Ayat-ayat Al-Qur'an dan sabda-sabda Rasulullah saw cukup banyak yang menegaskan keutamaan orang-orang yang berilmu, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai 'aalim jika tunggal atau 'ulama jika jamak. Namun barangkali kita kurang merenungi siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan orang-orang yang berilmu dalam Al-Qur'an dan hadits. Seringkali kita terjebak dalam beberapa fenomena bahasa yang membuat kita kurang akurat dalam memahami suatu kata atau istilah. Termasuk ketika memahami kata ilmu dan ulama. Diantara fenomena bahasa tersebut adalah 1) penyempitan atau perluasan makna, 2) perubahan makna akibat perubahan zaman, 3) perubahan makna akibat perubahan konteks, dan 4) makna istilahi yang berbeda dengan makna lughawi serta kapan kita mesti menggunakan makna istilahi dan makna lughawi.

Ilmu artinya pengetahuan. Dengan demikian 'aalim (jamak: 'ulama) artinya orang yang mengetahui. Kalau kita mencermati penggunaan kata ini dalam nash (Al-Qur'an dan hadts Nabi saw) maka kita mendapati dua penggunaan. Pertama, pengetahuan yang sifatnya sekadar kognitif, dan sering digunakan dalam konteks pengetahuan yang tidak mengantarkan pada amal, misalnya orang yang mengetahui tapi tidak mengamalkan apa yang dia ketahui. Kedua, pengetahuan yang hakiki, yang sering digunakan dalam konteks pengetahuan yang mengantarkan pemiliknya pada rasa takut kepada Allah. Misalnya dalam firman Allah, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu." Demikian pula dalam hadits-hadits Nabi yang menyatakan keutamaan orang yang berilmu. Ini mirip seperti penggunaan kata iman. Terkadang ia digunakan dengan makna "keyakinan" semata, namun terkadang ia juga digunakan dengan makna "keyakinan yang disertai dengan amal perbuatan". Demikian juga dengan penggunaan kata Islam. Terkadang ia digunakan dengan makna "amal lahiriyah" semata, namun terkadang juga digunakan dengan makna "iman dan Islam" sekaligus.

Mari sekarang kita fokus pada penggunaan kedua dari kata ilmu, yakni ilmu yang membawa kepada amal. Siapakah orang yang berilmu (yang membawa kepada amal) yang dimaksud dalam nash? Ekuivalen dengan itu, ilmu seperti apakah yang dimaksudkan dalam nash?

Jika kita merujuk pada QS Faathir, ilmu adalah yang membuat seseorang menjadi takut kepada Allah. Dengan kata lain, orang yang berilmu adalah orang yang pengetahuannya (atau lebih tepatnya pemahamannya) membuatnya takut kepada Allah. Jika kita merujuk pada makna ini, tentunya ilmu yang paling utama adalah ilmu yang membuat seseorang mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya. Mengapa demikian? Karena seseorang hanya akan takut kepada Allah jika ia mengenal-Nya dengan baik, atau dengan kata lain jika ia mengenal Allah dengan sifat-sifat yang benar. Ia mengenal kemahaagungan Allah, kemahakuasaan Allah, kemahasempurnaan Allah, kemahadahsyatan siksa Allah, dan sifat-sifat Allah yang lainnya. 

Ilmu apakah yang bisa mengenalkan seseorang kepada Allah? Jawabannya, Allah bisa dikenal hanya melalui ayat-ayat-Nya yang meliputi ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah. Ayat-ayat qauliyah adalah kitab suci, sedangkan ayat-ayat kauniyah adalah alam semesta beserta isinya, termasuk diri manusia itu sendiri. Ayat-ayat qauliyah dipahami melalui tadabbur, sedangkan ayat-ayat kauniyah dipahami melalui tafakkur. Kedua jenis ilmu ini harus sama-sama dipelajari; yang satu di-tadabburi dan yang satu lagi di-tafakkuri. Mengapa kedua-duanya? Mengapa bukan hanya salah satu saja?

Allah adalah Dzat yang ghaib, sementara sarana kita untuk menyerap ilmu bersifat terbatas. Karena itu Allah mengenalkan Dzat-Nya melalui firman-firman-Nya (yakni ayat-ayat qauliyah), yakni Al-Qur'an, yang kemudian dijelaskan lagi oleh rasul-Nya, melalui sabda-sabdanya. Sementara itu, Al-Qur'an sendiri memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungi alam semesta beserta isinya, dengan maksud untuk meneguhkan dan memberikan bukti atas sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam Al-Qur'an. Karena itu, ketika Al-Qur'an berbicara tentang sifat-Nya sebagai Pencipta langit dan bumi atau tentang sifat keesaan-Nya atau sifat kemahakuasaan-Nya, maka ia memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungi alam semesta dan isinya dengan tujuan untuk meneguhkan dan memberikan bukti atas sifat-sifat Allah tersebut.

Jadi jelas bahwa kita wajib mempelajari ayat-ayat qauliyah dan kauniyah sekaligus. Masalahnya, seberapa banyak dan seberapa dalam kita mesti mempelajari ayat-ayat qauliyah, yakni Al-Qur'an yang kemudian dijelaskan oleh sabda-sabda Rasul-Nya, dan ayat-ayat kauniyah? Usia kita terbatas, waktu kita terbatas. Apa saja yang mesti kita pelajari dari ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah dengan keterbatasan waktu kita? Disinilah perlu ada prioritas. 

Sebelum bicara tentang prioritas apa saja yang mesti kita pelajari, hendaknya kita pahami bahwa klasifikasi ilmu itu datang belakangan. Ilmu tentang ayat-ayat qauliyah yang hari ini kita sebut sebagai ilmu agama belum banyak dikenal pada masa Rasulullah saw sebagai beragam klasifikasi ilmu yang dikenal pada masa-masa sesudahnya seperti ilmu aqidah, ulumul Qur'an, ilmu tafsir, ulumul hadits, 'ilmul rijaalil hadits, ushul fiqih, fiqih, ilmu akhlaq, dan sebagainya. Namun esensi dari ilmu-ilmu yang beragam itu tentu saja sudah ada pada masa Rasulullah saw, karena memang semua cabang ilmu tersebut bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits. Klasifikasi dan takhassus ilmu-ilmu agama dibuat oleh manusia untuk mempermudah pengembangan, inventarisasi, dan pengajaran ilmu. Ini berlaku tidak hanya dalam ilmu-ilmu agama namun juga semua jenis ilmu. Misalnya ilmu tentang ayat-ayat kauniyah melahirkan berbagai cabang ilmu seperti matematika, fisika, biologi, kimia, astronomi, astrofisika, ilmu sejarah, sosiologi, ilmu ekonomi, geografi, geologi, engineering, dan sebagainya.

Kembali pada prioritas ilmu yang mesti kita pelajari. Kita bisa membagi ilmu berdasarkan hukum mempelajarinya. Dari sini, kita bisa mengetahui prioritas.

Dari sisi hukum mempelajarinya, pertama-tama ada ilmu yang sifatnya fardhu 'aini, yakni wajib dipelajari oleh setiap orang. Karena sifatnya fardhu 'aini, maka ini adalah prioritas pertama bagi setiap orang. Ilmu-ilmu ini meliputi:

1) Ilmu mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits. Ini tidak berarti harus hafal Al-Qur'an atau Hadits. Yang dituntut hanyalah memahami kandungannya yang bersifat wajib untuk diketahui mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya.

2) Pemahaman atau kesadaran atau penghayatan akan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna dan bebas dari segala kekurangan yang didapatkan dari perenungan (tafakkur) terhadap ayat-ayat kauniyah. Ini juga tidak berarti harus menjadi seorang ilmuwan. Bahkan seseorang yang sangat sederhana dan hidup di sebuah desa terpencil pun bisa mendapatkan ilmu ini, karena memang setiap manusia telah Allah karuniai akal pikiran untuk mendapatkan ilmu ini.

3) Ilmu mengenai prinsip-prinsip keimanan, meliputi antara lain ilmu tentang kerasulan Muhammad saw sebagai nabi bagi seluruh umat manusia, ilmu tentang adanya para malaikat, ilmu tentang kebenaran Al-Qur'an yang dibawa oleh Rasulullah saw, ilmu tentang kebenaran Hari Akhir dan Hari Pembalasan, dan ilmu tentang adanya taqdir Allah.

Ilmu pertama dan ketiga diatas biasa kita kenal sebagai ilmu aqidah. Sumbernya adalah wahyu yang dibawa oleh seorang rasul Allah. Yang dimaksud dengan ilmu aqidah disini adalah ushulul 'aqidah (prinsip-prinsip aqidah), yang tidak mencakup berbagai furu' dan detail-detail bahasan ilmu aqidah yang bisa njlimet dan melebar kemana-mana. Ushulul 'aqidah ini perlu didapatkan oleh seseorang melalui dakwah, yakni mendengar atau mendapatkannya dari sumber eksternal, yang bisa jadi adalah orangtua kita, guru kita, lingkungan kita, bacaan kita, tontonan kita, berita yang kita dengar, dan sebagainya. Adapun ilmu yang kedua diatas pada dasarnya adalah tabiat akal pikiran kita yang senantiasa ingin tahu. Dengan hati yang tulus dan  dibimbing oleh ilmu yang pertama dan ketiga diatas insyaallah akal pikiran kita akan mencapai kesadaran akan sifat-sifat Allah Yang Maha Sempurna dan bebas dari segala kekurangan.

4) Ilmu tentang perintah-perintah yang bersifat wajib dan larangan-larangan yang bersifat haram. Ini mencakup perintah-perintah dan larangan-larangan dalam berbagai cabang ilmu agama termasuk aqidah, fiqih, dan akhlaq. Misalnya ilmu tentang wajibnya berbakti kepada orangtua, menjaga hubungan kekerabatan, berbuat baik kepada sesama, berbuat baik kepada makhluq Allah yang lain, menolong yang lemah dan membutuhkan, dan larangan berbuat syirik, membunuh, merampok, mencuri, berzina, berbohong, dan sebagainya. 

5) Ilmu mengenai ibadah-ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Ini meliputi ilmu bagaimana melakukan sholat dengan benar, berpuasa Ramadhan dengan benar, berzakat dengan benar, berhaji dengan benar bagi yang mampu menunaikannya, ilmu tentang yang wajib dan yang haram dalam hubungan pernikahan, ilmu tentang yang wajib dan yang haram dalam muamalah. Ilmu ini biasa kita kenal sebagai ilmu fiqih.

Orang yang memiliki pemahaman yang baik mengenai semua ilmu diatas sudah layak disebut sebagai orang yang berilmu seperti yang disebutkan dalam QS Faathir. Karena ayat dalam surat tersebut bersifat "hashr" dengan adanya lafazh "innamaa (hanyalah)" maka bisa kita pahami bahwa hanya orang-orang yang memahami dengan baik semua ilmu yang sifatnya fardhu 'aini sebagaimana disebutkan diatas sajalah yang takut kepada Allah. 

Ilmu-ilmu yang bersifat fardhu 'aini sebagaimana disebutkan diatas adalah prioritas pertama bagi setiap orang untuk mempelajarinya. Jangan sampai ada orang yang melewatkan salah satu dari ilmu-ilmu tersebut. Ilmu pertama sampai ketiga diatas adalah landasan pokok yang bersumber dari wahyu dan didengar atau didapatkan melalui dakwah dan dari tafakkur yang dilakukan oleh akal pikiran dengan bimbingan wahyu. Sedangkan ilmu keempat dan kelima bisa didapatkan dari wahyu dan didengar atau didapatkan melalui dakwah. Disinilah kita bisa memahami mengapa dakwah wajib dilakukan dan dakwah wajib sampai ke telinga semua orang. 

Pengertian lain dari ulama adalah ulul albab. Mereka memiliki dua ciri. Pertama, senantiasa mengingat Allah, sebagaimana firman-Nya: "yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring." Kedua, suka merenungi (men-tafakkuri) alam semesta sehingga mencapai kesadaran akan kemahaagungan dan kemahakuasaan Allah dan membuatnya takut kepada-Nya.

Kembali pada prioritas ilmu yang mesti dipelajari. Setelah ilmu-ilmu yang bersifat fardhu 'aini, ada juga ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifaa-i. Ini adalah ilmu-ilmu yang umat wajib menguasainya dalam rangka menegakkan syariat Allah, meninggikan kalimat Allah, dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam, umat manusia, bumi, dan alam semesta. Ilmu ini mencakup beragam ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kauni.

Pengetahuan mengenai ibadah-ibadah yang sunnah, pengetahuan mengenai furu' dalam aqidah, furu' dalam fiqih, furu' dalam ilmu akhlaq, dan penguasaan terhadap berbagai cabang ilmu-ilmu agama adalah fardhu kifaa-i. Harus ada sebagian dari umat yang tekun mempelajarinya. Ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Taubah yang memerintahkan agar ada segolongan dari umat yang mendalami (tafaqquh) agama untuk kemudian mengajarkannya kepada umat. Ilmu-ilmu kauni yang menjadi fardhu kifaa-i juga harus ditekuni oleh sebagian umat. Demikian pula sebagian diantara umat harus ada yang menekuni berbagai profesi dan cabang-cabang ilmu kauni yang diperlukan. 

Setelah ilmu yang sifatnya fardhu 'aini dan fardhu kifaa-i, ada juga ilmu yang mempelajarinya bersifat mustahab. Ini adalah ilmu-ilmu yang bisa dipelajari oleh seseorang setelah ia menuntut ilmu yang fardhu 'aini bagi dirinya dan fardhu kifaa-i bagi umat (jika ia mendapatkan amanah untuk mempelajari dan menguasai salah satu atau sebagian dari ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifaa-i). Ilmu-ilmu yang mustahab ini juga mencakup beragam ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kauni. Ini adalah cabang ilmu apa saja dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kauni yang bermanfaat ('ilm naafi'), baik bermanfaat bagi diri sendiri dan atau orang banyak. Kemustahaban dari berbagai ilmu yang bisa dipelajari inipun bisa bertingkat-tingkat, tergantung dari seberapa pentingnya, seberapa bermanfaatnya, dan sebagainya.

Dengan demikian, untuk mengetahui prioritas ilmu yang hendaknya dipelajari, seseorang mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

1) Apakah saya sudah mempelajari dan memahami dengan baik ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu 'aini?

2) Apakah saya mendapatkan amanah untuk mempelajari dan menguasai salah satu atau sebagian dari ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifaa-i? Amanah disini tidak harus ditetapkan oleh pihak lain atas diri seseorang. Seseorang bisa mendapatkan amanah ini atas pilihan dan kehendaknya sendiri. Ukurannya adalah adanya kebutuhan akan penguasaan terhadap ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifaa-i.

3) Jika saya masih memiliki waktu dan saya memiliki kemampuan, saya hendaknya mempelajari juga ilmu-ilmu yang sifatnya mustahab. Dan hendaknya saya memprioritaskan mempelajari ilmu-ilmu ini berdasarkan tingkat kemustahabannya bagi saya.

Disamping ilmu-ilmu yang bermanfaat yang hukumnya bisa fardhu 'aini, fardhu kifaa-i, dan mustahab, ada juga ilmu-ilmu yang dilarang mempelajarinya. Hukum mempelajari ilmu ini bisa makruh dan bisa pula haram. Ilmu yang haram dipelajari misalnya ilmu sihir kecuali jika diperlukan oleh seorang hakim dan semacamnya. Ilmu yang makruh dipelajari adalah ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat tapi tidak sampai haram hukumnya, misalnya ilmu bermain dadu dan semacamnya, kecuali jika menjadi jelas manfaatnya seperti mempelajari dadu dalam rangka mempelajari ilmu statistika. Kemakruhan disini muncul jika mempelajarinya hanya akan membuang-buang waktu dan melalaikan seseorang dari hal-hal yang lebih penting.

Diantara ilmu-ilmu yang dilarang dan ilmu-ilmu yang diperintahkan mempelajarinya, tentu saja ada ilmu-ilmu yang sifatnya mubah. Contohnya adalah ilmu tentang suatu permainan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, hal-hal yang sifatnya mubah bisa bernilai ibadah jika membawa kepada ketaatan dan kemaslahatan. 

Penyempitan makna

Dari luasnya cakupan ilmu-ilmu yang bermanfaat dengan berbagai macam hukumnya sebagaimana diterangkan diatas, kita sekarang paham bahwa yang dimaksud dengan ulama bukanlah hanya orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu agama namun juga yang memiliki ilmu-ilmu kauni. Apalagi jika istilah 'aalim atau 'ulama kita kembalikan kepada makna aslinya, maka cakupannya memang luas. Dalam bahasa Arab sendiri, kata 'aalim atau 'ulama biasa dipakai untuk mereka yang menguasai baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu kauni. Disinilah terkadang kita terjebak pada penyempitan makna dimana ulama disempitkan hanya pada orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu tentang agama saja. Meskipun, dalam konteks tertentu, istilah ulama mengarah pada mereka yang menguasai ilmu-ilmu agama. Misalnya dalam ungkapan "al-'ulama waratsatul anbiya', ulama adalah pewaris para Nabi." Tapi ini adalah penggunaan khusus.

Penyempitan makna juga bisa terjadi dalam lingkup ilmu-ilmu agama itu sendiri. Misalnya penggunaan kata "fiqih" dalam hadits: "Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan atasnya, maka Dia akan memahamkannya dalam urusan agama." Kata "fiqih" yang digunakan dalam hadits ini tidak bisa disempitkan hanya menjadi pemahaman terhadap ilmu fiqih sebagaimana yang biasa kita kenal, namun harus dimaknai sebagai pemahaman terhadap ilmu-ilmu agama secara umum. 

Ulama dalam pengertian umumnya dengan demikian mencakup mereka yang menguasai baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu kauni. Baik menguasai salah satu ataupun keduanya, para ulama wajib memahami ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu 'aini sebagaimana dibahas diatas. Jangankan ulama, setiap orang pun wajib memahami ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu 'aini tersebut. Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang ulama, maka penguasaan ilmu yang kita maksud adalah penguasaan terhadap ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifaa-i dan mustahab.

Dikotomi ilmu

Setelah memahami bahwa baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu kauni harus sama-sama dipelajari, kita menjadi paham bahwa dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kauni tidak semestinya terjadi. Ilmu pada dasarnya adalah satu, semuanya bersumber dari Allah dan bisa kita pahami melalui ayat-ayat-Nya yang qauliyah maupun yang kauniyah. Karena itu semestinya kita menganggap penting semua ilmu, dengan memperhatikan prioritas beragam ilmu yang ada sebagaimana sudah kita bahas diatas. Kalau kita melihat sejarah Islam, terutama di masa-masa keemasannya, para ulama kaum muslimin biasa mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kauni sekaligus. Contohnya Ibn Rusyd yang sangat termasyhur. Beliau adalah pakar ilmu aqidah dan fiqih sekaligus pakar fisika, kedokteran, dan filsafat. Contoh lainnya adalah Ibnu Sina yang telah menghafal Al-Qur'an pada usia sepuluh tahun dan kemudian menjadi pakar kedokteran dan filsafat sekaligus sastrawan.