ImagePengertian Ikhlas

Dari sisi lughawi (bahasa), kata ikhlas berasal dari akar kata kh-l-sh yang artinya murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Laban khaalish dalam bahasa arab berarti susu murni yang tidak bercampur dengan apapun. Tidak bercampur dengan air, tidak bercampur dengan gula, tidak pula bercampur dengan yang lainnya. Dengan demikian ikhlas berarti memurnikan sesuatu. Dalam konteks kajian tauhid dan akhlaq, tentu saja yang dimaksud adalah memurnikan penghambaan dan ketaatan hanya kepada Allah semata.

Adapun secara terminologis (isthilahi), ikhlas berarti mengerjakan amal perbuatan lillahi ta’ala, semata-mata karena Allah, tidak karena yang lainnya. Yang diharapkan hanyalah ridha dan balasan dari Allah. Sebagian ulama yang lain mendefinisikan ikhlas sebagai “an laa tathluba ‘alaa ‘amalika ayya syuhuud” (engkau melakukan amal perbuatan tidak karena ingin dilihat oleh seseorang). Ini sesuai dengan firman Allah SWT di penggal terakhir QS Al-Fath: 28: “Wa kafaa billahi syahiidan” (Dan cukuplah Allah semata sebagai saksi – atas segala amal perbuatan).

Mengapa kita ikhlas?

Setidak-tidaknya ada tujuh alasan mengapa kita harus bersikap ikhlas dalam melakukan setiap amal perbuatan. Alasan pertama, karena ikhlas adalah perintah Allah. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Bayyinah: 5: “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan semata-mata untuk-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” Allah SWT juga berfirman dalam QS Al-An’am: 162-163: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”

Alasan kedua, ikhlas merupakan manifestasi tauhid. Karena itu para ulama menyebut riya’ sebagai syirik yang tersembunyi (al-syirk al-khafiyy). Karena orang yang riya’ berarti telah menyekutukan Allah dalam niatnya, menyekutukan Allah dalam peruntukan ibadahnya.

Alasan ketiga, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal. Sebagaimana diketahui, syarat diterimanya amal ada dua: ikhlas dan benar. Jika salah satu saja dari kedua syarat ini tidak terpenuhi, suatu amalan tidak akan diterima oleh Allah. Dalam QS Al-Kahfi: 110 Allah SWT mengisyaratkan dua syarat tersebut: “Maka barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal dengan amalan yang benar (shalih) dan ia tidak menyekutukan ibadah kepada Tuhannya dengan sesuatupun.”

Perlu juga diketahui bahwa yang membatalkan pahala amal kita ada dua. Pertama, pembatal pahala semua amal, yaitu kekafiran atau kemusyrikan. Ini terjadi jika kita tidak menyembah Tuhan (atheis), atau menyembah tuhan selain Allah (kafir), atau menyembah tuhan yang lain bersama-sama Allah (musyrik). Namun ketika seorang atheis, kafir atau musyrik kembali pada iman dan tauhid, maka pahalanya akan kembali, kesalahannya dihapus, bahkan kesalahannya akan diubah menjadi kebaikan.

Kedua, pembatal amal tertentu. Ini terjadi jika kita tidak ikhlas dalam melakukan suatu amal tertentu. Inipun ada dua keadaan. Keadaan pertama adalah tidak ikhlas dalam suatu amal secara keseluruhan (ashlul ‘amal), misalnya orang yang sholat karena riya’, maka sholatnya secara keseluruhan tidak berpahala. Keadaan kedua adalah tidak ikhlas dalam aushaful ‘amal (sifat-sifat amal), misalnya seseorang yang sholat karena Allah, tetapi memperpanjang rakaat/ruku’/sujud karena manusia, maka panjangnya rakaat/ruku’/sujud itu saja yang tidak berpahala.

Alasan keempat, keikhlasan menentukan nilai amal kita. Innamal a’malu bin niyyat, amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Wa innama likullimri-in ma nawa, setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Hadits tentang keikhlasan ini ditaruh sebagai hadits nomor 1 dari 42 hadits pilihan tentang pokok-pokok agama dalam Hadits Arba’in Nawawiyah. Ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan. Sabab wurud dari hadits ini adalah karena adanya seorang laki-laki yang berhijrah karena ingin menikahi wanita muhajirin bernama Ummu Qays, bukan berhijrah karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Keikhlasan memang akan menentukan nilai amal kita. Orang yang beramal demi akhirat tidak sama dengan orang yang beramal demi dunia. Jika seseorang beramal demi dunia, maka ia tidak akan mendapatkan bagian akhirat (pahala). Ia hanya mungkin mendapatkan dunia, atau bahkan mungkin tidak mendapatkannya. Tetapi jika ia beramal untuk akhirat, maka ia akan mendapatkan bagian akhirat (pahala), dan Allah juga Maha Adil dan Maha Pemurah sehingga juga akan memberinya bagian dunia. Sehingga ia mendapatkan dunia dan akhirat sekaligus.

Demikian pula, niat memiliki kedudukan yang amat tinggi. Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi saw, jika seseorang mempunyai niat untuk beramal baik niscaya ia sudah dinilai 1 kebaikan, meski belum melaksanakan amal baik tersebut. Jika ia betul-betul melaksanakan niatnya, maka pahalanya akan dilipatgandakan minimal 10 kali lipat. Namun niat buruk belum dinilai 1 keburukan sampai benar-benar dilaksanakan. Dan jika dilaksanakan hanya dinilai 1 keburukan saja.

Nilai amal baik kita amat tergantung pada niat kita.  Amal baik tanpa niat benar, meski banyak, tidak diterima. Tetapi amal baik dengan niat benar, meski sedikit, bernilai besar di sisi Allah. Bahkan amal-amal mubah bisa bernilai kebaikan (ibadah) hanya karena niatnya. Pahala amal mubah bisa berbeda karena perbedaan niatnya. Karena itu mari kita biasakan untuk menata niat ketika melakukan perkara-perkara yang mubah sekalipun. Ikhlas bukan hanya dalam ibadah mahdhah, tetapi juga dalam setiap perkara yang kita lakukan dalam hidup ini (Qul inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin).

Karena sedemikian pentingnya niat, bahkan ada orang-orang yang tanpa beramal bisa mendapatkan pahala kebaikan sebagaimana orang yang beramal hanya karena niatnya. Misalnya, sebagai ditegaskan dalam hadits Nabi saw, dalam kasus orang miskin yang ingin bersedekah. Atau dalam kasus seseorang yang berniat dengan tulus untuk mencapai syahid. Rasulullah saw bersabda: Man sa-ala Allaha asy-syahadah bishidqin ballaghahullahu manazilasy syuhada’ wa in maata ‘alaa firaasyihi (Barangsiapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan tulus dan sungguh-sungguh, niscaya Allah akan menyampaikannya pada derajat orang-orang yang mati syahid meskipun ia mati diatas ranjang tempat tidurnya) - HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi.

Alasan kelima, keikhlasan akan menyelamatkan kita dari godaan syetan. Ini sesuai dengan pengakuan Iblis Sang Penghulu Syetan itu sendiri, yang diabadikan dalam QS: 79-83: “Iblis berkata: Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan". Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)". Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.

Bahkan Yusuf as yang sedang digoda oleh seorang wanita cantik, kaya, dan terpandang pun, hanya bisa selamat karena ia memiliki keikhlasan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah SWT dalam QS Yusuf: 24: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.”

Alasan keenam, tidak adanya keikhlasan akan mencelakakan kita di akhirat nanti. Yang lebih celaka lagi adalah jika kita sewaktu beramal di dunia ini tidak menyadari bahwa kita tidak ikhlas. Karena itulah Rasulullah saw memberi tuntunan agar kita setiap pagi dan setiap petang berdoa sebagai berikut: “Allahumma inni a’udzu bika min an usyrika bika syaian a’lamuh, wa astaghfiruka lima laa a’lamuh (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu sedangkan aku mengetahui. Dan aku mohon ampun kepada-Mu dari yang tidak aku ketahui).”

Perhatikan pula sabda Rasulullah saw tentang tiga jenis manusia yang akan pertama kali dilempar ke neraka, padahal tiga orang itu adalah seorang mujahid, seorang 'alim dan pandai Al-Qur'an, dan seorang yang gemar berinfaq. Ketiganya celaka dan dilempar ke neraka hanya karena satu hal: mereka tidak ikhlas.

Dan alasan ketujuh, keikhlasan akan mendatangkan kekuatan. Ini sesuai dengan kisah penebang pohon yang disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya. Dalam hadits tersebut dikisahkan tentang seorang dai yang hendak menebang pohon yang dijadikan berhala oleh penduduk sebuah kampung. Sang dai hendak menebang pohon itu karena Allah. Ketika Iblis berusaha menghadang sang dai dan keduanya berkelahi, kalahlah Iblis. Namun Iblis sesudah itu melakukan tipu daya. Ia membujuk sang dai agar tidak usah lagi berusaha menebang pohon, dengan kompensasi bahwa Iblis akan memberi sang dai sejumlah uang setiap pagi, yang diletakkan dibawah bantal sang dai. Namun setelah beberapa lama uang itu diberikan, suatu saat Iblis tidak lagi memberikan uang. Marahlah sang dai, dan diambillah kapaknya. Ia berangkat dengan marah untuk menebang kembali pohon tersebut. Iblis pun kembali menghadangnya, kedua kembali berkelahi, namun kali ini sang dai yang dikalahkan oleh Iblis. Sang dai kalah karena kali ini tidak ikhlas karena Allah, tetapi karena sejumlah uang. Ia marah karena Iblis tidak lagi memberinya uang.