Fiqhun Nisaa’, Muhammad Ra’fat Utsman
Kafaah dalam bahasa Arab berarti kesamaan atau kesetaraan. Rasulullah bersabda, “Kaum muslimin itu sama atau setara darahnya satu sama lain”, maksudnya bahwa darah mereka sama satu sama lain dalam urusan qishash dan diyat. Jadi tidak ada bedanya antara darah (nyawa) orang yang terpandang dan darah (nyawa) orang yang tidak terpandang.
Adapun yang dimaksud oleh para fuqaha dengan kafaah dalam masalah pernikahan ialah bahwa sepasang suami isteri hendaknya sama atau setara dalam aspek-aspek tertentu, yang mana jika hal itu tidak terpenuhi maka pada umumnya akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada :
Riwayat dari Ali ibn Abi Thalib ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hai Ali, janganlah engkau mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal : sholat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah hadir (untuk segera diurus dan dikuburkan), dan anak perempuan yang siap menikah jika telah engkau dapatkan yang sekufu dengannya”.
Riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”.
Atsar dari Umar ibn Al-Khaththab ra. Beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”. [Fathul Qadiir J II hal. 417]
Kafaah Tidak Termasuk Syarat Sahnya Akad Nikah
Kafaah merupakan salah satu diantara hak seorang isteri, sehingga seorang wali tidak boleh menikahkan puterinya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya. Kafaah juga merupakan hak seorang wali, sehingga jika seorang wanita meminta atau menuntut kepada walinya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu maka sang wali boleh tidak mengabulkannya, dengan alasan tidak adanya kafaah. Tetapi permasalahan selanjutnya ialah apakah kafaah termasuk syarat sahnya akad nikah ?
Terdapat dua pendapat di kalangan para ulama. Yang paling tepat ialah pendapat yang mengatakan bahwa kafaah tidak termasuk syarat sahnya akad nikah. Sebab, kafaah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga keduanya bisa saja menggugurkannya (tidak mengambilnya). Inilah pendapat sebagian besar ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan para ulama Hanafiyah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal.
Adapun dalil-dalil yang menjadi sandaran pendapat tersebut adalah :
Dalil pertama : Firman Allah Ta’ala, “… Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian ialah yang paling bertaqwa …”. Jadi, Al-Qur’an tidak membeda-bedakan manusia kecuali berdasarkan ketaqwaan mereka kepada Allah.
Dalil kedua : Sesungguhnya Nabi saw telah memerintahkan Fathimah bint Qays untuk menikah dengan Usamah ibn Zaid, kemudian keduanya menikah. Demikian pula Rasulullah telah menikahkan Zaid ibn Haritsah (ayah Usamah) dengan puteri bibinya, Zainab bint Jahsy.
Dalil ketiga : Bahwasanya Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya Abu Hudzaifah ibn Utbah ibn Rabi’ah telah mengangkat Salim sebagai anaknya (ketika mengangkat anak masih diperbolehkan) kemudian menikahkannya dengan puteri saudara perempuannya, Hindun bint Al-Walid ibn Uqbah. Sebelumnya Salim merupakan seorang budak wanita Anshar, lalu dimerdekakan”. [HR Al-Bukhari]
Dalil keempat : Bahwasanya kafaah hanyalah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga tidak harus ada untuk sahnya sebuah akad nikah. Sebagaimana juga tidaklah dipersyaratkan bebasnya suami isteri dari kekurangan yang bisa menghalangi kenikmatan hubungan seksual, untuk sahnya sebuah akad nikah.
Kalaupun ada riwayat-riwayat yang menyebutkan kafaah dalam pernikahan, semua itu hanya menunjukkan bahwa kafaah hendaknya dipertimbangkan dalam urusan pernikahan, dan bukan merupakan syarat sahnya akad nikah. Kafaah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga para walinya. Jika diantara mereka ada yang merasa tidak rela dengan ketidaksekufuan pernikahan yang telah dilangsungkan, maka mereka bisa mem-fasakh akad nikah sesudah sahnya akad itu. Karena itulah diriwayatkan bahwa Rasulullah telah memberikan pilihan kepada seorang wanita yang telah dinikahkan oleh ayahnya dengan keponakan ayahnya itu, untuk melanggengkan pernikahannya itu atau mem-fasakh-nya. Jika kafaah merupakan syarat sahnya akad nikah, mengapa wanita itu diberi pilihan ?
Dalam Hal Apa Kafaah Itu ?
Yang dimaksud dengan kafaah ialah bahwa jangan sampai seorang suami lebih rendah derajatnya, akhlaqnya, atau status sosialnya, daripada isterinya.
Kafaah merupakan penghormatan bagi seorang wanita. Artinya, tidak setiap laki-laki bisa menikahi seorang wanita. Tetapi tidak sebaliknya. Setiap laki-laki boleh menikah dengan wanita manapun yang ia sukai. Jadi, kafaah dipersyaratkan atas laki-laki, tetapi tidak dipersyaratkan atas wanita.
Para ulama yang mewajibkan diterapkannya kafaah dalam pernikahan memandang bahwa yang diharapkan dalam pernikahan adalah kebahagiaan suami isteri sepanjang hayat mereka dan pertalian kekerabatan yang harmonis, dan itu semua sulit dicapai tanpa adanya kafaah diantara keduanya, misalnya jika nasabnya, akhlaqnya, atau yang semacamnya jauh tidak sederajat antara satu dan yang lainnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang dalam hal apakah kafaah itu.
Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa kafaah adalah dalam hal din dan nasab. Adapun yang dimaksud dengan din disini bukanlah muslim atau non muslim, sebab sudah jelas bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim. Tetapi yang dimaksudkan dengan din disini adalah keistiqamahan tadayyun, keshalihan, dan kemampuan menjauhi hal-hal yang dilarang oleh syariat Islam. Jadi seorang laki-laki dikatakan tidak sekufu dengan seorang wanita muslimah yang taat jika laki-laki tersebut adalah seorang yang fasiq, yang mana kesaksian dan periwayatannya tidak bisa diterima, tidak aman bagi jiwa dan harta, serta tidak layak menjadi wali. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qudamah.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada kafaah kecuali dalam hal din.
Kapan Kafaah Dipertimbangkan ?
Kafaah dipertimbangkan pada saat akad nikah. Jika pada saat akad nikah, seorang laki-laki sudah sekufu tetapi sesudah itu kehilangan sifat-sifat kafaahnya maka si isteri ataupun walinya tidak boleh menuntut cerai suaminya dengan alasan tidak sekufu.
Fiqhus Sunnah, As-Sayyid Saabiq
Apa Hukum Kafaah dalam Pernikahan ?
Pertama. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafaah tidak harus dipertimbangkan dalam pernikahan. Beliau mengatakan, “Setiap muslim – sepanjang bukan seorang pezina – berhak untuk menikahi wanita muslimah yang manapun juga – sepanjang wanita itu bukan seorang pezina –“. Beliau melanjutkan, “Setiap pemeluk Islam merupakan saudara satu sama lain. Seorang laki-laki yang nasabnya tidak terpandang tidaklah dilarang menikahi puteri seorang khalifah dari Bani Hasyim….. Dan seorang muslim yang fasiq - sepanjang bukan pezina – adalah sekufu dengan wanita muslimah yang juga fasiq – sepanjang wanita itu bukan pezina –“.
“Argumentasinya adalah firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”, dan juga firman-Nya yang ditujukan kepada segenap laki-laki muslim : “Maka nikahilah wanita yang kalian sukai”. Dan setelah menyebutkan wanita-wanita yang diharamkan bagi kita, Allah melanjutkan : “Dan dihalalkan bagi kalian selain mereka itu”.
“Rasulullah juga telah menikahkan Zainab dengan Zaid, juga Al-Miqdad dengan Dhiba’ah bint Az-Zubair ibn Abdil Muthallib”.
Kedua. Ulama yang lain mengatakan bahwa kafaah harus dipertimbangkan, tetapi hanya dalam hal keistiqamahan tadayyun dan akhlaq. Jadi bukanlah kafaah itu dalam hal nasab, kekayaan, dan sebagainya. Sehingga boleh-boleh saja seorang laki-laki shalih yang nasabnya tidak terpandang menikahi wanita yang nasabnya terpandang, atau seorang laki-laki miskin tetapi shalih dan bertaqwa menikahi seorang wanita yang kaya. Dalam hal ini, sang wali tidak boleh menolak pernikahan tersebut kalau memang si wanita sudah rela dengan pernikahan tersebut. Adapun seorang laki-laki yang tidak istiqamah dalam beragama, maka dia tidaklah sekufu dengan seorang wanita yang shalihah….
Disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid : “Para ulama Malikiyah sepakat bahwa jika seorang gadis akan dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang laki-laki peminum khamr – atau secara umum laki-laki yang fasiq – maka gadis itu berhak untuk menolak pernikahan itu. Dan hendaknya hakim meneliti masalah tersebut, untuk kemudian memisahkan keduanya. Demikian juga halnya jika calon suaminya itu laki-laki yang berpenghasilan haram, atau laki-laki yang mudah menjatuhkan thalaq”.
Golongan ini berargumentasi dengan dalil-dalil berikut :
- Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling bertaqwa”.
- At-Tirmidzi meriwayatkan dengan isnad hasan, dari Abu Hatim Al-Mazini, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya. Jika kalian tidak melakukan yang demikian, maka akan terjadi fitnah diatas muka bumi dan kerusakan yang besar”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, meskipun pada dirinya …! Rasulullah menyahuti, “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya”. Beliau mengucapkannya tiga kali.
Hadits ini merupakan arahan kepada para wali agar tidak menolak lamaran seorang laki-laki yang bagus dinnya, amanah, dan berakhlaq mulia, karena lebih mengutamakan yang nasabnya lebih terpandang, status sosialnya lebih tinggi, hartanya lebih melimpah, dan sebagainya. Sebab jika ini terjadi akan timbul fitnah yang dahsyat dan kerusakan yang tak berujung.
- Rasulullah saw pernah melamar Zainab bint jahsy untuk beliau nikahkan dengan Zaid ibn Haritsah. Tetapi, Zainab dan juga saudara laki-lakinya, Abdullah, menolak lamaran itu, karena merasa nasabnya jauh lebih tinggi sementara Zaid adalah seorang budak. Maka turunlah firman Allah : “Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu perkara, memiliki pilihan dalam urusan mereka itu. Barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia telah sesat sesesat-sesatnya”. Sehingga, Abdullah menyerahkan semuanya kepada Nabi. Maka Nabi pun menikahkan Zainab dengan Zaid.
- Abu Hudzaifah telah menikahkan Salim dengan Hindun bint Al-Walid ibn Utbah ibn Rabi’ah, sementara Salim adalah bekas budak seorang wanita Anshar.
- Bilal ibn Rabbah telah menikahi saudara perempuan Abdurrahman ibn Auf.
- Imam Ali – semoga Allah memuliakan wajahnya – pernah ditanya tentang hukum kafaah dalam pernikahan, maka beliau pun berkata, “ Manusia itu sekufu satu sama lain, baik itu Ajam ataupun Arab, termasuk suku Quraisy dan Hasyimi, dengan syarat beragama Islam dan beriman.
Diantara golongan ini ialah para ulama Malikiyah.
Imam Asy-Syaukani berkata, “Diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas’ud, Muhammad ibn Sirin, dan Umar ibn Abdil Aziz, dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim, pendapat demikian : “Yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw dengan mempertimbangkan kafaah adalah dalam hal din ….sehingga seorang muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, demikian pula seorang wanita yang menjaga diri tidak boleh menikah dengan seorang pendosa…. Al-Qur’an dan As-Sunnah sama sekali tidak memaksudkan kafaah dengan makna selain itu. Seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki pezina dan pendosa, meskipun laki-laki itu nasabnya terpandang, kaya raya, dan sebagainya. Seorang bekas budak boleh saja menikahi seorang wanita yang bernasab terpandang dan kaya raya, jika laki-laki itu muslim dan bertaqwa…Seorang laki-laki yang bukan Quraisy boleh saja menikahi wanita Quraisy. Seorang laki-laki yang bukan Hasyimi boleh saja menikahi wanita Hasyimi. Seorang laki-laki yang miskin juga boleh menikahi wanita yang kaya raya”. [Zaadul Ma’ad J IV, hal 22]
Ketiga. Adapun sebagian besar fuqaha juga berpendapat sama dengan para ulama Malikiyah dan lain-lainnya yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafaah yang harus dipertimbangkan ialah dalam hal din, sehingga seorang laki-laki fasiq tidaklah sekufu dengan wanita yang menjaga diri. Hanya saja, mereka tidak mencukupkan kafaah sampai disitu saja, tetapi meluaskan arti dan cakupannya pada hal-hal yang lain, antara lain :
Pertama, nasab.
Maksudnya, orang Arab sekufu dengan orang Arab yang lainnya. Orang Quraisy sekufu dengan orang Quraisy yang lainnya. Orang Ajam tidak sekufu dengan orang Arab. Orang Arab umum tidak sekufu dengan orang Arab Quraisy.
Argumentasi yang mereka pakai :
- HR Al-Hakim, dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Orang Arab itu sekufu dengan sesama Arab, dari kabilah apa saja, kecuali tukang tenun dan tukang bekam”. Ibnu Abi Hatim menanyakan hadits ini kepada bapaknya, maka bapaknya berkata, “Hadits ini dusta dan tidak ada asalnya”. Daruquthni berkomentar dalam Al-‘Ilal, “Hadits ini tidak sah”. Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits ini munkar dan maudhu’ (palsu)”.
- HR Al-Bazzar, dari Mu’adz ibn Jabal, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Orang Arab sekufu dengan sesama Arab, dan Mawali (campuran Arab dengan Ajam) sekufu dengan sesama Mawali”. Dalam sanad hadits ini terdapat Sulaiman ibn Abil Jaun [dan dia lemah]”. Ibnul Qaththan berkata, “Hadits ini tidak dikenal… Dalam isnadnya dikatakan dari Khalid ibn Mi’dan dari Mu’adz, padahal Khalid tidak pernah mendengar dari Mu’adz… Jadi tidaklah sah menyandarkan masalah kafaah dalam nasab pada hadits ini”.
- Atsar yang diriwayatkan oleh Daruquthni, dari Umar ibn Al-Khaththab ra , beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”.
- Para ulama Syafi’iyah dan juga Hanafiyah mengakui sahnya mempertimbangkan nasab dalam masalah kafaah dalam pengertian sebagaimana tersebut diatas. Hanya saja diantara mereka terdapat perbedaan pendapat tentang apakah setiap Quraisy sekufu dengan Hasyimi dan Muthallibi. Adapun ulama Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa tidak setiap laki-laki Quraisy sekufu dengan wanita Hasyimi dan Muthallibi. Mereka berdalil dengan hadits riwayat Wa-ilah ibnul Asqa’, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah diantara Banu Ismail, kemudian Dia memilih Quraisy diantara Kinanah, kemudian Dia memilih Bani Hasyim diantara Quraisy, kemudian Dia memilih aku diantara Bani Hasyim. Jadi aku adalah yang terbaik diantara yang terbaik”. [HR Muslim]. Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) berkata dalam Fathul Bari, “Yang benar ialah mengutamakan Bani Hasyim dan Bani Muthallib diatas yang lainnya… Adapun selain kedua suku itu, maka mereka semuanya sekufu satu sama lain”.
Yang benar [menurut As-Sayyid Sabiq] tidaklah demikian. Sesungguhnya Nabi saw telah menikahkan kedua puterinya dengan Utsman ibn Affan. Beliau saw juga telah menikahkan Abul Ash ibnur Rabi’ dengan Zainab, puteri beliau. Padahal Utsman dan Abul Ash adalah keturunan Abdus Syams… Beliau saw juga telah menikahkan Umar dengan puterinya, Ummu Kaltsum, padahal Umar adalah seorang Adawi. Yang demikian ini karena keutamaan ilmu mengalahkan setiap nasab dan segenap keutamaan yang selainnya. Sehingga, seorang alim adalah sekufu dengan wanita yang manapun juga, apapun nasab wanita itu, meskipun laki-laki alim itu nasabnya tidak terpandang. Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi saw, “Manusia itu [ibarat] bahan tambang, ada yang seperti emas dan ada yang seperti perak. Yang paling baik diantara mereka pada masa jahiliyah tetap merupakan yang paling baik dalam [lingkungan] Islam, jika mereka orang-orang yang paham”. Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang dikaruniai ilmu beberapa derajat”. [QS Al-Mujadalah : 11]. Demikian pula Allah berfirman, “Katakan : Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu?”
Demikianlah pendapat para ulama Syafi’iyah tentang nasab bagi orang-orang Arab. Adapun bagi orang-orang Ajam, diantara mereka ada yang berkata, “Kafaah diantara mereka tidaklah diukur dengan nasab”. Tetapi diriwayatkan dari Imam Syafi’i dan kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa orang-orang Ajam juga bertingkat-tingkat nasabnya (dan hal itu dipertimbangkan dalam masalah kafaah), dikiaskan dengan hal yang serupa di kalangan orang-orang Arab.
Kedua, status merdeka atau budak.
Maksudnya, laki-laki budak tidak sekufu dengan wanita merdeka. Laki-laki yang pernah menjadi budak tidak sekufu dengan wanita yang sama sekali tidak pernah menjadi budak. Demikian seterusnya.
Ketiga, bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan.
Ini hanya berlaku untuk selain orang Arab. Yakni, apakah seseorang memiliki bapak, kakek, dan seterusnya yang beragama Islam atau tidak. Adapun orang Arab maka tidak perlu memperhatikan masalah ini, karena mereka sudah cukup dengan hanya mempertimbangkan masalah nasab. Yang demikian ini karena mereka hanya berbangga-bangga dengan nasab, bukan dengan kenyataan bahwa nenek moyangnya muslim atau bukan.
Keempat, status sosial dan pangkat / profesi.
Argumentasi yang dipakai adalah riwayat Al-Hakim, dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Orang Arab itu sekufu dengan sesama Arab, dari kabilah apa saja, kecuali tukang tenun dan tukang bekam”. Ibnu Abi Hatim menanyakan hadits ini kepada bapaknya, maka bapaknya berkata, “Hadits ini dusta dan tidak ada asalnya”. Daruquthni berkomentar dalam Al-‘Ilal, “Hadits ini tidak sah”. Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits ini munkar dan maudhu’ (palsu)”.
Suatu saat dikatakan kepada Imam Ahmad ibn Hanbal, “Mengapa Anda menyetujui pendapat ini padahal Anda melemahkan riwayatnya?” Maka beliau menjawab, “Karena kenyataannya begitulah yang dipraktekkan”.
Kelima, kekayaan.
Argumentasi yang dipakai ialah hadits riwayat Samrah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Status sosial adalah kekayaan, sedangkan kemuliaan adalah ketakwaan”.
Tetapi sebagian ulama menentang dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, dengan alasan bahwa kekayaan itu semu dan sementara, serta bukan sesuatu yang dijadikan standar muru-ah.
Adapun sahabat-sahabat Abu Hanifah, mereka mempertimbangkan kekayaan… tetapi hanya sebatas kemampuan memberikan mahar yang diminta dan nafkah yang cukup dan pantas. Jika seorang laki-laki tidak bisa memberikan salah satu dari dua hal itu atau bahkan kedua-duanya, maka ia tidak sekufu dengan wanita yang ingin dinikahinya.
Adapun Abu Yusuf mengartikan kafaah dalam hal kekayaan hanya sebatas kemampuan memberikan nafkah yang cukup dan pantas, tidak termasuk mahar.
Sebuah riwayat dari Imam Ahmad menyetujui dipertimbangkannya kekayaan dalam masalah kafaah, karena seorang wanita dari keluarga kaya akan menderita hidup bersama laki-laki yang miskin, dan karena manusia menganggap kemiskinan sebagai kekurangan (artinya orang yang kaya dimuliakan sebagaimana dimuliakannya orang yang nasabnya terpandang).
Keenam, memiliki kekurangan / cacat fisik atau tidak.
Dalam Kitab Al-Mughni disebutkan : “Terbebasnya seorang laki-laki dari kekurangan atau cacat fisik tidaklah termasuk dalam pengertian kafaah, karena para ulama sudah sepakat akan sahnya pernikahan laki-laki yang memiliki kekurangan atau cacat fisik. Hanya saja kekurangan atau cacat fisik pada si laki-laki menyebabkan adanya hak pilih bagi si wanita (untuk menerima pernikahan atau menolaknya), tidak bagi sang wali, karena si wanita sajalah yang akan menanggung masalah ini. Tetapi wali memiliki hak untuk menolak pernikahan dengan laki-laki yang lumpuh, berpenyakit lepra, atau gila.
Atas Siapa Kafaah Dipersyaratkan ?
Kafaah dalam pernikahan hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun seorang wanita tidaklah dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya.
Dalil-dalilnya adalah :
- Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang memiliki jariyah, kemudian mengajarinya dengan pengajaran yang baik, dan bersikap baik kepadanya, kemudian memerdekakannya lalu menikahinya, maka dia mendapatkan dua pahala”. [HR Al-Bukhari dan Muslim]
- Rasulullah merupakan sosok yang tidak ada seorang pun yang setara dengannya, tetapi beliau menikahi para wanita Arab, diantaranya Shafiyah bint Huyay yang awalnya beragama Yahudi tetapi kemudian masuk Islam.
- Pada umumnya, seorang wanita yang tinggi derajatnya akan dijadikan bahan pembicaraan jika dinikahi oleh laki-laki yang derajatnya lebih rendah. Tetapi tidak sebaliknya. Jika ada seorang laki-laki yang tinggi derajatnya kemudian menikahi wanita yang lebih rendah derajatnya, maka tidak akan ada yang membicarakannya.
Kafaah Merupakan Hak bagi Wanita dan Para Wali
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafaah merupakan hak bagi wanita dan para wali. Seorang wali tidak boleh menikahkan seorang wanita dengan laki-laki yang tidak sekufu, kecuali dengan kerelaan wanita itu sendiri dan juga para wali yang lainnya. [Jika seorang wanita dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan itu bathil (tidak sah). Pendapat kedua mengatakan bahwa pernikahan itu tetap sah tetapi wanita itu kemudian boleh memilih antara melanjutkan pernikahan atau menuntut cerai].
Para ulama Syafi’iyah berkata, “Kafaah merupakan hak bagi [si wanita dan] yang memegang perwalian harta”.
Imam Ahmad – dalam sebuah riwayat – berkata, “Kafaah merupakan hak bagi [si wanita dan] seluruh wali : yang dekat ataupun yang jauh. Siapapun diantara para wali itu tidak rela maka berhak melakukan fasakh.
Dalam riwayat yang lain, Imam Ahmad berkata, “Kafaah merupakan hak Allah. Meskipun si wanita dan seluruh walinya rela dengan ketidaksekufuan, maka kerelaan mereka semuanya tidaklah sah”. Namun riwayat ini didasarkan pada pengertian bahwa kafaah hanyalah dalam hal din, tidak dalam hal yang lain.
Kapan Kafaah Dipertimbangkan ?
Kafaah dipertimbangkan pada saat akad nikah. Jika saat akad nikah sang suami merupakan seorang yang terhormat, kuat memberikan nafkah, atau shalih… tetapi kemudian keadaan berubah : ia menjadi tidak terhormat, tidak lagi kuat memberikan nafkah, atau menjadi fasiq, maka akad nikah tetap sah sebagaimana awalnya. Karena sesungguhnya masa itu berputar, dan manusia itu tidak bisa dijamin selalu dalam keadaan yang sama… Dalam hal ini hendaknya sang isteri menerima kenyataan, bersabar, dan bertaqwa, karena yang demikian itu termasuk keutamaan.
Kitaabul Fiqh ‘alal Madzaahibil ‘Arba’ah, Abdurrahman Al-Jaziiri
Terdapat beberapa hal yang terkait dengan masalah kafaah :
Pertama, pengertian kafaah.
Kedua, apakah kafaah merupakan syarat sahnya akad nikah ataukah tidak.
Ketiga, apakah kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki saja ataukah atas kedua belah pihak.
Keempat, siapakah yang memiliki hak memutuskan terkait dengan masalah kafaah.
Madzhab Hanafiyah
Pengertian Kafaah
Kafaah ialah kesetaraan laki-laki terhadap wanita dalam beberapa hal, yakni enam hal : 1) nasab,
Manusia dibedakan atas Arab dan Ajam. Arab sendiri dibedakan atas Quraisy dan bukan Quraisy.
- Laki-laki Ajam tidak sekufu dengan wanita Arab.
- Laki-laki Arab bukan Quraisy tidak sekufu dengan wanita Quraisy.
- Laki-laki Quraisy sekufu dengan wanita Quraisy meskipun berbeda qabilah, misalkan si wanita seorang Hasyimi sementara si laki-laki seorang Naufali.
- Adapun laki-laki Ajam sekufu dengan wanita Ajam pula.
- Seorang Ajam yang alim sekufu dengan wanita Arab yang tidak alim, meskipun wanita itu kaya sementara si laki-laki miskin, karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan kekayaan.
- Seorang Ajam yang alim sekufu dengan wanita yang terpandang nasabnya tetapi tidak alim, karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan nasab.
2) bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan,
Ini berlaku untuk orang Ajam.
3) status sosial dan pangkat / profesi,
Yang dimaksud ialah bahwa status sosial dan pangkat / profesi keluarga si laki-laki harus sekufu dengan status sosial dan pangkat / profesi keluarga si wanita. Adapun ukuran status sosial dan pangkat / profesi maka kembali kepada budaya dan tradisi setempat.
4) merdeka atau budak,
5) din,
Seorang laki-laki fasiq tidak sekufu dengan wanita yang shalihah. Yang dimaksud dengan fasiq disini ialah terang-terangan dalam berbuat kefasiqan. Misalnya suka mabuk di tempat umum atau di jalan umum, suka pergi ke tempat-tempat mesum atau tempat-tempat kemaksiatan, gemar meninggalkan sholat dan puasa wajib kemudian mengumumkannya kepada orang-orang.
6) kekayaan.
Adapun masalah rupa tidaklah termasuk dalam kafaah. Jika si wanita cantik tetapi suaminya buruk rupa, maka wanita itu dan juga walinya tidak berhak untuk mem-fasakh pernikahan.
Apakah Kafaah Merupakan Syarat Sahnya Akad Nikah ataukah Tidak ?
Kafaah merupakan syarat terlaksananya akad nikah. Jika seorang wanita menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang derajatnya lebih rendah, maka wali boleh menolak akad itu dan hakim boleh mem-fasakh pernikahan itu.
Sebagian mengatakan bahwa kafaah merupakan syarat sahnya akad nikah. Jika seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu padahal si wanita memiliki wali yang belum rela dengan pernikahan itu, maka akad nikah itu bathil (tidak sah). Tetapi jika wali sudah rela saat akad kemudian sesudah akad menolak pernikahan, maka penolakannya itu tidak ada gunanya.
Kemudian, apakah kerelaan wali harus dengan ucapan atau cukup dengan diam ? Jawabnya : sepanjang si wanita belum diketahui hamil atau melahirkan, maka kerelaan wali tidak cukup hanya dengan diamnya. Jadi kerelaannya harus sharih. Disamping itu, wali harus mengetahui sang suami. Jika sang wali menyatakan kerelaan terhadap sang suami yang belum ia ketahui, maka kerelaannya itu tidak sah, kecuali jika ia menggugurkan haknya dengan berkata kepada si wanita, “Aku rela dengan apapun yang engkau lakukan”, atau “Aku rela terhadap siapa saja yang akan engkau nikahi”, atau “Lakukan apa saja yang engkau suka”, atau yang semacam itu.
Apakah Kafaah Hanya Dipersyaratkan atas Laki-laki Saja ataukah atas Kedua Belah Pihak ?
Kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki, dan tidak atas wanita. Jadi seorang laki-laki boleh menikah dengan wanita manapun yang ia sukai, meskipun budak atau pelayan.
Madzhab Malikiyah
Pengertian Kafaah
Kafaah dalam pernikahan ialah kesetaraan dalam dua hal :
1) din,
yakni bahwa si laki-laki haruslah muslim yang tidak fasiq (jika si wanita juga muslimah yang tidak fasiq).
2) tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik,
Jika si laki-laki memiliki kekurangan atau cacat fisik, maka si wanita memiliki hak memilih untuk menikah atau tidak. Dan ini merupakan hak bagi si wanita, tidak bagi si wali.
Adapun dalam hal harta, status merdeka, nasab, dan status sosial / pangkat / profesi, maka tidak harus ada kafaah.
Madzhab Syafi’iyah
Pengertian Kafaah
Kafaah meliputi lima hal, yakni enam hal menurut madzhab Hanafiyah kecuali kekayaan. Jadi tidaklah mengapa seorang laki-laki miskin menikahi wanita yang kaya raya. Disamping itu, mereka juga tidak mengharuskan kafaah dalam hal tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa seorang laki-laki yang cacat sekufu dengan wanita yang juga cacat, karena sama-sama cacat.
1) nasab,
Dalam hal nasab, sama dengan yang lainnya. Hanya saja mereka tidak menganggap sama orang-orang Quraisy, sebab orang Quraisy Bani Hasyim dan Bani Muthallib lebih mulia daripada orang Quraisy yang lainnya.
Tingkatan-tingkatan nasab juga berlaku di kalangan Ajam. Misalnya orang Persi lebih utama daripada orang Nibth, atau orang Banu Israil lebih mulia daripada orang Mesir, demikian seterusnya.
Demikian pula harus terdapat kafaah dalam hal kemuliaan orang tua (bapak). Anak laki-laki seorang yang lebih rendah derajatnya tidak sekufu dengan anak perempuan seorang yang lebih tinggi derajatnya.
2) din,
Seorang laki-laki pezina tidak sekufu dengan wanita yang baik-baik, meskipun laki-laki itu sudah bertaubat dengan taubat yang sungguh-sungguh, karena taubat dari zina tetap tidak menghilangkan citra yang sudah terlanjur buruk. Tetapi jika seorang laki-laki fasiq karena kemaksiatan selain zina, misalnya khamr, kemudian bertaubat, maka terdapat dua pendapat. Pertama, ia sekufu dengan wanita yang baik-baik. Kedua, ia tidak sekufu. Adapun jika si wanita seorang pezina, maka laki-laki pezina sekufu dengannya. Demikian pula jika si wanita seorang yang fasiq, maka laki-laki fasiq sekufu dengannya.
3) bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan ?
seseorang yang memiliki dua generasi moyang yang muslim tidak sekufu dengan yang memiliki tiga generasi moyang yang muslim. Demikian seterusnya. Dikecualikan dari kaidah ini adalah generasi sahabat, sebab mereka lebih mulia dari siapapun, berdasarkan hadits Nabi.
4) status merdeka atau budak,
sama dengan yang lainnya.
5) status sosial dan pangkat / profesi keluarga,
sama dengan yang lainnya.
Mereka juga berpendapat bahwa seorang wanita yang merdeka tetapi fasiq tidaklah sekufu dengan lelaki budak tetapi shalih. Demikian pula seorang wanita Arab tetapi fasiq tidaklah sekufu dengan laki-laki Ajam yang shalih. Demikian seterusnya.
Apakah Kafaah Hanya Dipersyaratkan atas Laki-laki Saja ataukah atas Kedua Belah Pihak ?
Mereka juga berpendapat bahwa kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun laki-laki, maka ia boleh menikahi wanita manapun yang ia sukai, meskipun wanita itu budak atau pelayan.
Zaadul Ma’aad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Allah Ta’ala berfirman :
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling bertaqwa”. [QS Al-Hujurat : 13]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”. [QS Al-Hujurat : 10]
“Kaum mukmin yang laki-laki dan yang perempuan merupakan pelindung antara yang satu dan yang lainnya” [QS At-Taubah : 71]
“Maka Rabb mereka pun mengabulkan permintaan mereka, bahwa Aku (Allah) tidak akan menyia-nyiakan amal salah seorang diantara kalian, laki-laki atau perempuan, karena sebagian kalian merupakan bagian dari sebagian yang lainnya”. [QS Ali Imran : 195]
Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang Ajam, atau orang Ajam atas orang Arab, atau orang kulit putih atas orang kulit hitam, atau orang kulit hitam atas orang kulit putih, kecuali dengan taqwa. Semua manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah”. [HR Ahmad dalam Musnadnya, dengan isnad shahih]
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya keluarga Bani Fulan bukanlah para waliku. Sesungguhnya para waliku ialah orang-orang yang bertaqwa, siapapun mereka dan dimanapun mereka berada”. [HR Al-Bukhari dalam Kitab Adab dan Muslim dalam Kitab Iman]
Rasulullah bersabda, ““Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya. Jika kalian tidak melakukan yang demikian, maka akan terjadi fitnah diatas muka bumi dan kerusakan yang besar”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, meskipun pada dirinya …! Rasulullah menyahuti, “Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridha terhadap din dan akhlaqnya, maka terimalah lamaran pernikahannya”. Beliau mengucapkannya tiga kali. [HR At-Tirmidzi]
Rasulullah saw bersabda, “Nikahkanlah (anak-anak perempuan kalian) dengan keluarga Abu Hind”, padahal Abu Hind hanyalah seorang tukang bekam.
Rasulullah juga telah menikahkan Zainab bint Jahsy Al-Qurasyiyah dengan Zaid ibn Haritsah, bekas budak beliau. Beliau juga telah menikahkan Fathimah bint Qays Al-Qurasyiyah dengan Usamah ibn Zaid. Beliau juga telah menikahkan Bilal ibn Rabbah dengan saudara perempuan Abdurrahman ibn Auf. Allah Ta’ala berfirman, “Dan perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik”. [QS An-Nuur : 26]. Allah juga berfirman, “Maka nikahilah wanita mana saja yang kalian sukai”. [QS An-Nisaa’ : 3]
Yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw dengan mempertimbangkan kafaah adalah dalam hal din ….sehingga seorang muslimah tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki kafir, demikian pula seorang wanita yang menjaga diri tidak boleh menikah dengan seorang pendosa…. Al-Qur’an dan As-Sunnah sama sekali tidak memaksudkan kafaah dengan makna selain itu. Seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki pezina dan pendosa, meskipun laki-laki itu nasabnya terpandang, kaya raya, dan sebagainya. Seorang bekas budak boleh saja menikahi seorang wanita yang bernasab terpandang dan kaya raya, jika laki-laki itu muslim dan bertaqwa…Seorang laki-laki yang bukan Quraisy boleh saja menikahi wanita Quraisy. Seorang laki-laki yang bukan Hasyimi boleh saja menikahi wanita Hasyimi. Seorang laki-laki yang miskin juga boleh menikahi wanita yang kaya raya.
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai masalah kafaah.
1. Imam Malik berkata, “Kafaah adalah dalam hal din”. Dalam riwayat yang lain, beliau berkata, “Kafaah adalah dalam tiga hal : din, status merdeka atau budak, dan tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik”.
2. Imam Abu Hanifah berkata, “Kafaah adalah dalam hal nasab dan din”.
3. Imam Ahmad dalam sebuah riwayat berkata, “Kafaah adalah dalam hal din dan nasab saja”. Dalam riwayat yang lain, beliau berkata, “Kafaah adalah dalam hal lima hal : din, nasab, status merdeka atau budak, pangkat / profesi, dan kekayaan”. Jika nasab masuk dalam pengertian kafaah, maka terdapat dua riwayat dari beliau. Pertama : orang Arab sekufu dengan sesama orang Arab. Kedua : Orang Quraisy hanya sekufu dengan orang Quraisy pula, demikian pula Banu Hasyim hanya sekufu dengan Banu Hasyim.
4. Para ulama Syafi’iyah berkata, “Kafaah adalah dalam hal din, nasab, status merdeka atau budak, pangkat / profesi, dan tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik”.