Dalam kitab Ihya 'Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya bermacam-macam. Pertama adalah menuntut ilmu yang hukumnya fardhu 'ain. Inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah saw: "Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim." Apa saja ilmu yang fardhu 'ain untuk dipelajari? Beliau mengawali dengan perbedaan pendapat diantara para ahli ilmu mengenai ilmu yang wajib dipelajari. Intinya, masing-masing ahli ilmu mengedepankan disiplin ilmunya sebagai yang wajib untuk dipelajari. Ya ini bisa dimaklumi dari sisi bahwa biasanya hanya para ahli dalam suatu ilmu yang bisa merasakan pentingnya disiplin ilmu yang mereka geluti. Juga barangkali karena kebanggaan mereka dengan disiplin ilmu yang menjadi keahlian mereka.
Ilmu-ilmu yang fardhu 'ain
Imam Al-Ghazali kemudian menengahi dengan menjelaskan pandangan yang lebih tepat. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang adalah "ilmu muamalah", bukan "ilmu mukasyafah". Ilmu muamalah yang wajib dipelajari oleh setiap orang mencakup i'tiqad (aqidah, keyakinan), perbuatan, dan larangan. Dalam i'tiqad, misalnya, ketika seseorang yang berakal menjadi baligh maka ia harus mengetahui ilmu tentang dua kalimat syahadat beserta makna dasarnya. Yang penting ia sudah meyakini dua kalimat syahadat tersebut dan tidak lagi ragu dengannya. Dan ini bisa didapatkan dengan cara taqlid maupun simaa' (mendengar dari orang-orang). Ini namanya ilmu muamalah. Adapun mengetahui dalil-dalil dan makna-makna yang lebih dalam dari dua kalimat syahadat itu merupakan ilmu mukasyafah. Lebih jauh lagi, jika terlintas dalam hati seseorang hal-hal yang membuatnya ragu tentang dua kalimat syahadat, maka ketika itu menjadi wajib baginya memiliki ilmu yang bisa menghilangkan keraguannya tersebut.
Dalam hal perbuatan, Imam Al-Ghazali memberikan contoh tentang wajibnya bagi seseorang yang sudah mukallaf mengetahui ilmu tentang thaharah dan cara melakukan sholat wajib ketika telah masuk waktu sholat. Dan yang dimaksud dengan cara sholat disini hanyalah sebatas yang wajib saja, yang membuat sholat seseorang menjadi sah, yakni pengetahuan tentang syarat-syarat, rukun-rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Dan yang dimaksud dengan tahu disini tidak harus bisa menghafalkannya secara urut sebagaimana yang biasa disebutkan dalam pelajaran fiqih. Yang penting tahu. Ini ilmu muamalah. Adapun ilmu mukasyafah dalam hal ini adalah mengetahui sunnah-sunnahnya, dalil-dalilnya, serta rahasia-rahasia dari ibadah thaharah dan sholat. Demikian pula ketika masuk bulan Ramadhan maka seseorang yang sudah mukallaf harus memiliki ilmu tentang puasa Ramadhan yang meliputi ilmu tentang wajibnya dan bagaimana caranya agar puasanya sah. Ini ilmu muamalah. Adapun ilmu mukasyafah mengenai puasa adalah sunnah-sunnahnya, dalil-dalilnya, serta rahasia-rahasia di balik puasa. Contoh lainnya adalah ketika seseorang memiliki harta yang mencapai nishab dan haul, maka ketika itu dia harus memiliki ilmu tentang zakat dari harta yang ia miliki. Jika hartanya adalah unta, maka ia hanya wajib memiliki ilmu tentang zakat unta saja. Ini ilmu muamalah dalam hal ini. Sedangkan ilmu mukasyafah-nya adalah dalil-dalilnya serta rahasia-rahasia dari ibadah zakat.
Dalam hal larangan, ini juga tergantung kondisi seseorang. Misalnya, ilmu tentang perkataan-perkataan yang dilarang tidak wajib diketahui oleh orang yang bisu. Demikian pula ilmu tentang hal-hal yang haram untuk dilihat tidak wajib diketahui oleh orang yang buta. Jika pada suatu tempat ada kemungkinan seseorang bisa mendapatkan khamr dan meminumnya, maka menjadi wajib memiliki ilmu tentang haramnya khamr. Termasuk kedalam ilmu yang wajib dipelajari mengenai larangan adalah ilmu tentang penyakit-penyakit hati yang haram hukumnya ada dalam hati seseorang, seperti riya', sombong, dan dengki (hasad).
Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah
Dalam pembahasan mengenai ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, Imam Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua: syar'i dan ghayr syar'i. Ilmu syar'i adalah ilmu yang hanya bisa didapatkan melalui para Nabi. Adapun ilmu ghayr syar'i bisa didapatkan melalui eksperimen dan penelitian seperti ilmu hitung, ilmu alam, dan ilmu kedokteran, atau melalui simaa' seperti ilmu bahasa. Ilmu ghayr syar'i sendiri bisa dibagi menjadi: 1) mahmud (terpuji), 2) madzmum (tercela), dan 3) mubah (boleh).
Mempelajari ilmu syar'i adalah terpuji. Ilmu-ilmu syar'i beliau bagi menjadi empat: 1) ushul (pokok), 2) furu' (cabang), 3) muqaddimat (pengantar), dan 4) mutammimat (penyempurna). Ilmu syar'i yang pokok mencakup empat hal, yaitu ilmu mengenai: 1) Al-Qur'an, 2) Al-Sunnah, 3) Ijma', dan 4) Atsar sahabat. Adapun ilmu syar'i yang sifatnya furu' adalah rincian dari keempat ilmu pokok yang telah disebutkan tadi. Ilmu furu' ini beliau bagi menjadi dua yaitu: 1) ilmu fiqih, yang dalam pandangan beliau sifatnya adalah ilmu untuk maslahat dunia, dan 2) ilmu untuk maslahat akhirat, yakni ilmu tentang hati yang senantiasa menyertai lahiriyah dari ibadah dan juga 'aadaat (aktivitas sehari-hari). Adapun ilmu muqaddimat adalah ilmu-ilmu alat seperti ilmu nahwu dan sharaf dan ilmu tentang khath (tulisan Arab). Adapun ilmu mutammimat bagi ilmu Al-Qur'an misalnya ilmu qiraat, ilmu tafsir, dan ilmu ushul fiqih yang mempelajari bagaimana ber-istidlal dari lafazh-lafazh Al-Qur'an. Ilmu mutammimat bagi ilmu tentang As-Sunnah misalnya ilmu tentang rijaalul hadits dan ilmu tentang 'adaalatur ruwat. Semua ilmu-ilmu syar'i ini adalah fardhu kifayah.
Mengenai ilmu-ilmu ghayr syar'i, beliau menjelaskan bahwa ilmu kedokteran, misalnya, adalah fardhu kifayah karena hanya dengan itu nyawa orang-orang yang sakit bisa diselamatkan. Ilmu hitung adalah fardhu kifayah karena hanya dengan itu ketentuan waris bisa ditunaikan dengan benar. Ilmu bagaimana cara bertani, ilmu tentang cara membuat kain dan menjahit pakaian, ilmu bagaimana mengatur negara, dan semacamnya juga wajib kifayah dengan alasan serupa. Adapun mempelajari secara mendalam disiplin-disiplin ilmu ghayr syar'i yang hukumnya fardhu kifayah hukumnya adalah fadhilah (mustahab).
Ilmu-ilmu yang tercela
Menurut Al-Ghazali, ilmu-ilmu hukumnya tercela dikarenakan salah satu dari sebab-sebab berikut:
- Karena ilmu tersebut menyebabkan madharat bagi pemiliknya atau orang lain. Contohnya adalah ilmu sihir dan astrologi.
- Karena ilmu tersebut tidak memberikan faidah dan hanya membuang-buang waktu saja. Beliau menjelaskan bahwa ada jenis-jenis ilmu yang jika orang tidak mempelajari dan mengetahuinya justru agamanya akan lebih baik. Beliau mencontohkan dari jenis ini adalah pembahasan mengenai masalah-masalah ilahiyah dalam ilmu kalam dan filsafat.
Sebetulnya satu benang merah bisa ditarik untuk menilai suatu ilmu sebagai tercela, yakni ketika ilmu tersebut bertentangan dengan agama dan syariat.
Kritik terhadap fuqaha' dan mutakallimun/falasifah; motif penamaan kitab
Imam Al-Ghazali memberikan kritik yang cukup pedas kepada para fuqaha' di zamannya. Sepertinya ilmu fiqih, disamping juga ilmu kalam dan filsafat, ketika itu berkembang pesat dan mendominasi perkembangan keilmuan di zaman beliau. Kritik beliau terhadap para fuqaha' dan ilmu fiqih adalah karena orientasinya yang lahiriyah semata-mata dan karenanya tidak banyak membawa maslahat untuk akhirat. Memang disiplin ilmu fiqih hanya berbicara tentang aspek lahiriyah dari ibadah saja. Kalau ada seorang ahli fiqih yang berbicara mengenai aspek akhirat dari ibadah dan muamalah, maka menurut beliau itu artinya dia sudah keluar dari zona ilmu fiqih itu sendiri seperti halnya ahli fiqih yang juga membahas masalah kedokteran. Beliau tidak melarang hal tersebut, bahkan tentu saja menganjurkan. Namun beliau ingin menegaskan bahwa itu sudah diluar definisi ilmu fiqih.
Beliau memberikan contoh, ketika harta Abu Yusuf hendak mencapai genapnya haul, beliau menghadiahkan sebagian hartanya kepada istrinya sehingga ia tidak lagi wajib zakat. Maka ketika hal ini disampaikan kepada Abu Hanifah, komentar Abu Hanifah adalah: "Memang seperti itulah pemahaman dia." Imam Al-Ghazali mengkritik perilaku semacam ini karena tidak memberikan masalahat di akhirat, meskipun benar dari sisi ilmu fiqih.
Gambaran lain yang beliau kemukakan mengenai keterbatasan ilmu fiqih adalah dalam membahas masalah menjauhi larangan, yakni masalah halal dan haram, yang beliau sebut sebagai wara'. Beliau menjelaskan bahwa wara' itu ada empat tingkatan:
- Wara' terhadap hal-hal yang jelas-jelas haram secara fiqih.
- Wara' orang-orang shalih, yakni dengan menghindari yang syubhat karena takut jatuh kepada yang haram.
- Wara' orang-orang yang bertaqwa, yakni dengan menghindari yang sebetulnya halal karena khawatir bisa membawa atau mengantarkan kepada yang haram.
- Wara' para shiddiqin, yakni dengan memalingkan diri dari apapun selain Allah karena khawatir hal-hal tersebut bisa membuang waktu dan umurnya dari mendekatkan diri kepada Allah.
Lalu beliau menegaskan bahwa pembahasan fiqih hanyalah pada wara' jenis yang pertama saja.
Sepertinya kritik ini beliau kemukakan karena dominannya orientasi para ahli fiqih ketika itu pada aspek-aspek lahiriyah dari ibadah saja. Di sisi lain, beliau memuji para sahabat yang bisa menggabungkan antara kedekatan kepada Allah (al-fadhl 'inda Allah) dan popularitas (al-syuhrah 'inda al-naas). Beliau mencontohkan Abu Bakar yang populer karena menggantikan kepemimpinan Rasulullah saw, sebagai khalifah, namun juga memiliki kelembutan dan ketaqwaan yang membuatnya dekat kepada Allah. Demikian pula Umar ibn Al-Khattab yang populer karena kepiawaian politiknya namun juga memiliki kedalaman dan keluasan ilmu yang luar biasa dan juga perilaku zuhud yang sangat ketat. Kemudian beliau memuji para imam madzhab fiqih yang lima: 1) Imam Abu Hanifah, 2) Imam Malik, 3) Imam Al-Syafi'i, 4) Imam Ahmad ibn Hanbal, dan 5) Imam Sufyan Al-Tsauri. Beliau menggambarkan bagaimana mereka adalah sosok-sosok yang tidak hanya 'alim dalam ilmu fiqih namun juga sosok-sosok yang sangat wara'.
Disamping kritik terhadap ilmu fiqih dan para fuqaha, beliau juga memberikan kritik pedas terhadap para ahli ilmu kalam (mutakallimun) dan para filosof (falasifah). Beliau menyifati kedua ilmu tersebut sebagai ilmu yang "kering" dan sulit membawa seseorang pada hakikat agama. Menurut beliau, ilmu kalam dan ilmu filsafat hanya bermanfaat ketika tujuannya adalah untuk menghalau dan membentengi diri dari pemahaman-pemahaman dan pemikiran-pemikiran sesat, yang hanya efektif dihalau dengan ilmu kalam dan filsafat. Beliau mengibaratkan ilmu kalam dan filsafat seperti hirasah (penjagaan diri) yang dilakukan oleh jamaah haji dari jauh, yang mana mereka memerlukan hirasah tersebut karena banyaknya perampok di jalur perjalanan menuju Makkah. Seandainya keadaan aman, maka hirasah sudah tidak lagi diperlukan.
Sebetulnya perspektif Al-Ghazali ini bukanlah satu-satunya perspektif terhadap ilmu kalam dan ilmu filsafat yang pernah ada dalam sejarah keilmuan dan peradaban Islam. Bahkan pada zaman Al-Ghazali sendiri, perspektif yang berbeda/berseberangan juga sama-sama mapannya. Ini bisa diwakili oleh perdebatan antara beliau dan Ibnu Rusyd. Beliau menulis kitab "Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof)" sedangkan Ibnu Rusyd menimpali kitab tersebut dengan menulis kitab "Tahafut al-Tahafut (Kerancuan Kitab Al-Tahafut)".
Imam Al-Ghazali juga memberikan kritik pada ilmu-ilmu alam. Sepertinya kritik beliau terhadap ilmu-ilmu alam pada zaman beliau adalah karena ilmu-ilmu alam pada zaman beliau banyak bercampur dengan unsur-unsur filsafat dan spekulasi yang bertentangan dengan agama. Jadi jangan dibayangkan bahwa ilmu-ilmu alam pada zaman beliau adalah seperti ilmu-ilmu alam pada zaman sekarang, yang sumbernya adalah observasi dan eksperimen semata.
Dari kritik beliau terhadap ilmu fiqih dan ilmu kalam yang sangat berkembang di zaman beliau itulah, beliau mengarang kitab dan menamainya Ihya' Ulumiddin, seolah-olah untuk memberikan isyarat bahwa ilmu tentang hati dan aspek batin dari ibadah dan 'aadaat adalah inti dan tujuan akhir dari ilmu-ilmu agama. Dengan menghidupkan ilmu-ilmu ini artinya menghidupkan sebenar-benarnya ilmu-ilmu agama, yang barangkali beliau anggap hampir mati karena dominannya orientasi lahiriyah semata atau perdebatan ilmiah semata dari ilmu-ilmu agama yang banyak berkembang di masyarakat.
Jenis-jenis ilmu akhirat (thariiq ilaa al-aakhirah)
Imam Al-Ghazali membagi ilmu akhirat menjadi dua: ilmu muamalah dan ilmu mukasyafah, sebagaimana beliau membagi ilmu tentang i'tiqad, perbuatan, dan larangan menjadi dua bagian tersebut. Ilmu muamalah dari ilmu akhirat adalah berkenaan dengan munjiyaat, yakni amal-amal hati yang menyelamatkan, seperti ikhlas, sabar, tawakkal, dan sebagainya, dan juga muhlikaat, yakni penyakit-penyakit hati yang merusak, seperti riya', ujub, sombong, bakhil, dan sebagainya. Adapun ilmu mukasyafah dari ilmu akhirat adalah ilmu batin, yang merupakan tujuan akhir dari semua ilmu. Beliau mengibaratkan ilmu ini seperti cahaya dalam hati yang muncul ketika hati telah betul-betul bersih dari berbagai penyakit, dan dari kebersihan hati ini akan tersingkap berbagai ilmu hakikat (al-ma'rifah al-haqiqiyah).