Masalah masuk masjid bagi orang yang junub
Ayat (QS An-Nisa’ :43) :
“Yaa ayyuhal ladziina aamanuu laa taqrabush sholaata wa antum sukaaraa hattaa ta’lamuu maa taquuluuna, wa laa junuban illaa ‘aabirii sabiilin hattaa taghtasiluu”
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malikiyah) : tidak boleh tanpa kecuali
Pendapat II (Syafi’I) : tidak boleh kecuali bagi ‘aabirii sabil
Pendapat III (Zhahiriyah) : tidak apa-apa (boleh)
Sebab perbedaan pendapat antara pendapat II dan III :
perbedaan pendapat dalam memahami ayat diatas :
1. Dalam ayat terdapat majaz sehingga taqdirnya adalah “laa taqrabuu maudhi’ash sholaati”, sementara “illa ‘aabirii sabiil” merupakan pengecualian. Implikasi : pendapat II.
2. Dalam ayat tidak ada majaz dan tidak ada taqdir (Ayat dimaknai secara haqiqi) : “janganlah kalian mendekati sholat, bukan tempatnya”, sementara “illaa ‘aabirii sabiil” adalah pengecualian untuk musafir yang junub tetapi tidak mendapatkan air (maka tidak apa-apa baginya mendekati / melakukan sholat sebelum mandi, yakni dengan tayammum). Implikasi : pendapat III.
Komentar Ibnu Rusyd terhadap pendapat I :
Adapun yang berpendapat bahwa setiap orang yang junub tanpa terkecuali tidak boleh masuk masjid (pendapat I) maka saya tidak mengetahui dalil apa yang mereka pakai, kecuali sebuah hadits : Rasulullah bersabda,”Aku tidak menghalalkan masjid bagi yang junub dan yang haidh”. Padahal hadits ini tidak diakui dikalangan ahli hadits.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sama dengan pendapat II : tidak boleh kecuali orang-orang yang diberi rukhshah oleh nash (yakni ‘aabirii sabiil)
Masalah masuk masjid bagi orang yang haidh dan nifas :
diqiyaskan pada orang yang junub.
Masalah memegang mushaf bagi orang yang junub, haidh, dan nifas
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (jumhur) : tidak boleh
Pendapat II : tidak apa-apa
Sebab perbedaan pendapat :
perbedaan pendapat dalam memahami ayat “laa yamassuhu illal muthahharuun” :
1. mengenai siapakah yang dimaksud dengan “al-muthahharuun” ?
2. mengenai ayat tersebut merupakan larangan ataukah sekedar khabar (berita) ?
Istinbath para fuqaha :
1. Barangsiapa yang menganggap bahwa “al-muthahharuun” adalah manusia, dan ayat tersebut merupakan larangan, maka ia melarang orang yang tidak dalam keadaan suci – orang yang junub, wanita haidh, wanita nifas, dan orang yang berhadats kecil - untuk memegang mushaf. Golongan ini (jumhur) memperkuat pendapatnya dengan hadits ‘Amr ibn Hazm : Nabi saw pernah menulis surat :”Laa yamassul Qur-aana illaa thaahir (Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali yang suci)”. (pendapat I)
2. Barangsiapa yang menganggap bahwa “al-muthahharuun” adalah para malaikat, atau memperlakukan ayat tersebut hanya sebagai khabar, maka ia tidak melarang orang yang tidak dalam keadaan suci – orang yang junub, wanita haidh, wanita nifas, dan orang yang berhadats kecil - untuk menyentuh mushaf Al-Qur’an. (pendapat II)
Pendapat Yusuf Qaradhawi :
Rentetan ayat-ayatnya adalah : QS Al-Waqi’ah :77-79 : “Innahu laqur-aanun kariim. Fii kitaabin maknuun. Laa yamassuhu illal muthahharuun”. Sesuai dengan kaidah dhamir : “dhamir kembali kepada sebelumnya yang sesuai dan yang terdekat, kecuali jika ada dalil atau qarinah yang bisa membuatnya kembali kepada yang lainnya”, maka dhamir “hu” pada “laa yamassuhu” adalah kembali kepada “kitaab maknuun” dan bukan pada “qur-aan kariim”. Sementara kita ketahui dari nash ayat bahwa “kitab maknun” bukanlah sesuatu yang sama dengan “qur-aan kariim”, sebaliknya “qur-aan karim” terdapat dalam “kitaab maknuun”.
“Kitaab maknun” terdapat di lauh mahfuzh, sehingga yang dimaksud dengan “al-muthahharuun” tentu saja adalah makhluq-makhluq langit, yakni para malaikat.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Haramnya orang yang junub untuk memegang dan membawa mushaf adalah disepakati oleh para imam dan tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya. (Fiqhus Sunnah hal. 58)
Masalah membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (jumhur) : tidak boleh
Pendapat II (Imam Bukhari, Thabrani, Dawud, Ibnu Hazm) : tidak apa-apa
Sebab perbedaan pendapat :
perbedaan dalam memahami hadits Ali ibn Abi Thalib : “Kaana ‘alaihish sholaatu was salaamu laa yamna’uhu min qiraa-atil qur-aan illal jinaabah”.
· Sebagian mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan zhann (dugaan, sangkaan) Ali saja. Implikasi : pendapat II.
· Sebagian yang lain (jumhur) mengatakan bahwa Ali mengatakannya tidaklah dengan zhann atau wahm melainkan untuk menegaskan (tahaqquq). Implikasi : pendapat I.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq hanya mengemukakan berbagai perbedaan pendapat yang ada, sebagaimana tertulis diatas. Mengenai hadits Ali diatas, beliau mengatakan bahwa hadits tersebut tidak bisa digunakan untuk menunjukkan keharaman. Namun, terdapat hadits Ali yang lain, yang jika hadits tersebut shahih maka ia menunjukkan keharaman. Hadits tersebut berbunyi : Dari Ali ra : Saya telah melihat Rasulullah saw berwudhu, lalu membaca beberapa bagian dari Al-Qur’an, lalu bersabda,”Ini adalah untuk orang yang tidak dalam keadaan junub. Adapun bagi yang junub maka tidak, meskipun satu ayat saja”. (HR Ahmad dan Abu Ya’laa. Haitami mengatakan : para perawinya terpercaya) [Fiqhus Sunnah hal. 59)
Masalah membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (jumhur) : tidak boleh, diqiyaskan dengan orang yang junub.
Pendapat II : tidak apa-apa, diqiyaskan dengan orang yang junub.
Pendapat III (Malik) : tidak apa-apa membaca sedikit, jika haidnya cukup lama.
Sebab perbedaan pendapat : karena masalah ini diqiyaskan dengan orang yang junub (kecuali Malik – pendapat III - yang memberi sedikit perbedaan) maka sebab-sebab perbedaan pendapatnya pun kembali kepada masalah orang yang junub.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Apa yang dilarang bagi orang yang junub juga dilarang bagi wanita haidh dan nifas, karena kesemuanya sama-sama hadats besar. (Hukum haidh dan nifas diqiyaskan pada hukum orang yang junub).
Haidh, Nifas, dan Istihadhah
Ayat Haidh (QS Al-Baqarah: 222) :
Wa yas-aluunaka ‘anil mahiidh, qul huwa adzan fa’tazilun nisaa-a fil mahiidh, wa laa taqrabuuhunna hattaa yath-hurna, fa idzaa tathahharna fa’tuuhunna min haitsu amarakumullah, innallaha yuhibbut tawwaabiina wa yuhibbul mutathahhiriina”.
Durasi haidh dan suci
Durasi maksimal haidh :
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’i) : lima belas hari
Pendapat II (Abu Hanifah) : sepuluh hari
Durasi minimal haidh :
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) : tidak ada batasan tertentu, bahkan beberapa saat saja sudah dihitung sebagai haidh namun tidak dihitung sebagai satu quru’ dalam masalah thalaq.
Pendapat II (Syafi’I) : sehari semalam
Pendapat III (Abu Hanifah) : tiga hari
Durasi minimal suci :
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (riwayat dari Malik) : delapan hari
Pendapat II (riwayat dari Malik) : sepuluh hari
Pendapat III (Syafi’I, Abu Hanifah, riwayat dari Malik yang diikuti oleh para sahabatnya di Baghdad): lima belas hari
Pendapat IV : tujuh belas hari (dan merupakan angka terbesar yang disepakati oleh para fuqaha)
Durasi maksimal suci :
Tidak ada batasan waktu tertentu
Sebab berbagai perbedaan pendapat diatas :
perbedaan pendapat tentang tajribah dan ‘aadat dalam masalah ini.
Komentar Ibnu Rusyd :
Namun para fuqaha sepakat bahwa darah yang keluar lebih dari durasi maksimal haidh maka itu adalah istihadhah.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Tidak ada nash shahih yang berbicara mengenai durasi haidh, baik minimalnya ataupun maksimalnya. Untuk menentukan durasi haidh maka pertama-tama didasarkan pada kebiasaan. Jika tidak ada kebiasaan maka didasarkan pada ciri-ciri yang bisa digunakan sebagai tamyiz (pembeda).
Mengenai durasi maksimal suci, para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan waktu tertentu. Adapun mengenai durasi minimal suci, para fuqaha berbeda pendapat. Namun Sayyid Sabiq mengatakan bahwa yang paling benar ialah tidak ada dalil yang bisa dijadikan hujjah mengenai durasi minimal suci.
Darah haidh / nifas yang terputus-putus
(maksudnya ialah haidh sehari atau dua hari lalu berhenti sehari atau dua hari, lalu keluar darah lagi).
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I) :
jika sudah melebihi lima belas hari, maka itu adalah istihadhah.
Pendapat II (Malik) :
dilihat berdasarkan kebiasaannya.
- Jika saat keluar darah yang kedua itu sudah melewati durasi kebiasaannya maka selama tiga hari kita masih menganggapnya sebagai haidh, agar lebih selamat. Jika setelah tiga hari itu berhenti, maka alhamdulillah. Namun jika tidak, maka selebihnya kita anggap sebagai istihadhah. Sementara itu, hari-hari dimana darah terputus bisa diabaikan.
- Jika saat keluar darah yang kedua itu belum melewati durasi kebiasaannya maka kita pun tetap menganggapnya sebagai haidh sampai darah tersebut berhenti.
Pendapat III (Ibnu Rusyd) :
darah yang kedua itu masih kita anggap sebagai darah haidh, karena yang terjadi adalah bahwa darah haidh / nifas datang lalu berhenti sejenak lalu kembali lagi. Apalagi, telah disepakati bahwa durasi suci itu tidak mungkin sehari atau dua hari saja, melainkan mesti lebih dari itu.
Sebab perbedaan pendapat :
1. Tidak adanya nash dalam masalah ini.
2. Perbedaan analisis dalam melakukan tamyiz, dalam bingkai kaidah-kaidah fiqih Islam.
Komentar :
Permasalahan ini membutuhkan keterangan dari ahlut tamyiz, yang dalam hal ini adalah pakar biologi atau kedokteran karena berkaitan dengan masalah fisiologi manusia. Dan barangkali pendapat Ibnu Rusyd lebih mendekati kebenaran karena beliau adalah seorang dokter yang amat terkenal pada masanya.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Istihadhah dibedakan menjadi tiga kondisi :
1. Sang wanita mengetahui durasi haidh-nya dari kebiasannya, maka haidh-nya adalah sesuai dengan kebiasaan tersebut, sedangkan sisa waktunya adalah istihadhah.
2. Sang wanita tidak mengetahui durasi haidh-nya, baik karena lupa kebiasaannya atau karena tidak mampu membedakan. Dalam kondisi seperti ini maka haidh-nya adalah enam atau tujuh hari karena demikianlah kebiasaan kebanyakan wanita.
3. Sang wanita tidak memiliki kebiasaan namun dia mampu membedakan, maka hendaknya dia menetapkan berdasarkan pembedaan tersebut.
Darah istihadhah yang berkelanjutan dalam waktu panjang : kapan dihukumi sebagai haidh ?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) :
dihukumi haidh jika memenuhi dua kondisi sekaligus : 1) darah tersebut telah berubah sifat dari darah istihadahah menjadi darah haidh, 2) telah melampaui durasi minimal suci. Jika kedua kondisi tersebut tidak bisa dipenuhi sekaligus maka hukumnya tetap istihadhah selamanya.
Pendapat II (Abu Hanifah) :
berdasarkan kebiasaannya jika ia memiliki kebiasaan, namun jika baru permulaan maka dibatasi selama durasi maksimal haidh (menurut Abu Hanifah adalah 10 hari).
Pendapat III (Syafi’I) :
berdasarkan tamyiz jika ia merupakan ahlut tamyiz, atau berdasarkan kebiasaan jika ia lebih memahami kebiasaannya. Jika ia bisa memahami kedua-duanya (tamyiz dan kebiasaan sekaligus) maka ia bisa memilih salah satunya yang menurutnya lebih andal.
Sebab perbedaan pendapat :
1. Pertentangan antar hadits
2. Perbedaan analisis dalam melakukan tamyiz, dalam bingkai kaidah-kaidah fiqih Islam.
Pendapat Sayyid Sabiq :
--- (tidak ditemukan dalam Kitab Fiqhus Sunnah. Namun cukup bermanfaat jika kita membaca uraian beliau baru saja diatas).
Sejauh apa berhubungan dengan wanita yang sedang haidh ?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Abu Hanifah) :
hanya boleh pada apa yang ada diatas celana (maksudnya pusar keatas) dan apa yang ada dibawah lutut.
Pendapat II (Sufyan Ats-Tsauri, Dawud) :
hanya wajib menjauhi tempat keluarnya darah saja (maksudnya vagina).
Sebab perbedaan pendapat :
1. Pertentangan antar hadits.
2. Adanya beberapa kemungkinan (ihtimal) dalam memahami Ayat Haidh : “Qul huwa adzan fa’tazilun nisaa-a fil mahiidh”.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Beliau hanya mengemukakan berbagai perbedaan pendapat tanpa mentarjih. Beliau hanya mengemukakan bahwa umat Islam telah bersepakat atas keharaman bersetubuh dengan wanita haidh dan nifas, berdasarkan nash Qur’an dan Sunnah.
Tentang menyetubuhi wanita haidh yang sudah suci tapi belum mandi.
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, dan Jumhur) :
tidak boleh menyetubuhinya sampai ia mandi terlebih dahulu.
Pendapat II (Hanafiyah) :
boleh menyetubuhinya jika sucinya itu sesudah durasi maksimal haidh (menurut Abu Hanifah adalah 10 hari).
Pendapat III (Auza’I, Ibnu Hazm) :
setiap wanita yang sudah darah haidhnya sudah berhenti adalah suci, sehingga ia boleh disetubuhi setelah ia membasuh (membersihkan) darah dari kemaluannya.
Sebab perbedaan pendapat :
Adanya beberapa ihtimal dalam memahami Ayat Haidh : “Fa idzaa tathahharna fa’tuuhunna min haitsu amarakumullah”.
Pendapat Sayyid Sabiq :
--- (tidak ditemukan dalam Kitab Fiqhus Sunnah)
Kaffarah bagi suami yang menyetubuhi isterinya padahal dalam keadaan haidh
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Abu Hanifah, dan jumhur) :
sebaiknya dia beristighfar (minta ampun) kepada Allah dan ia tidak ada denda atasnya.
Pendapat II (Ahmad ibn Hanbal) :
wajib menyedekahkan satu dinar atau setengah dinar.
Pendapat III (ahli hadits) :
memerinci pendapat Imam Ahmad : jika ia menyetubuhi pada saat darah sedang mengalir maka dendanya satu dinar, namun jika ia menyetubuhinya pada saat darah sedang berhenti mengalir maka dendanya setengah dinar.
Pendapat IV (Auza’I) :
dendanya dua perlima dinar.
Sebab perbedaan pendapat :
Perbedaan pendapat mengenai keshahihan hadits yang menyatakan adanya denda bagi orang yang menyetubuhi isterinya pada saat haidh.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Beliau menukil perkataan Imam Nawawi : Jika seseorang melakukannya karena lupa atau belum tahu akan keharamannya atau belum tahu akan adanya haidh, maka ia tidak berdosa dan tidak ada kaffarah baginya. Nakun jika seseorang melakukannya dengan sengaja, tahu keharamannya, tahu adanya haidh, dan tidak dipaksa, maka ia telah melakukan kemaksiatan yang besar, sehingga ia wajib bertaubat. Adapun mengenai kaffarah, maka pendapat yang lebih shahih adalah tidak ada kaffarah.
Bagaimanakah cara bersuci dalam keadaan istihadhah?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, jumhur) :
wajib mandi sekali saja, yakni pada saat haidnya berakhir (yang berarti juga merupakan awal istihadhah). Adapun mengenai wudhu, mereka terbagi dua :
I.a. [jumhur] : Wajib wudhu setiap kali mau sholat.
I.b. [Malik] : Tidak wajib wudhu setiap kali mau sholat, namun mustahab (lebih utama).
Pendapat II :
wajib mandi setiap kali mau sholat.
Pendapat III :
wajib mandi tiga kali dalam sehari semalam, yakni :
- Di akhir waktu zhuhur (lalu sholat zhuhur dikerjakan di akhir waktu sementara sholat ashar dilakukan di awal waktu)
- Di akhir waktu maghrib (lalu sholat maghrib dilakukan di akhir waktu sementara sholat isya’ dilakukan di awal waktu)
- Menjelang shubuh (lalu melakukan sholat shubuh)
Pendapat IV :
wajib mandi sekali dalam sehari semalam.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan antar hadits.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sama dengan pendapat I dan I.a. (Hanya wajib mandi sekali pada penghabisan haidh-nya dan juga wajib wudhu setiap kali akan sholat). [Fiqhus Sunnah hal. 76]
Hukum menyetubuhi wanita yang dalam keadaan istihadhah
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (jumhur) : boleh menyetubuhinya.
Pendapat II : tidak boleh menyetubuhinya.
Pendapat III : boleh menyetubuhinya jika istihadhah-nya berlangsung lama.
Sebab perbedaan pendapat :
Perbedaan pendapat mengenai diperbolehkan sholat bagi mustahadhah : apakah karena rukhshah (terkait dengan pentingnya sholat) atau apakah karena memang istihadhah itu merupakan kondisi suci.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Wanita mustahadhah boleh disetubuhi karena tidak ada dalil yang melarangnya, dan juga berdasarkan qiyas aula bahwa jika untuk sholat saja dia diperbolehkan maka untuk sekedar bersetubuh tentu juga boleh.