Di awal-awal keterlibatan saya dalam organisasi dakwah kampus, kurang lebih pada akhir tahun 90-an, saya sempat dihadapkan pada sebuah fenomena. Beberapa saudara saya, dalam penilaian saya, telah berusaha - secara sadar ataupun tidak sadar - mempertentangkan secara frontal antara kepahaman (al-fahm), kepercayaan (ats-tsiqah), dan ketaatan (ath-tha'ah). Mereka seolah-olah hendak mengatakan bahwa kepahaman dan ketaatan adalah dua hal yang terpisah. Kepahaman ada di satu sisi sedangkan ketaatan ada pada sisi yang lainnya.

ImageRealitas yang ada ketika itu, dalam penglihatan saya, adalah bahwa pimpinan organisasi dakwah tidak bisa memberikan (mentransfer) informasi yang cukup kepada para anggotanya, pada saat mereka memberikan berbagai perintah untuk dilaksanakan. Akibatnya, para anggota jadi 'tidak nyambung' dan merasa harus menjadi 'robot'. Ketika ada usaha dari anggota untuk menggali informasi yang ia butuhkan, sekadar untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia lakukan adalah baik dan benar, ada anggapan bahwa anggota tersebut telah bersikap kurang taat. Padahal, permasalahannya sesungguhnya bukan masalah taat atau tidak taat, akan tetapi belum cukupnya informasi dan kepahaman.

Saya akhirnya jadi teringat dengan konsep Arkanul Bai'ah-nya Hasan Al-Banna dimana beliau menempatkan Al-Fahm (Pemahaman) sebagai rukun pertama, baru kemudian Ath-Tha'ah (Ketaatan) pada rukun kesekian. Saya juga kini merasakan sendiri bahwa ketika kepahaman kita sudah cukup maka ketaatan itu akan timbul dengan sendirinya pada diri kita. Jadi semuanya bisa 'goes well'. Dan yang saya maksud dengan kepahaman disini tentu saja bukanlah tahu segala hal, akan tetapi tahu dan paham dalam takaran yang diperlukan. Tidak selalu kepahaman itu bersifat mendetail dan terinci. Bisa jadi kepahaman itu cukup bersifat global, tetapi sudah mencukupi kebutuhan akal sehat kita.

Berikut ini apa yang dahulu pernah saya tulis ketika fenomena yang sebutkan diatas terjadi. 

“Wahai Rabb kami, berilah pahala dan keutamaan atas kami dan saudara-saudara kami yang ikhlas dalam menegakkan din-Mu yang haq. Pertautkanlah hati-hati kami, sesama mukmin ini. Satukanlah shaf-shaf kami dalam sebuah shaf yang kokoh dan rapi. Dan janganlah Engkau siksa kami akibat perkataan dan perbuatan orang-orang yang belum mengetahui diantara kami”.

“Wahai Rabb kami, tunjukkanlah al-haq kepada kami dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Tunjukkanlah al-bathil kepada kami dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya. Karuniakanlah kepada kami al-furqan antara al-haq dan al-bathil, sehingga tidak ada lagi syubhat dan kesamaran di depan mata kami”.

“Walhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Muhammad an-Nabiy al-Ummiy wa ‘ala alihi wa shahbihi. Amin, ya Arhamar Rahimin”.

Sebagian orang, sungguh, telah menafsirkan kalimat suci sami’na wa atha’na dengan sebuah tafsiran yang membuat hati kami menjadi gusar. Mereka telah mengartikan kalimat itu sebagai diktatorisme, taqlid buta, dan penafian ilmu.

Mereka mengatakan bahwa sami’na wa atha’na berarti bahwa dalam segala situasi, seorang jundi harus menerima perkataan (instruksi) dari qa’id tanpa boleh bertanya, dan langsung  melaksanakannya dengan penuh tsiqah.

Kalau makna jundi dalam ungkapan diatas adalah seorang prajurit di medan perang atau apapun yang analog dengan itu (situasi yang genting dsb), maka ungkapan diatas sepenuhnya benar. Namun apabila jundi diatas dimaknai secara konotatif, yang berarti setiap orang yang dipimpin, maka tafsiran diatas amatlah terlalu sempit, menyederhanakan masalah, dan tergesa-gesa.

Ketika kami mengatakan bahwa hal itu terlalu menyederhanakan masalah, bukan berarti kami berpendirian bahwa din ini adalah ajaran yang rumit dan ruwet. Sama sekali tidak! Bahkan, din ini merupakan al-syari’ah al-ummiyyah, yang diturunkan kepada umat yang ummi melalui Nabi yang ummi. Din ini mudah, tidak pernah menuntut tingkat pemahaman diatas tingkat pemahaman kebanyakan manusia. Dan dengan karakteristik inilah Allah memberikan beban syariat Islam ini kepada setiap mukallaf yang berakal, tanpa kecuali.

Namun tidak pula berarti bahwa setiap orang boleh menafsirkan Al-Qur’an (sebagai pedoman din ini) seenaknya sendiri. Penafsiran terhadap Al-Qur’an memerlukan tahqiq, diiringi dengan niat yang ikhlas. Penafsiran Al-Qur’an harus dilakukan secara komprehensif (menggabungkan seluruh ayat-ayatnya) dengan pemahaman yang mendalam terhadap ruh syariat.

Ingatlah, bagaimana Khawarij telah berbuat kesalahan dengan berdalil kepada Al-Qur’an. Mereka mengatakan, “La hukma illa lillah” (Tidak ada hukum kecuali milik Allah semata) dengan penafsiran yang dangkal, kurang komprehensif dan kurang mendalam. Mengetahui hal itu, Ali berkata, “Kalimat yang benar namun digunakan (ditafsirkan) secara salah”. Meskipun Insya Allah mereka sangat ikhlas, namun itu saja tidak cukup. Ilmu yang mendalam mutlak diperlukan. Hendaknya setiap orang selalu mawas diri dan berhati-hati atas sebuah pertanyaan, “Dalam pikiran siapakah kebenaran itu ada”? Seandainya Khawarij kala itu mau berpikir, “Mungkin kebenaran ada di pihak Ali”, maka barangkali mereka akan mendapatkan kebenaran itu setelah melakukan tabayyun dan munadharah. Jadi, janganlah sekali-kali kita mengklaim diri sebagai satu-satunya pemilik kebenaran. Imam Syafi’i pernah berkata,”Saya benar namun mungkin salah, dan dia salah namun mungkin benar”.

Sesungguhnya Allah Yang Maha Tahu, Maha Benar, dan Berhak Memaksa telah mensyariatkan berbagai ajaran Islam melalui Al-Qur’an sembari memberikan ‘illat atau hikmahnya (hal ini sering disebut sebagai ta’lil). Jangankan ketika mensyariatkan suatu ajaran yang berorientasi sosial, bahkan untuk ajaran yang bersifat ritual pun Allah melakukan ta’lil (seperti pada shalat, puasa, dan sebagainya). Cara Allah yang demikian ini hendaknya dicontoh oleh hamba-hamba-Nya, yang bukan Maha Tahu, Maha Benar, apalagi Yang Berhak Memaksa.

Islam melarang keras taqlid buta, baik yang bersifat menolak (seperti yang dilakukan musyrikin Quraisy terhadap dakwah Nabi) maupun yang bersifat menerima (seperti penerimaan aqidah [beriman] tanpa ilmu [minimal ilmu dharuri], yang kita tahu bahwa itu batal).

Sebaliknya, Islam pun melarang banyak bertanya. Sikap banyak bertanya yang dilarang oleh Islam adalah :

  1. Banyak bertanya seperti yang dilakukan oleh Banu Israil terhadap Musa as. dalam hal perintah menyembelih sapi betina. Mereka melakukan itu karena didalam hati mereka terdapat penyakit. Yang demikian ini termasuk dalam kategori ‘ishyan (bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya).
  2. Banyak bertanya seperti yang dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi Muhammad saw., yang mana pertanyaan itu akan mempersulit dan memperberat kondisi mereka sendiri. Karena itu Nabi marah sekali dan berkata,”Terhadap segala perintah yang aku bawa maka laksanakanlah, terhadap segala larangan yang aku bawa maka tinggalkanlah, dan terhadap segala yang aku biarkan maka diamlah dan jangan banyak bertanya karena hal itu merupakan rahmat dari Allah kepada kalian, bukan karena Dia lupa”. Sikap banyak bertanya yang demikian ini disebabkan oleh kejahilan mereka. Yang demikian ini pun termasuk dalam kategori ‘ishyan (bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya). Jika bukan suatu bentuk ‘ishyan, bagaimana mungkin Nabi marah sedemikian hebatnya?

Sesungguhnya kalimat sami’na wa atha’na tersebut dalam Al-Qur’an sebanyak 4 kali, sedangkan kalimat  sami’na wa ashaina  tersebut sebanyak 2 kali.

Kedua kalimat tersebut disebut bersamaan dalam satu ayat pada QS. Al-Nisa’ ayat 46. Ayat tersebut menjelaskan tentang perilaku orang-orang Yahudi yang menolak dakwah Nabi saw, padahal mereka seharusnya menyambut dan mentaati seruan Nabi tersebut. Selain itu, kalimat sami’na wa atha’na juga terdapat dalam QS. Al-Baqarah : 285, QS. Al-Maidah : 7, dan QS. An-Nur : 51.

Dalam QS. Al-Baqarah : 285, Allah menyatakan bahwa Rasulullah dan kaum mukmin, semuanya beriman kepada Allah, malaikat, Al-Qur’an, dan kitab-kitab sebelumnya. Orang-orang mukmin beriman kepada seluruh rasul tanpa kecuali, dan apabila para rasul itu menyampaikan pesan dari Tuhan maka orang-orang mukmin akan mengatakan “sami’na wa atha’na”. Jadi, konteks ayat itu adalah antara kaum mukmin  dan para rasul Allah. Dalam hal ini, sikap kaum mukmin memang mutlak harus sami’na wa atha’na  tanpa perlu bertanya-tanya lagi, karena yang mereka dengar adalah wahyu dari Allah yang pasti benarnya dan otoritasnya diatas segala sesuatu, termasuk diatas akal manusia. 

Dalam QS. Al-Maidah : 7, Allah mengingatkan agar kaum mukmin mengingat nikmat Allah atas mereka dan  juga mengingat perjanjian Allah terhadap mereka, dimana pada saat mereka mengikat janji, mereka mengatakan “sami’na wa atha’na”. Kebanyakan mufassir mengatakan bahwa perjanjian yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perjanjian antara Rasulullah dan kaum mukmin pada malam ‘Aqabah, bahwasanya Nabi meminta agar kaum mukmin senantiasa mendengar dan taat kepada Nabi, baik di saat susah ataupun senang. Saat itulah kaum mukmin mengatakan “sami’na wa atha’na”, artinya bahwa mereka benar-benar akan senantiasa mendengar dan taat kepada Nabi di saat susah maupun senang. (Fathul Qadir jilid 2). Jadi, sami’na wa atha’na disini adalah antara kaum mukmin dan Rasulullah, yang mana Rasulullah adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) karena segala perintah yang disampaikannya tidak lain adalah wahyu dari Allah. Dan memang, dalam tataran global, segala kebijakan Nabi merupakan wahyu dari Allah. Sementara dalam hal-hal teknis, Nabi – sebagaimana manusia pada umumnya – terkadang menggunakan ra’y (rasio) dalam mengambil suatu keputusan. Salah satu contohnya adalah keputusan Nabi dalam memilih lokasi basecamp pasukan mujahidin, yang setelah dinyatakan oleh Nabi bahwasanya masalah itu adalah pendapat Nabi sendiri (bukan wahyu), maka seorang sahabat Nabi (Habbab) menyarankan suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat Nabi, bahwasanya sebaiknya basecamp dipindahkan ke lokasi yang lebih strategis. Dari sini dapat disimpulkan bahwasanya sami’na wa atha’na (as-sam’ wath-tha’at) hanyalah berlaku terhadap sesuatu yang telah dijamin benar oleh syariat. Sementara dalam hal-hal ijtihadiyah, sikap bertanya dan bertukar pikiran untuk mendapatkan maslahat yang sebesar-besarnya adalah sikap yang amat baik.

Dalam QS An-Nur : 51, Allah menyatakan bahwa satu-satunya jawaban orang-orang yang beriman apabila diseru kepada ajaran Allah dan rasul-Nya, agar rasul tersebut memutuskan hukum diantara mereka, adalah ucapan sami’na wa atha’na. Jadi sami’na wa atha’na disini adalah dalam kaitannya dengan ajaran Allah dan keputusan Nabi, dimana keduanya mutlak kebenarannya karena datang dari sisi Allah.

Sementara kalimat sami’na wa ashaina , disamping terdapat dalam QS. An-Nisa : 46, juga terdapat dalam QS. Al-Baqarah : 93. Dalam Surat Al-Baqarah, kalimat tersebut dipakai untuk menerangkan bahwa begitulah jawaban orang-orang Yahudi umat Nabi Musa, ketika diminta oleh Allah untuk mendengarkan dan melaksanakan ajaran Taurat. Kalau kita perhatikan, baik dalam Surat An-Nisa maupun Al-Baqarah, kalimat sami’na wa ashaina merupakan ucapan orang-orang Yahudi, dimana salah satu bentuk pembangkangan mereka adalah banyak bertanya melebihi keperluan saat diperintahkan untuk menyembelih sapi betina. Hal ini menguatkan pendapat bahwasanya banyak bertanya mengenai suatu perintah melebihi keperluan merupakan salah satu bentuk ‘ishyan. Demikian, dan bukanlah banyak bertanya melebihi keperluan itu termasuk fakkarna (mengenai hal ini akan kami jelaskan dalam beberapa paragraf selanjutnya) , akan tetapi ‘ishyan. Sementara fakkarna itu sendiri merupakan sesuatu yang terpuji bahkan diperintahkan oleh Allah. Afala tatafakkarun ?

Sebagian orang berkata, “Generasi terdahulu, apabila menerima suatu perintah, hanya bersikap satu diantara dua, sami’na wa atha’na atau sami’na wa ‘ashaina (kami mendengar dan kami ber-‘ishyan). Yang pertama dilakukan oleh kaum mukmin sedangkan yang kedua dilakukan oleh kaum kafir dan munafiq. Sementara generasi saat ini, apabila menerima suatu perintah, bukan mengatakan “Sami’na wa atha’na” ataupun “Sami’na wa ashaina”, namun mengatakan “Sami’na wa fakkarna (Kami mendengar dan kami memikirkannya dahulu). Mereka mengatakan bahwa perkataan  sami’na wa fakkarna merupakan suatu kesalahan, suatu hal yang tidak layak dilakukan.

Sesungguhnya Allah, melalui Al-Qur’an, dalam hal ini hanya memperkenalkan dua istilah, sami’na wa atha’na atau sami’na wa ashaina, sebagai dua hal yang saling bertolak belakang. Artinya, ketika seseorang mendengar suatu perintah, maka dia hanya akan bersikap satu diantara dua, taat atau ‘ishyan. Soal taat sudah jelas. Adapun soal ‘ishyan, maka sikap ini bisa termanifestasi dalam berbagai bentuk, bisa berupa penolakan seperti pada umumnya dan bisa pula berupa ‘ishyan yang dibungkus dalam sikap banyak bertanya sebagaimana dikemukakan terdahulu.

Mengenai sikap sami’na wa fakkarna, maka hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut.

  1. Apabila yang dimaksud adalah berpikir sebagai kedok saja, sementara didalam hatinya sudah ada tekad untuk ber-ishyan, maka amat betul bahwa itu merupakan suatu kesalahan.
  2. Apabila yang dimaksud adalah berpikir dahulu dalam kondisi perang atau kondisi lain yang analog (situasi genting dsb) maka amat betul bahwa yang demikian itu merupakan suatu kesalahan.
  3. Apabila yang dimaksud adalah berpikir sebagai suatu bentuk tabayyun didasari dengan niat yang ikhlas, maka justeru yang demikian ini dituntut oleh Islam. Sesungguhnya setiap manusia dituntut untuk paham atas segala yang diperbuatnya. Ketika sudah paham, maka dia diberikan hak ber-ikhtiyar (memilih) antara taat dan ‘ishyan. Ikhtiyar inilah yang menjadi landasan bahwa Allah akan memberikan pahala dan siksa atas setiap perbuatan manusia. Tanpa ikhtiyar, tidak ada pahala dan siksa. Perhatikanlah hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati di alam semesta ini. Semuanya taat dan bertasbih kepada Allah tanpa ikhtiyar, sehingga terhadap kesemuanya itu tidak ada istilah pahala ataupun siksa. Konsep ini amat fundamental dalam kaitannya dengan dakwah, sehingga setiap da’i harus memahami dengan baik konsep ini.

Sesungguhnya, Allah tidak pernah menggunakan istilah sami’na wa fakkarna karena dua istilah yang lainnya itu sudah cukup mewakili segenap realitas kehidupan manusia. Fakkarna merupakan suatu perbuatan yang bersifat spontan pada diri manusia sebagai makhluk yang berakal. Jadi, fakkarna itu inheren pada diri manusia dan merupakan sunnatullah yang berlaku pada manusia.

Ketika Allah berkata, “Kun!” maka fayakun. Namun fayakun ini dalam dimensi dan perspektif manusia memerlukan sebuah proses sunnatullah. Ketika Allah mengatakan “Kun” atas kelahiran seorang anak manusia, maka fayakun-nya akan melalui proses pertumbuhan janin dalam rahim ibunya, sebagai suatu sunnatullah. Namun untuk yang demikian Allah tidak harus menjelaskannya secara panjang lebar, misalnya ”Kun fakadza wa kadza fayakun”. Cukuplah bagi Allah menjelaskannya secara singkat : “Kun fayakun”. Hal ini karena yang ingin ditegaskan dalam ungkapan itu adalah kekuasaan Allah (qudratullah) atas segala sesuatu, dan bukan proses kejadiannya. Demikian pula dengan uslub (pola bahasa) yang dipakai pada kalimat sami’na wa atha’na ataupun sami’na wa ashaina, keduanya bermakna bahwa diantara proses mendengar dan taat / ‘ishyan terdapat suatu proses sunnatullah, yang tidak lain adalah berpikir (fakkarna). Posisi fakkarna sebagai jembatan antara sami’na dan atha’na / ashaina adalah niscaya karena sifat fakkarna yang inheren dan spontan pada diri setiap manusia. Lagipula, yang ingin dijelaskan dalam ungkapan tersebut adalah ketaatan ataupun ‘ishyan setelah mendengar suatu perintah, dan bukan berpikir atau tidak berpikir. Oleh karena itu, sikap fakkarna (yang syar’i) tidak perlu dicela.

Marilah kita merenungi sebuah ayat Allah :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya”. (QS. Al-Isra’ : 36)

Kalaupun terdapat sabab nuzul bagi ayat diatas, namun sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, ibrah itu diambil dari keumuman lafadz, bukan dari kekhususan sebab.

Kalau kita berusaha mengambil ibrah dari ayat diatas, dengan hati yang khusyu’ dan pikiran yang jernih, niscaya kita akan mendapatkannya! Ayat itu menyiratkan bahwa hendaknya kita gemar ber-tabayyun, gemar mendengar, melihat dan membaca, kemudian menggunakan hati nurani dan akal sehat kita untuk mengambil yang paling baik, kemudian mengamalkannya. Jika kita tidak memfungsikan ketiga potensi tersebut (pendengaran, penglihatan, dan hati) dengan baik maka kita harus bersiap-siap untuk mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah. Alangkah kerasnya siksa Allah itu!!! Wa la yu’adzdzibu adzabahu ahad!!!

Yang dimaksud dengan hati dalam ayat diatas adalah hati untuk memahami. Jika kita tidak memfungsikan hati untuk tugas itu, maka sesungguhnya Jahannam telah siap menerkam kita. Wa laqad dzara’na lijahannama katsiran minal jinni wal insi, lahum quluubun la yafqahuna biha, ... (QS. Al-A’raf : 179).

QS. Al-Isra’ ayat 36 diatas merupakan sebagian dari ruh syariat. Jadi, konsep yang dikandungnya amatlah fundamental. Dan ayat ini sekali-kali tidak pernah bertentangan dengan ayat yang mengharuskan sami’na wa atha’na. Sebaliknya, keduanya saling mendukung. Oleh karena itu, keduanya harus diamalkan secara beriringan. Kita tidak boleh mengamalkan salah satunya dengan menyalahi yang lainnya.

Sebagaimana dijelaskan terdahulu, sami’na wa atha’na tidak selalu berarti tidak boleh bertanya mengenai perintah yang didengar. Namun, suatu ketika bisa jadi sami’na wa atha’na berarti tidak boleh bertanya. Jadi, larangan bertanya disini merupakan far’ (cabang) dari sesuatu yang lebih esensial, yang mana hal itu bersifat kondisional untuk mendukung esensi itu sendiri. Esensi itu tidak lain adalah daf’ul  mafasid awil madharrat wa jalbul mashalih al-haqiqiyyah, dunyawiyyatan wa ukhrawiyyatan (menolak kerusakan atau mudarat dan mendatangkan kemaslahatan yang haqiqi, baik dari sisi dunia maupun akhirat).

Sebagai contoh, dalam suatu peperangan, seorang jundi (prajurit) dilarang banyak bertanya atas instruksi komandannya, karena banyak bertanya dalam situasi semacam ini akan memperburuk situasi dan membahayakan keselamatan pasukan. Dalam situasi seperti itu, dibutuhkan kesigapan, ketrengginasan, dan kecepatan serta ketepatan, yang mana  itu semua tidak akan terlaksana jika para jundi banyak bertanya. Namun bukan berarti sang jundi tidak memiliki ilmu atas semua itu. Dia memiliki ilmu, namun bersifat umum, yakni dia paham bahwa banyak bertanya akan membahayakan dan merugikan,  bahkan sebaliknya, dia harus bertindak sigap dan trengginas. Jadi sang jundi sudah paham dan mendasari perilakunya itu dengan ilmu, sehingga dia sudah melaksanakan anjuran Allah seperti yang dinyatakan dalam QS. Al-Isra ayat 36 diatas, dan terbebas dari ancaman Allah jika melalaikannya. Yang demikian ini berlaku pula untuk setiap situasi yang analog, seperti situasi-situasi genting dan sebagainya.

Jika dalam situasi seperti diatas saja seorang jundi tetap harus paham sebelum berbuat (meskipun dengan pemahaman umum), maka dalam kondisi-kondisi lainnya kewajiban paham sebelum berbuat menjadi lebih jelas (Qiyas Aula). Apabila seorang qaid dalam sebuah organisasi dakwah misalnya, memberikan instruksi kepada bawahannya, maka dia mempunyai kewajiban untuk memberikan penjelasan seperlunya kepada bawahannya itu. Apabila dia tidak melakukannya, maka dia harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah kelak. Sebaliknya, seorang bawahan pun, sebagai sesama hamba Allah, berhak bahkan wajib paham seperlunya atas instruksi yang diberikan kepadanya. Ini adalah masalah pertanggungjawabannya kepada Allah, bukan sekedar masalah hubungan antara qaid dan jundi. Jadi, haruslah disadari bahwa qaid ataupun jundi, masing-masing adalah hamba Allah yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Allah. Bahkan, naudzubillah, bisa jadi seorang bawahan yang tidak bertanya seperlunya atas suatu instruksi sehingga menjadi paham, telah dijangkiti suatu perasaan sungkan, serba salah, atau bahkan takut terhadap sesama (dalam hal ini adalah qaid-nya), yang mana itu mengalahkan rasa takutnya kepada Allah Azza wa Jalla !!!

Mengenai masalah tsiqah, maka  hal itu adalah mutlak dalam interaksi sesama mukmin, apalagi jika diikat dalam suatu hubungan al-qiyadah wal jundiyah. Dalam hal ini, tsiqah merupakan bagian dari akhlaq seorang mukmin. Bahkan secara ekstrim, seorang mukmin dilarang berprasangka tidak baik kepada saudaranya selagi secara lahiriyah tidak ada burhan yang mendukungnya, sedangkan secara hakiki atau batiniyah, hal itu merupakan urusan Allah ‘Alimul Ghaibi wasy-Syahadah. Dan yang patut dicatat, tsiqah terhadap seseorang itu amat dipengaruhi oleh perilaku orang itu sendiri. Apabila seseorang bersikap amanah, maka dengan sendirinya orang lain akan tsiqah kepadanya. Demikian pula sebaliknya. Jadi, tsiqah itu responsif yang kadarnya tergantung pada tingkat amanah yang terpancar dari diri seorang mukmin.

Wallahu a’lamu bish-shawab. Wa nastaghfirullaha lima naqulu ‘alallahi ma la na’lamun. Wa la narju irdha’al basyar.