian.” Umar pun tidak jadi menetapkan batasan maksimal untuk mahar. Namun hal ini tidak berarti bahwa seorang wanita dianjurkan untuk menetapkan mahar yang terlampau tinggi. Sebagaimana barusan saja saya uraikan diatas, Islam justru menganjurkan agar para wanita memperingan maharnya, karena hal itu lebih banyak barakahnya.

Bagaimana jika mahar tidak berupa harta?

Jika seorang laki-laki benar-benar tidak mampu untuk memberikan mahar dalam bentuk material (harta), maka ia bisa memberikan mahar dalam bentuk immaterial (bukan harta). Tetapi hendaknya sesuatu yang immaterial tersebut memiliki manfaat yang kembali kepada si wanita.

Kalau kita mencermati sunnah Rasulullah saw, kita akan mendapatkan beberapa contoh. Contoh yang pertama adalah mahar dalam bentuk memerdekakan seorang wanita dari perbudakan. Anas bin Malik ra berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw memerdekakan Shafiyah binti Huyay (kemudian menikahinya) dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar.” (Atsar riwayat Imam Bukhari: 4696) Sudah tentu kemerdekaan dari perbudakan merupakan manfaat teramat besar yang diberikan kepada seseorang yang sebelumnya berstatus budak.

Contoh lainnya adalah mahar dalam bentuk masuk Islamnya calon suami. Anas bin Malik ra berkata, “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, maka Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan,’Saya telah masuk Islam. Jika kamu masuk Islam aku akan menikah denganmu.’ Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim, dan keislamannya sebagai maharnya.” (HR. An-Nasa’I : 3288) Barangkali, menurut saya, manfaat yang setidak-tidaknya didapatkan oleh Ummu Sulaim dari masuk Islamnya Abu Thalhah adalah pahala besar yang diberikan oleh Allah kepadanya karena ia telah mampu mengislamkan seseorang yang sebelumnya kafir. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pahalanya lebih besar daripada seekor unta merah (yang ketika itu amat mahal harganya). Belum lagi manfaat-manfaat lainnya yang bisa dirasakan oleh Ummu Sulaim. Wallahu a’lam.

Contoh terakhir yang ingin saya kemukakan adalah mahar dalam bentuk hafalan Al-Qur’an yang akan diajarkan oleh seorang laki-laki kepada istrinya, sebagaimana tersebut dalam hadits yang sudah saya kutip sebelum ini. Dalam hal ini, sang suami akan mengajarkan hafalan Al-Qur’an yang ia miliki (surat-surat tertentu yang ia hafal) kepada istrinya, sehingga sang istri yang tadinya belum mengetahui atau menghafalnya akan menjadi tahu dan hafal. Wallahu a’lam.

Mahar Hendaknya Terukur

Kalau kita mencermati sunnah Rasulullah saw, kita akan mendapati bahwa mahar itu terukur. Jika berupa harta, mesti disebutkan jumlahnya. Jika uang, berapa besarnya. Jika emas, berapa beratnya. Demikian seterusnya.
Bahkan meski maharnya itu bukan berupa harta, kita dapati dalam sunnah bahwa mahar immaterial tersebut tetap bisa diukur. Contohnya, memerdekakan calon istri dari perbudakan. Ini jelas dan terukur. Demikian pula mahar berupa masuk Islam. Ini jelas dan terukur. Contoh lainnya adalah “apa yang ada padamu berupa hafalan Al-Qur’an” atau “surat ini dan surat itu”. Ini juga jelas dan terukur.

Jadi tidak tepat jika ada wanita yang menginginkan maharnya adalah agar suaminya mengamalkan Al-Quran. Padahal, pengamalan Al-Quran itu tidak terukur. Mahar yang tidak terukur ini nantinya justru akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan mengganggu status perkawinannya. Wallahu a’lam bish shawab.