Masalah 1: masalah khithab. Ketika kita ber-istidlal dan berargumentasi dengan ayat-ayat Al-Qur'an, tidak jarang kita memakai ayat-ayat dengan khithab yang tidak tepat. Misalnya, ayat-ayat yang khithabnya adalah untuk orang-orang kafir ternyata dipakai untuk orang-orang yang beriman.
Masalah 2: masalah pemaknaan lafazh. Di sisi yang lain, membatasi khithab pada target yang biasa didefinisikan berdasarkan formalisme (musthalahat) semata tidak jarang membuat suatu ayat kehilangan keluasan cakupan dan pengertiannya. Termasuk dalam masalah ini adalah penyempitan makna suatu lafazh.
Masalah 3: masalah i'tibar. Tidak jarang ayat-ayat Al-Qur'an berbicara mengenai orang-orang kafir, namun kemudian menjelaskan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan mereka. Namun dalam kenyataan kehidupan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan tersebut juga tidak jarang dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Nah, dalam keadaan seperti ini, kita tidak boleh hanya menerapkan ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan tersebut untuk orang-orang kafir saja, namun pelajarannya juga harus kita tujukan kepada orang-orang yang beriman juga, yakni dengan semangat: jangan sampai orang-orang yang beriman memiliki sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir.
Masalah 4: Salah satu kaidah yang bermanfaat untuk dipakai dalam memahami Al-Qur'an adalah "al-'ibrah bi 'umuum al-lafzh laa bi khushuush al-sabab, ibrah itu diambil berdasarkan keumuman lafazh, bukan berdasarkan kekhususan sebab". Namun kaidah ini tidak selalu mencakup beberapa permasalahan yang dikemukakan diatas, karena beberapa permasalahan diatas lebih pada permasalahan khithab, permasalahan pemaknaan lafazh, dan i'tibar dari ayat-ayat Al-Qur'an. Adapun kaidah tersebut konteksnya lebih pada bagaimana memahami ayat-ayat Al-Qur'an dalam kaitannya dengan asbab nuzulnya.