Hadits ke-8 ini termasuk hadits yang pelik, dan tidak boleh dipahami secara serampangan. Jika dipahami secara serampangan, akan bisa menimbulkan pemahaman yang ekstrim, yang bertentangan dengan yang dikehendaki oleh Islam itu sendiri. Ada beberapa hal yang bisa dipahami dari hadits ke-8 ini. Pertama, hadits ini harus dipahami bersama-sama dengan hadits-hadits shahih lainnya. Beberapa hadits shahih yang lain menyatakan dengan tegas bahwa darah dan nyawa seseorang terjaga, artinya tidak boleh diperangi, hanya dengan syarat dua kalimat syahadat SAJA, tanpa mempersyaratkan sholat dan zakat. Kedua, lafazh hadits "umirtu an uqaatilan-naasa" menunjukkan bahwa obyek pembahasan adalah manusia banyak (al-naas), bukan individu-individu. Artinya, perintahnya adalah memerangi manusia banyak, bukan memerangi dan membunuhi individu-individu. Dan lafazh yang dipakai disini adalah "an uqaatila" yang berasal dari mashdar "qitaal" (yang bisa diterjemahkan sebagai "berperang"), bukan "an aqtula" yang berasal dari mashdar "qatl" (yang bisa diterjemahkan sebagai "membunuh"). Istilah qitaal hanya dipakai jika sasarannya adalah suatu kaum, bukan individu-individu tertentu. Berbeda dengan "qatl" yang bisa dipakai dengan sasaran individu. Jadi, yang dimaksud disini adalah bahwa Rasulullah saw diperintahkan untuk memerangi suatu kaum sampai mereka memiliki kebebasan untuk bersyahadat dan melaksanakan rukun-rukun Islam (yang dalam hadits ini diwakili oleh sholat dan zakat). Artinya, Rasulullah tidak disuruh oleh Allah untuk MEMAKSA SETIAP orang dalam suatu kaum untuk masuk Islam, karena ini bertentangan dengan firman Allah: "Laa ikraaha fid diin, Tidak ada paksaan dalam agama."
Dari nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah serta sirah Nabawiyah, kita bisa menyimpulkan bahwa jihad hanya diperintahkan karena dua alasan. Pertama, untuk membela diri atau karena dizhalimi. Inilah yang disebut sebagai jihad difaa'iy. Kedua, untuk menyingkirkan atau menghilangkan penghalang dakwah. Artinya, jihad hanya disyariatkan jika tidak ada kebebasan bagi suatu kaum untuk memeluk Islam dan melaksanakan rukun-rukun-Nya, atau pesan-pesan dakwah Islam dihalang-halangi untuk bisa sampai kepada manusia. Jadi, tidak ada jihad dengan maksud untuk memaksa setiap orang harus masuk Islam. Dalam konteks inilah hadits ini bisa dipahami. Yakni, Rasulullah saw diperintahkan untuk memerangi suatu kaum sampai mereka sebagai suatu kaum mau bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Tapi tidak harus dipaksakan bahwa setiap orang harus bersyahadat. Jika kebebasan bersyahadat ada, maka sebagian atau semua orang dalam kaum tersebut pasti ada yang bersyahadat karena "qad tabayya al-rusyd min al-ghayy, telah jelas antara yang benar dan yang batil" dan ada kebebasan untuk mengikuti kebenaran. Jadi kuncinya adalah: 1) pesan-pesan dakwah Islam tidak dihalang-halangi, 2) orang-orang diberikan kebebasan untuk memeluk Islam, dan 3) orang-orang diberikan kebebasan untuk menjalankan rukun-rukun dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Wallahu a'lam bish-shawab.
Hal ketiga yang bisa dipahami dari hadits ke-8 ini, sirah Nabawiyah, dan sejarah para sahabat, adalah bahwa sekelompok orang Islam, sebagai gerombolan dan bukan individu, yang meninggalkan sholat dan zakat karena meyakini bahwa itu tidak diwajibkan, bukan karena malas atau bakhil, maka mesti diperangi setelah terlebih dahulu dipersuasi dan diberi pelajaran (istitabah). Ini misalnya dicontohkan oleh Abu Bakar di masa kekhalifahannya yang memerangi sekelompok orang Islam yang menolak membayar zakat karena meyakini tidak lagi wajib atas mereka. Tapi perlu dicatat disini bahwa mereka diperangi karena ada kepemimpinan Islam yang memiliki syaukah (kekuatan) yang berhak untuk memerangi. Jika kepemimpinan Islam yang memiliki syaukah tidak ada, tentu saja perintah memerangi tidak bisa dilakukan karena tidak ada institusi sah yang berhak untuk melakukan hal tersebut. Dalam keadaan tidak ada kepemimpinan Islam yang memiliki syaukah, jika tindakan memerangi gerombolan yang mengingkari sholat dan zakat ini dilakukan oleh individu-individu, maka yang terjadi justru adalah fitnah, yang tentu saja tidak selaras dengan tujuan Islam itu sendiri. Yang demikian ini karena tujuan memerangi disini bukanlah perang atau membunuh itu sendiri, namun tujuannya adalah agar rukun-rukun Islam kembali diyakini wajibnya dan ditegakkan. Jika tidak ada syaukah yang "diyakini" bisa menegakkan kembali rukun-rukun Islam tersebut, maka tujuan tidak bisa dicapai dan yang terjadi justru adalah fitnah. Wallahu a'lam bish-shawab.
Adapun khusus untuk orang Islam yang meninggalkan sholat karena meyakini bahwa sholat tidak wajib maka ini masuk dalam masalah hukum riddah, dimana penguasa pemerintahan Islam mesti memberikan dia pelajaran (istitabah), dan jika tetap membandel maka dia dihukumi murtad (kafir setelah Islam) karena mengingkari al-ma'luum minad diin bidh dharurah, dan karenanya penguasa pemerintahan Islam bisa menerapkan hukum riddah kepadanya.
Pernyataan "illa bihaqqil Islam" diantaranya diterangkan oleh hadits ke-14. Dalam hadits ke-14, diterangkan bahwa "haqqul Islam" itu ada pada tiga perkara, yang artinya seorang muslim boleh dibunuh (oleh penguasa pemerintahan Islam) karena tiga asalasan. Pertama, karena seseorang telah membunuh orang lain secara sengaja tanpa alasan yang haq menurut syariat. Hukum ini disebut sebagai hokum qishash. Kedua, karena seseorang yang muhshan melakukan zina (dan karenanya disebut zina muhshan). Hukumnya adalah hokum rajam sampai mati. Ketiga, karena seseorang keluar dari Islam (murtad). Termasuk dalam pengertian murtad adalah meninggalkan sholat karena mengingkari wajibnya sebagaimana dibahas diatas. Hukum mengenai perkara ini disebut sebagai hadd al-riddah. Namun lagi-lagi perlu ditegaskan disini bahwa semua hukuman ini hanya bisa dilakukan oleh penguasa yang sah dan memiliki syaukah. Tidak boleh dilakukan oleh individu-individu atau sekelompok orang saja diluar penguasa yang sah.
Bagian terakhir hadits ke- 8 yang menyatakan "wa hisaabuhum 'alaLlah" menunjukkan bahwa "nahnu nahkumu bi al-zhawahir, kita menghukumi manusia berdasarkan lahiriyahnya." Inilah mengapa Rasulullah saw sangat marah ketika Usamah ibn Zayd membunuh seorang musuh yang telah mengucapkan kalimat syahadat, dan Rasulullah saw berkata kepadanya, "Apakah kau sudah belah dadanya?"
Adapun Allah Ta'ala melihat dan menghukumi segala sesuatu berdasarkan hakikatnya, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan manusia sifatnya terbatas, yakni hanya bisa mengetahui lahiriyah dari segala sesuatu.