ImageDari segi bahasa, riya’ masih satu akar dengan kata ru’yah yang berarti penglihatan. Riya’ artinya melakukan suatu amalan karena ingin dilihat oleh manusia. Orang yang riya’ ingin agar orang lain mengetahui amalannya kemudian merasa takjub dan memberikan pujian kepadanya. Disinilah kita paham bahwa riya’ adalah lawan dari ikhlas, karena riya’ berarti pamrih kepada manusia, sedangkan ikhlas hanya ‘pamrih’ kepada Allah Ta’ala.

Para ulama sendiri menyebut riya’ sebagai syirik tersembunyi (al-syirk al-khafiyy). Riya’ dikategorikan sebagai syirik karena orang yang riya’ berarti telah menyekutukan tujuan ibadahnya. Ia tidak hanya menjadikan Allah sebagai tujuan, tetapi telah menjadi manusia sebagai sekutu bagi Allah. Allah sendiri sangat tidak suka dengan orang-orang yang riya’. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman: “Ana aghnasy syuraka’ ‘anis syirk. Faman ‘amila ‘amalan asyraka fiihi ghairii fahuwa lilladzii asyraka, wa ana minhu barii’ (Aku adalah Dzat yang sama sekali tidak butuh sekutu. Maka barangsiapa melakukan suatu amal perbuatan dengan menyekutukan Aku, maka amal perbuatan itu adalah untuk sekutunya, dan Aku berlepas darinya).” (HR Muslim, Ibnu Majah, Ahmad) Alangkah ruginya kita jika berbuat riya’ karena Allah akan berlepas diri dari kita dan tidak akan mau menerima amalan kita.

Dalam pandangan para ulama akhlaq, riya’ itu bertingkat-tingkat. Dilihat dari untuk siapa seseorang beramal, ada 4 derajat riya’. Pertama, sama sekali tidak mengharapkan pahala dari Allah. Murni karena pamrih kepada manusia. Ini adalah derajat riya’ yang terburuk. Kedua, mengharapkan pahala dari Allah, tetapi sangat kecil. Yang kecilnya harapan mendapatkan pahala itu seandainya berdiri sendiri tidak akan mampu membuatnya beramal. Sementara besarnya pamrih kepada manusia seandainya berdiri sendiri sudah mampu membuatnya beramal. Ketiga, pamrih kepada Allahnya seimbang dengan pamrihnya kepada manusia. Seandainya masing-masing pamrih berdiri sendiri, tidak akan mampu mendorong pada amal. Tetapi ketika kedua jenis pamrih tersebut bertemu, timbullah dorongan untuk beramal. Dan derajat keempat, pamrih kepada manusia hanya menjadi penguat dan menjadikan lebih giat dan lebih rajin dalam beramal. Seandainya pamrih kepada manusianya tidak ada, ia tetap akan beramal. Dan ini adalah derajat riya’ yang paling ringan.

Orang yang riya’ menjadi lebih giat dan bersemangat dalam beramal ketika dilihat oleh manusia. Padahal semestinya kita selalu giat dan bersemangat dalam beramal, baik ada manusia yang melihat ataupun tidak. Tidak lain karena tujuan kita hanyalah Allah semata. Kita sudah merasa cukup dilihat oleh Allah saja. Karena itu, ikhlas adalah keadaanmu sama giatnya dalam beribadah, baik ketika sendirian ataupun ketika dilihat manusia.

Jangan pula kita meninggalkan amal karena takut kepada riya’. Jangan pula kita kurangi giatnya amal karena takut kepada riya’. Para ulama mengatakan: “Beramal karena manusia adalah syirik. Sedangkan meninggalkan amal karena manusia adalah riya”.