Semua orang pasti tahu bahwa penyakit terparah negeri ini adalah budaya korupsi, suap, dan kolusi. Koran Singapura The Straits Times sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Hasil survei terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se Asia Pasifik. Indonesia terkorup dengan skor 8,32 atau lebih buruk jika dibandingkan dengan Thailand (7,63). Sedangkan negara yang paling bersih dari korupsi adalah Singapura dengan skor 1,07.
Ini tentu saja sebuah ironi. Bukankah negeri ini adalah negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia? Tetapi mengapa justru menjadi negeri yang paling korup? Bukankah pula ajaran Islam melarang dengan keras dan bahkan mengutuk perbuatan korupsi, suap, dan kolusi? Apakah umat Islam di negeri ini tidak mengetahui hal itu?
“Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan batil, dan jangan pula kamu serahkan harta itu sebagai suapan kepada para penguasa supaya kamu dapat memakan sebagian harta dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 189)
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27).
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan yang diambilnya selebih dari itu, berarti suatu penipuan.” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat Imam At-Turmudzi, Rasulullah saw bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap” (HR. Tirmidzi). Imam Ahmad dan Hakim juga meriwayatkan hadits: “Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara.”
Dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud, diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah mengutus seorang pemungut zakat bernama Ibnul Atabiyah. Sang pemungut zakat tersebut ternyata menerima pemberian harta dari orang yang ia pungut zakatnya, lalu berkata kepada Rasulullah: ”Wahai Rasulullah, ini untukmu, sedangkan yang ini hadiah mereka untukku.” Mendengar hal itu, wajah Rasulullah pun memerah dan berkata dengan penuh kemarahan kepada sang pemungut zakat: ” Tidak pantas seorang petugas yang kami utus datang dan berkata, “Ini untuk Anda, sementara ini adalah hadiah yang diberikan untuk saya.” Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu memperhatikan, apakah ia akan mendapatkan hadiah atau tidak?” Kemudian Rasulullah melanjutkan: ”Demi Allah, siapa saja di antara kalian yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, niscaya nanti di hari Kiamat ia akan menghadap Allah sambil memikul apa yang diambilnya di dunia. Demi Allah, aku tidak ingin melihat salah seorang di antara kalian yang menghadap Allah dengan memikul unta, lembu atau kambing yang mengembek.” Lalu Rasulullah mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiaknya sambil bersabda: ”Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya?”
Rasulullah saw juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan di lehernya (pada hari Kiamat nanti) seberat tujuh lapis bumi.”
Mencari Solusi
Membicarakan masalah memang penting. Tetapi yang lebih penting lagi adalah mencari solusinya. Berikut ini beberapa solusi untuk menyembuhkan penyakit korupsi, suap, kolusi, dan praktek mafia di negeri ini.
Pertama, memperkuat keimanan dan budaya malu. Bagaimanapun juga, keimanan adalah benteng terbaik untuk mencegah perbuatan menipu. Karena orang yang imannya kuat takut terhadap adzab Allah dan merasa senantiasa diawasi oleh Allah meski tidak ada manusia yang melihatnya. Adapun rasa malu adalah bagian dari iman, yang tidak boleh hilang dari diri seorang mukmin. Jika orang-orang Jepang yang notabene nonmuslim saja memiliki budaya malu yang kuat, bagaimana mungkin kita di negeri ini yanbg mayoritas muslim justru ’rai gedheg’, ’muka badak’, dan tidak punya rasa malu?
Kedua, sistem penggajian yang layak. Sebagai manusia biasa, para pejabat/birokrat tentu memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, mereka harus diberi gaji dan fasilitas yang layak. Rasulullah saw. Bersabda, ”Siapa yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri, hendaklah menikah; atau tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil pelayan; atau tidak mempunyai rumah, hendaklah mengambil rumah; atau tidak mempunyai tunggangan (kendaraan), hendaknya mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu, dia curang atau pencuri!” (HR Abu Dawud). Namun ini juga bukan satu-satunya solusi, karena manusia itu cenderung untuk tidak pernah puas hingga tanah menyumpal mulutnya (yakni mati). Kita lihat sendiri, betapa banyak para pejabat yang gajinya sudah banyak tapi tetap saja melakukan korupsi.
Ketiga, pembuatan sistem, birokrasi, dan hukum yang antikorupsi dan antikolusi, misalnya hukum yang melarang segala bentuk pemberian suap ataupun hadiah (gratifikasi) kepada pejabat atau hakim. Rasulullah saw bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para pejabat adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).
Keempat, penghitungan kekayaan pejabat dan pembuktian terbalik. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad, Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
Kelima, hukuman yang berat. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis, bentuk dan jumlahnya diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini lembaga hukum dan peradilan. Penentuan hukuman terhadap koruptor harus mengacu kepada tujuan syarak (maqashid asy-syari’ah), kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga koruptor akan jera melakukan korupsi, dan hukuman itu juga bisa menjadi tindakan preventif bagi orang lain. Menurut Abdul Qodir Audah, Abdul Aziz Amir, dan Ahmad Fathi Bahnasi, ketiganya pakar Hukum Pidana Islam, hukuman takzir bisa berbentuk hukuman paling ringan, seperti menegur pelaku pidana, mencela atau mempermalukan pelaku, dan bisa juga hukuman yang terberat, seperti hukuman mati. Nah, kalau kita melihat praktek korupsi yang sudah begitu membudaya dan mengakar di negeri kita ini, sudah selayaknya diberlakukan hukuman yang paling berat agar bisa memberikan efek jera, dan bisa memutus budaya korupsi yang sudah seperti lingkaran setan ini.
Keenam, penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu. Percuma saja hukum dibuat jika hanya untuk dilanggar. Bagaimana mungkin di negeri ini pencuri seekor ayam dan bahkan satu buah semangka dihukum penjara berbulan-bulan, sementara koruptor milyaran atau bahkan triliunan rupiah bisa bebas dari jeratan hukum? Hukum baru bisa berfungsi sebagai hukum jika diterapkan secara tegas dan tanpa pandang bulu. Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia, ketahuilah bahwa kehancuran umat terdahulu adalah karena mereka tidak menegakkan hukum dengan adil. Jika yang mencuri – berperkara – dari golongan kuat dan terpandang, mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri itu orang yang tidak punya, mereka secara tegas menegakkan hukumnya. Demi Allah, jika Fatimah putri Muhammad – anak beliau sendiri – mencuri, pasti saya potong tangannya.” (HR Bukhari)
Ketujuh, teladan dari para pemimpin. Orangtua dulu pernah berpesan ,“Jangan menyapu lantai, ketika masih membersihkan atap“. Bisa jadi pesan inilah yang perlu diamalkan oleh pemerintah kita. Pesan ini yang mungkin pas dengan watak masyarakat Indonesia yang masih cenderung paternalistik, menuntut pemberantasan korupsi dimulai dari atas. Kalau pemimpinnya memiliki keberanian dan kesungguhan untuk itu, saya yakin, korupsi dapat ditekan atau dikurangi, bahkan dihilangkan. Ini juga sejalan dengan pepatah bijak yang artinya “manusia itu mengikuti agama pemimpin mereka”. Jika pemimpinnya bersih, yang dipimpin juga akan bersih atau setidaknya dapat diharapkan untuk menjadi bersih. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali ketika beliau pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara.
Kedelapan, kesadaran kolektif dan kontrol publik. Bagaimanapun juga, harus ada kesadaran kolektif seluruh rakyat negeri ini mengenai pemberantasan korupsi, karena penyakit ini sudah mewabah dengan hebat. Tidak cukup kesadaran ini hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Demikian pula, masyarakat harus secara aktif dan terus-menerus mengontrol para pejabat agar tidak melakukan korupsi. Dalam hal ini, peran media sangat penting, tanpa harus terkotori oleh berbagai manipulasi dan akrobat politik.