Makna Dakwah. Kata “dakwah” dari segi bahasa berarti “memanggil, menyeru, atau mengajak”. Dalam ilmu fiqih dakwah, dakwah memiliki pengertian sebagai berikut. Pertama, da’watun naas ilallah, mengajak manusia kepada Allah. Dakwah tidak mengajak manusia kepada sang dai, tetapi semata-mata kepada Allah. Bersama-sama sang dai yang berperan sebagai pembimbing dan fasilitator, manusia diajak menuju kepada Allah. Jika pengertian ini dipahami, dakwah tidak akan memunculkan pengkultusan individu.
Kedua, bil hikmah wal mau’izhatil hasanah, dilakukan dengan penuh hikmah dan dengan pelajaran yang baik. Dakwah tidak boleh dilakukan dengan cara yang kasar atau dengan vandalisme. Tidak pula dengan cara mengolok-olok ataupun vonis sana vonis sini. Nahnu du'aat laa qudhaat "Kita adalah para dai, bukan tukang vonis".
Ketiga, hatta yakfuruu bith thaghut wa yu’minuu billah, sampai manusia yang diajak itu mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah. Dakwah mengajak manusia kepada tauhid, mengingkari berbagai bentuk thaghut. Tidak ada penghambaan kecuali hanya kepada Allah. Tidak ada penghambaan kepada berhala. Tidak ada penghambaan kepada manusia yang lain. Tidak juga penghambaan kepada hawa nafsu atau ideologi-ideologi sesat.
Keempat, liyakhrujuu min zhulumaatil jaahiliyah ilaa nuuril islam, agar manusia keluar dari gelapnya kejahiliyahan menuju pada terang benderangnya Islam. Dakwah adalah gerakan pencerahan, yang akan membimbing manusia meninggalkan kejahiliyahan kehidupan dalam berbagai bentuknya, untuk menikmati indahnya ajaran Islam, yang tidak lain merupakan fitrah dari manusia itu sendiri.
Unsur-unsur Dakwah. Unsur-unsur dakwah terdapat dalam QS Yusuf: 108. Unsur yang pertama adalah “Qul hadzihi sabili (Katakanlah, inilah jalanku).” Demikianlah dakwah harus menjadi jalan hidup, misi hidup. Perintah “katakanlah” disini bermakna deklarasi, yang menyiratkan suatu kebanggaan. Bangga karena meniti jalan yang diridhai dan dicintai oleh Allah.
Mengapa dakwah harus dijadikan jalan hidup dan misi hidup? Tidak lain karena kita membutuhkan dakwah dan bukan dakwah yang membutuhkan kita. Karena itu, kita tidak ingin tertinggal gerbong kereta dakwah.
Unsur yang kedua adalah “Ad’uu ilalLah (Aku mengajak kepada Allah).” Ini artinya dakwah hanyalah mengajak kepada Allah, bukan kepada yang lain atau untuk tujuan yang lain. Tidak pula mengajak kepada pengkultusan individu sang dai.
Unsur yang ketiga adalah “Alaa bashirah (Berdasarkan hujjah atau argumentasi yang jelas).” Demikianlah dakwah harus dibangun diatas ilmu yang benar, pemahaman yang benar mengenai perkara yang kita dakwahkan yaitu ajaran Islam. Dakwah harus disampaikan dalam bentuk al-balagh al-mubin “penjelasan yang betul-betul jelas”, yang tidak menyisakan ruang bagi pikiran waras manusia untuk menolaknya.
Kemudian unsur yang keempat adalah “Ana wa manit taba’ani (Aku dan orang-orang yang bersamaku).” Ini artinya bahwa dakwah harus dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah), tidak sendiri-sendiri. Dakwah adalah al-haq, yang hanya akan menjadi kuat tatkala diusung secara berjamaah, dan akan menjadi lemah ketika dilakukan sendiri-sendiri. Bagaiman mungkin kita mendakwahkan kebenaran sendiri-sendiri, sementara para pejuang kebatilan bergandengan tangan untuk mempertahankan kebatilan mereka?
Rukun-rukun Dakwah. Rukun-rukun dakwah ada empat: dai (penyeru, yang mengajak), mad’u (yang diseru, yang diajak), materi (risalah) yang didakwahkan, dan sarana dakwah. Materi (risalah) yang didakwahkan tidak lain adalah ajaran Islam. Sedangkan sarana dakwah bisa bervariasi, dan sedapat mungkin memanfaatkan kemajuan peradaban manusia.
Siapa yang wajib berdakwah? Jawabnya adalah setiap muslim. Dakwah bukanlah monopoli para kiyai, para ustadz, dan para muballigh saja. Rasulullah saw bersabda, “Ballighuu ‘anni walau aayah (Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat).” Ini artinya apapun kebenaran yang sudah kita ketahui hendaknya kita sampaikan dan kita dakwahkan kepada orang lain. Jika kita sudah tahu alif, kita sampaikan alif itu kepada orang lain. Jika kita sudah tahu alif, ba’ dan ta’ maka kita sampaikan alif, ba’ dan ta’ itu kepada orang lain. Yang tidak mungkin dan tidak boleh kita lakukan adalah mendakwahkan alif, ba’ dan ta’ padahal kita baru mengetahui alif saja.
Berdakwah tidaklah harus menunggu diri kita sempurna, karena tidak mungkin ada manusia yang sempurna. Disamping itu, berdakwah pada dasarnya juga membina diri kita sendiri. Ketika kita berdakwah, pada saat yang sama kita juga menasehati diri kita sendiri. Dengan demikian, dengan berdakwah kita justru akan semakin terpacu untuk meningkatkan kualitas diri.
Tahapan-tahapan Dakwah. Dakwah hendaknya dilakukan dengan bertahap (mutadarrij). Jangan sampai seorang dai sekonyong-konyong menginginkan mad’u-nya tiba-tiba menjadi seorang muharrik yang handal. Pertama-tama, tahapan dakwah yang hendaknya dilakukan adalah at-tabligh wat ta’lim (menyampaikan dan mengajarkan), yang tujuannya adalah untuk menghilangkan jahaalah (kebodohan) dan meraih ma’rifah (pengetahuan). Jika tahapan ini berhasil dilakukan maka dilakukan tahapan berikutnya, yaitu at-takwiin (pembentukan), yang tujuannya adalah untuk mengarahkan ma’rifah (pengetahuan) yang dimiliki mad’u agar berubah menjadi fikrah (pemikiran) yang menghunjam dalam hati dan pikiran. Fikrah inilah yang akhirnya diharapkan akan membuat seseorang nantinya mau ber-harakah (bergerak) dalam rangka memperjuangkan al-haq dan membasmi al-bathil.
Apakah manajemen dakwah itu perlu? Jawabannya adalah ya, bahkan harus. Dalam fiqih dakwah dan pengubahan (fiqh al-da’wah wa al-taghyir), kita tidak boleh hanya asal berdakwah dan asal berupaya mengubah, tetapi juga memperhatikan apa yang akan terjadi sesudahnya: maslahat ataukah madharat. Jangan sampai kita ingin menghilangkan suatu madharat tetapi malah menimbulkan suatu madharat baru yang lebih besar. Dan untuk itulah, manajemen dakwah harus dilakukan.
Aktivitas dakwah tidak cukup membutuhkan kesholehan dan keikhlasan para aktivisnya, tetapi juga dibutuhkan kemampuan pendukung berupa manajemen. Kebaikan yang tidak terorganisir, akan dapat dikalahkan oleh kemunkaran yang terorganisir dengan baik”, demikian sayyidina Ali ra. berujar.
Disamping itu, Islam memerintahkan kita untuk senantiasa ihsan dan itqan. Tidak asal bekerja, tetapi bekerja dengan baik, efektif, dan efisien. Tidak hanya sama-sama bekerja, tetapi harus bekerjasama. Jangan sampai dakwah dilakukan seperti sekumpulan orang yang sedang tarik tambang. Semua orang mengeluarkan segenap kemampuan untuk menarik, tetapi hasilnya nihil karena satu sama lain saling menafikan dan meniadakan.