Halaqah secara bahasa bermakna lingkaran. Istilah ini biasa dipakai untuk menyebut majelis-majelis kajian di Masjid Nabi. Sekarang, apa yang dilakukan di Masjid Nabi itu berusaha dihidupkan lagi. Forum-forum kajian keislaman dalam bentuk kelompok-kelompok kecil pun diadakan, dan disebut dengan halaqah. Disamping meniru majelis-majelis kajian di Masjid Nabi, forum-forum ini juga diilhami oleh forum pembinaan intensif yang dahulu dilakukan oleh Nabi saw di rumah sahabat Arqam bin Abil Arqam. Dengan forum intensif inilah Nabi saw telah berhasil mencetak para As-Sabiqunal Awwalun, yang kemudian senantiasa mendampingi Nabi saw dalam dakwah.
Halaqah bisa didefinisikan sebagai sebuah wahana tarbiyah (pembinaan), berupa kelompok kecil yang terdiri dari murabbi (pembina) dan sejumlah mutarabbi (binaan), dengan manhaj (kurikulum) yang jelas, dan diselenggarakan melalui berbagai macam sarana (perangkat) tarbiyah. Dengan demikian, elemen-elemen halaqah adalah (1) murabbi, (2) mutarabbi, (3) manhaj tarbiyah, dan (4) sarana (perangkat) tarbiyah. Dalam sebuah halaqah, murabbi dan mutarabbi bekerjasama untuk melaksanakan manhaj yang ada melalui sarana-sarana (perangkat-perangkat) yang sesuai.
Adapun sarana (perangkat) tarbiyah yang dimaksud antara lain adalah (1) liqa’ (pertemuan rutin pekanan), (2) mabit, (3) rihlah, (4) mukhayyam, dan (5) daurah/pelatihan/seminar/kajian/workshop.
LIQA’ adalah pertemuan rutin yang dilakukan setiap pekan. Liqa’ dilakukan sebagai sarana untuk penyampaian materi-materi yang sudah ditetapkan dalam manhaj tarbiyah. Namun liqa’ bukan hanya sebuah majelis ilmu. Bahkan tidak benar jika liqa’ HANYA difungsikan sebagai sebuah majelis ilmu. Lebih daripada majelis ilmu, liqa’ adalah sarana untuk membangun dan memelihara spirit (semangat) beribadah dan berdakwah. Karena itulah, dalam liqa’ dilakukan evaluasi terhadap amal ibadah yang telah dilakukan selama sepekan terakhir. Dalam liqa’ juga disampaikan informasi-informasi penting terkait dengan aktivitas dakwah. Juga dilakukan diskusi, evaluasi, dan koordinasi mengenai aktivitas-aktivitas dakwah yang dilakukan.
MABIT adalah kegiatan bermalam dalam rangka untuk meningkatkan kualitas ruhiyah, dan pada saat yang sama juga untuk membangun ikatan hati dan soliditas antar sesama anggota halaqah. Untuk mencapai tujuan ini, agenda-agenda yang dilaksanakan selama mabit antara lain qiyamul lail (sholat tahajud), membaca dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an, berdzikir, muhasabah, dan mendengarkan taujih. Dengan kebersamaan di malam yang penuh kekhusyukan dan kebersahajaan, diharapkan ikatan hati dan soliditas antar anggota halaqah juga semakin menguat.
RIHLAH adalah kegiatan wisata dengan tujuan untuk tadabbur alam, penyegaran, dan sekaligus menguatkan keakraban dan soliditas antar sesama anggota halaqah. Tadabbur alam artinya merenungi kebesaran Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Adapun penyegaran dilakukan untuk mengatasi kepenatan dan kejenuhan yang timbul akibat kesibukan aktivitas dakwah.
MUKHAYYAM dari segi bahasa berarti berkemah. Mukhayyam adalah kegiatan berkemah atau semacamnya dengan tujuan untuk melatih ketahanan fisik dan juga mental. Kegiatan ini dilakukan untuk mempersiapkan anggota halaqah pada situasi-situasi sulit yang menuntut ketahanan fisik dan mental. Kegiatan rutin yang mendukung mukhayyam adalah olahraga rutin. Mukhayyam hanya diadakan setahun sekali, sedangkan olahraga rutin harus dilakukan dengan basis harian atau pekanan.
DAURAH adalah kegiatan pelatihan, seminar, kajian, atau workshop yang dimaksudkan untuk meng-upgrade wawasan mengenai suatu masalah atau mengasah keterampilan tertentu, yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas dakwah.
KUNCI SUKSES HALAQAH setidak-tidaknya ada tiga. Pertama, pengorbanan – baik itu pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, uang, dan sebagainya. Kedua, manajemen yang baik. Dan ketiga, seni pengelolaan yang indah. Ya, mengelola halaqah membutuhkan seni tersendiri, yang bisa dilatih dengan jam terbang yang semakin bertambah. Menghadapi mutarabbi yang berbeda, misalnya, butuh seni pendekatan yang berbeda.
Disamping itu ada beberapa hal yang mesti diperhatikan agar sebuah halaqah bisa sukses mencapai tujuan-tujuannya. Berikut ini beberapa hal tersebut.
Pertama, jadikan halaqah sebagai rumah yang nyaman dan forum yang senantiasa dirindukan. Ini sangat penting, dan bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Jika rasa nyaman dan dirindukan ini sudah ada pada setiap anggota halaqah, niscaya mereka akan dengan senang hati terus mengikuti kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan. Setiap pekan mereka akan menunggu-nunggu kapan jadwal liqa’, dimana mereka akan bertemu satu sama lain dalam suasana yang dirindukan.
Kedua, berikan variasi dalam halaqah. Jangan sampai halaqah terkesan monoton. Sisipkan kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang bisa “memecah kejenuhan yang mungkin timbul”, seperti rihlah, makan bersama, olahraga bersama, dan sebagainya. Termasuk dalam kegiatan liqa’ itu sendiri. Seorang murabbi hendaknya bisa men-set liqa’ sedemikian rupa sehingga tidak membosankan, misalnya dengan menciptakan komunikasi yang lebih interaktif dan partisipatif.
Ketiga, hargai dan berdayakan mutarabbi. Seorang murabbi harus menyadari bahwa masing-masing mutarabbi tentunya memiliki potensi dan kemampuan tertentu. Ini harus berusaha digali dan dieksplor oleh sang murabbi. Dengan cara ini, mutarabbi akan merasa lebih dihargai. Dan pada saat yang sama juga akan mengakselerasi peningkatan kualitas dan kapasitas mutarabbi itu sendiri.
Keempat, siapkan diri sebelum mengisi liqa’, baik persiapan tenaga ataupun materi. Ini penting bagi murabbi. Jangan sampai murabbi datang ke liqa’ dalam keadaan suntuk dan mengantuk, atau dalam keadaan belum siap menyampaikan materi.
Kelima, jangan mengalokasikan “waktu sisa” untuk liqa’. Hendaknya liqa’ benar-benar diagendakan dan dijadwalkan, sehingga mendapat alokasi waktu yang layak dan memadahi. Jangan sampai para peserta liqa’ hanya mengalokasikan waktu dan energi tersisa yang mereka miliki. Sebab jika hanya waktu dan energi tersisa yang diberikan, jangan heran jika selama liqa’ para peserta liqa’ tinggal lemas dan mengantuknya, tidak lagi memiliki cukup perhatian dan konsentrasi.
Keenam, berkomitmen untuk datang liqa’ tepat waktu. Salah satu masalah yang sering muncul dalam liqa’ adalah terlambat dimulai karena para pesertanya belum datang, atau datangnya satu persatu sehingga baru bisa dimulai ketika para pesertanya sudah mulai lengkap. Masalah klasik ini harus segera dihilangkan dengan membuat sebuah komitmen bersama untuk hadir tepat waktu. Bisa pula disepakati suatu bentuk ‘iqab (hukuman, sanksi) bagi anggota yang terlambat. Untuk menciptakan kebiasaan hadir tepat waktu dalam liqa’ ini, hendaknya murabbi menjadi pelopor dan teladannya. Jangan sampai kebiasaan hadir terlambat justru disebabkan oleh murabbi itu sendiri!
Ketujuh, hargai dan atur waktu dengan baik selama liqa’. Sebisa mungkin agenda-agenda liqa’ bisa dilaksanakan dengan efisien. Jangan sampai terlalu banyak guyonan dan obrolan-obrolan yang tidak perlu sehingga liqa’ menjadi bertele-tele dan berlangsung terlalu lama padahal semestinya bisa berlangsung lebih singkat, terutama jika liqa’ dilaksanakan pada malam hari. Jangan sampai para peserta liqa’ bangun tidur kesiangan dan terlambat sholat shubuh gara-gara liqa’ diakhiri terlalu larut malam. Tapi bukan berarti selama liqa’ tidak boleh ada guyonan dan humor. Guyonan dan humor tentu saja diperlukan untuk membuat suasana tidak tegang dan membosankan.
Kedelapan, ciptakan suasana “anti ngantuk” selama liqa’ berlangsung. Seorang murabbi harus pandai-pandai memimpin liqa’ sehingga tidak ada peserta liqa’ yang mengantuk. Komunikasi interaktif dan partisipatif, materi dan cara penyampaian yang menarik, juga sedikit guyonan dan humor bisa jadi sanggup menahan para peserta liqa’ dari “rasa kantuk”.
Kesembilan, lakukan mutaba’ah yang ketat terhadap kehadiran dan keaktifan mutarabbi, semenjak dini. Ini penting karena ketidakhadiran dan ketidakaktifan itu adiktif, menciptakan kecanduan. Sebelum kecanduan yang negatif ini terjadi dan berujung pada putusnya sang mutarabbi dari halaqah, hendaknya sang murabbi melakukan pencegahan semenjak dini, yakni dengan mutaba’ah yang ketat semenjak dini. Ketat tidak sama keras. Kalau keras bisa jadi mutarabbi justru akan lari. Lakukan mutabaah dengan pendekatan yang empatik. Bisa jadi mutarabbi tidak datang liqa’ karena sedang punya masalah. Sang murabbi harus bertanya apa masalahnya, dan sebisa mungkin membantu pemecahannya. Bisa pula mutarabbi tidak datang liqa’ karena sedang dihinggapi penyakit. Dalam kondisi seperti ini, jangan memarahinya. Tetapi berilah ia semangat dan kesadaran.
Inilah beberapa hal yang perlu diperhatikan agar halaqah bisa benar-benar optimal dalam meningkatkan kualitas para anggota halaqah.