Dalam sejarah Islam, muncul beberapa firqah menyimpang, yang oleh Imam Al-Syathibi disebut sebagai Ahlul Bida' (para ahli bid'ah). Diantara firqah-firqah tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Qadariyah. Firqah ini meyakini bahwa Allah tidak memiliki kendali atas perbuatan manusia. Bahkan menurut mereka Allah tidak mengetahui perbuatan manusia sampai perbuatan itu terjadi. Kedua, Jabriyah. Firqah ini memiliki keyakinan yang berkebalikan dari Qadariyah. Mereka meyakini bahwa Allah memaksakan perbuatan manusia, dan manusia sama-sekali tidak memiliki kehendak atas perbuatannya. Diantara kelompok yang menganut paham Jabriyah adalah Jahmiyah, yang dinisbatkan kepada Jahm ibn Shofwan. Firqah Qadariyah dan Jabriyah ini adalah kelompok-kelompok ekstrim dan menyimpang dalam permasalahan taqdir. Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki keyakinan pertengahan yang tidak ekstrim.
Ketiga, Murjiah. Firqah ini meyakini bahwa iman itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan amal perbuatan. Iman tidak bisa berkurang atau bertambah akibat amal perbuatan. Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa iman itu berkurang dan bertambah, yakni berkurang akibat kemaksiatan dan bertambah akibat ketaatan. Firqah Murjiah bahkan meyakini bahwa dosa besar sekalipun tidak bisa mempengaruhi atau mengurangi keimanan seseorang. Dengan kata lain, iman seorang fasiq tetaplah sempurna, tidak dipengaruhi oleh kefasikannya.
Keempat, Khawarij. Firqah ini berkebalikan dengan Murjiah dalam hal kaitan antara iman dan amal perbuatan. Menurut orang-orang Khawarij, dosa besar mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Artinya, pelaku dosa besar tidak lagi dianggap sebagai orang yang beriman, dan karenanya halal untuk diperangi atau ditumpahkan darahnya. Dengan demikian, diantara ciri-ciri utama orang-orang Khawarij adalah gampang mengkafirkan orang, yakni mengkafirkan sesama muslim. Bahkan orang-orang Khawarij ini sampai mengkafirkan sebagian sahabat Nabi hanya karena tidak sesuai dengan pemahaman mereka yang dangkal. Orang-orang Khawarij juga menganjurkan pemberontakan (khuruuj dengan mengangkat senjata) kepada penguasa muslim yang zhalim.
Kelima, Mu'tazilah. Firqah ini pada mulanya juga dikaitkan dengan penyikapan terhadap masalah dosa besar. Diceritakan bahwa suatu ketika Washil ibn Atha' ditanya oleh gurunya, Al-Hasan Al-Bashri, mengenai orang yang melakukan dosa besar. Washil pun menjawab bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir. Inilah yang kemudian dikenal sebagai "al-manzilah baynal manzilatain". Lalu ia memisahkan diri dari pengajian Al-Hasan Al-Bashri dan mengembangkan sendiri kelompokknya. Maka Al-Hasan Al-Bashri pun berkata, "I'tazala 'anna Washil, Washil telah memisahkan diri dari kita." Dengan demikian penyebutan Mu'tazilah bisa jadi karena mereka telah memisahkan diri dari pengajian Al-Hasan Al-Bashri dan bisa jadi karena mereka memisahkan diri dari Murjiah dan Khawarij (dengan membentuk kelompok ketiga).
Mu'tazilah memiliki lima prinsip: 1) al-tauhid, 2) keadilan (al-'adl), 3) janji dan ancaman (al-wa'd wa al-wa'iid), 4) al-manzilah bainal manzilatain, dan 5) al-amr bil ma'ruf wa al-nahy 'anil munkar. Pertama, al-tauhid dengan makna bahwasanya Allah adalah realitas tunggal yang absolut, yang karenanya tidak layak memiliki sifat yang dilekatkan pada-Nya. Sifat Allah adalah Dzat-Nya itu sendiri. Mereka juga berpendapat bahwa Allah tidak butuh ruang dan waktu, dan tidak bisa dilihat. Kedua, al-'adl (keadilan) yang bermakna bahwa Allah wajib bersikap adil. Allah hanya menghendaki kebaikan buat hamba-Nya dan tidak pernah menghendaki keburukan buat hamba-Nya. Allah tidak menciptakan perbuatan manusia. Jika Allah menciptakan perbuatan manusia maka tidaklah adil jika Dia menyiksa hamba-Nya yang berbuat dosa karena Dia sendiri yang menciptakannya. Baru dikatakan adil jika Allah menyiksa hamba-Nya yang berbuat dosa karena kemauannya sendiri. Dari sisi ini, Mu'tazilah menganut paham qadariyah dalam hal taqdir. Ketiga, al-wa'd wa al-wa'iid (janji dan ancaman) yang bermakna bahwa wajib bagi Allah untuk menunaikan janji-Nya (berupa ganjaran kebaikan) kepada orang-orang yang taat dan wajib bagi-Nya untuk menyiksa orang-orang yang berbuat dosa. Keempat, al-manzilah bainal manzilatain, sebagaimana sudah dijelaskan diatas. Kelima, al-amr bil ma'ruf wa al-nahy 'anil munkar, dalam pengertian bahwa amar makruf nahi munkar wajib dilakukan, mulai dari himbauan sampai dengan cara kekerasan jika diperlukan. Lebih jauh lagi, Mu'tazilah menganggap bahwa akal manusia sanggup membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dari sinilah Mu'tazilah dikenal sebagai kelompok yang sangat mengagung-agungkan fungsi akal.
Murjiah, Khawarij, dan Mu'tazilah semuanya memiliki sikap yang menyimpang dalam menyikapi pelaku dosa besar. Murjiah dan Khawarij memiliki keyakinan yang ekstrim mengenai pelaku dosa besar, sementara Mu'tazilah memiliki sikap yang aneh yang belum pernah dikenal dalam aqidah Islam mengenai pelaku dosa besar, karena dalam aqidah Islam hanya ada dua jenis manusia secara umum: mukmin dan kafir, meskipun mukmin sendiri bertingkat-tingkat.
Keenam, Syiah. Firqah ini sendiri terpecah menjadi beberapa kelompok. Spektrum dari firqah ini beragam, mulai dari sekadar memandang bahwa Ali lebih Utama daripada sahabat-sahabat yang lainnya namun tetap mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, sampai pada yang meyakini bahwa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidaklah sah karena semestinya diberikan kepada Ali (disebut sebagai Syiah Rafidhah), bahkan ada yang sampai berkeyakinan bahwa Ali adalah Nabi atau Tuhan (disebut sebagai Syiah Ghulat). Firqah Syiah yang sampai saat ini paling banyak dianut adalah Syiah Dua Belas Imam. Disebut demikian karena mereka meyakini bahwa sepeninggal Nabi saw imamah (kepemimpinan politik) adalah hak dari dua belas imam, yang mana sekarang ini adalah periode ghaibnya imam yang sedang ditunggu-tunggu.
Ketujuh, Musyabbihah dan Mujassimah. Mereka adalah orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluq dalam sifat-sifat-Nya. Kedelapan, Mu'aththilah. Ini adalah kebalikan dari Musyabbihah dan Mujassimah. Mereka menafikan sifat-sifat Allah. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Mu'tazilah adalah Mu'aththilah karena mereka mengingkari adanya sifat bagi Allah.