Ide islamisasi ilmu pengetahuan tentu saja mencakup berbagai macam disiplin keilmuan, baik itu ilmu alam (yang selanjutnya saya sebut sebagai sains) maupun ilmu sosial. Saya yakin banyak kalangan akan sepakat bahwa ilmu-ilmu sosial lebih mudah menerima unsur-unsur yang tidak islami dalam perkembangannya. Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial memang layak untuk di-islamisasi. Sebut saja islamisasi ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu estetika, ilmu antropologi, ilmu sosiologi, dan sebagainya.
Bagaimana halnya dengan sains? Apakah sains juga perlu di-islamisasi? Sampai batas tertentu, ada pro dan kontra dalam hal ini. Sebagian kalangan berpandangan bahwa sains itu sudah islami dan akan selalu islami, jika dieksplorasi dan dikembangkan dengan jujur dan ilmiah. Dan karenanya, tidak perlu ada islamisasi sains. Sebagian yang lainnya berkeyakinan bahwa tidak ada satu jenis ilmu pun yang bisa bebas nilai, termasuk sains. Artinya, selalu ada kemungkinan bahwa dalam sains yang sejauh ini telah dikembangkan ada unsur-unsur yang tidak islami. Dengan demikian islamisasi sains pun sebuah keniscayaan.
Lebih jauh lagi, kalangan yang tidak sepakat dengan islamisasi sains melihat bahwa Islam – dan wahyu secara lebih spesifik – hanyalah memberikan arahan dan motivasi agar manusia melakukan tafakkur terhadap ayat-ayat kauniyah, berbekal akal yang telah dianugerahkan kepada mereka. Bagaimana tafakkur itu dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada manusia, asalkan masih bismirabbika (dengan nama Allah) sebagaimana diisyaratkan dalam ayat pertama QS Al-‘Alaq. Apa yang didapatkan oleh manusia setelah bertafakkur pastilah bermuara pada keesaan dan kebesaran Allah. Jadi, kata mereka, sains itu pada dirinya sendiri sudah islami. Yang penting adalah bagaimana manusia menyikapi sains yang telah mereka pahami. Apakah akan memberikan kesadaran akan keesaan dan kebesaran Allah ataukah tidak memberikan kesadaran semacam itu sama sekali? Apakah akan dimanfaatkan untuk kebaikan sebagaimana fungsi manusia sebagai pemakmur bumi, atau justru sebaliknya dimanfaatkan untuk menciptakan kerusakan di muka bumi ini? Semuanya tergantung pada manusia itu sendiri, bukan pada sainsnya.
Kalangan ini lebih lanjut mempertanyakan jika memang islamisasi sains itu perlu, bagaimanakah bentuknya? Apakah dengan cara menempelkan label islami pada setiap materi sains, misalnya dengan memaksakan justifikasi wahyu pada materi-materi sains, sehingga wahyu seolah-olah hanya berfungsi sebagai ‘tukang stempel’ atas rumusan-rumusan materi sains? Atau dengan mengatakan bahwa wahyu adalah sumber sains? Atau bagaimana?
Kalangan ini bahkan memperingatkan bahwa jika wahyu diperlakukan secara tidak proporsional dalam kaitannya dengan pengembangan sains, maka justru akan timbul berbagai macam kesalahan pemahaman dan penafsiran. Contohnya adalah tafsir saintifik yang berlebihan atas ayat-ayat Al-Qur’an, yang ternyata justru memunculkan berbagai pemahaman dan penafsiran yang kontroversial dan bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip wahyu itu sendiri.
Karena itu, lanjut mereka, cukuplah wahyu berfungsi sebagai landasan moral bagi pengembangan sains. Dengan wahyu sebagai landasan moral, pengembangan sains dengan sendirinya pasti akan bermuara pada hal-hal yang islami, yang menguatkan apa yang telah ada pada wahyu itu sendiri.
Adapun kalangan yang menganggap bahwa islamisasi sains itu perlu berpandangan bahwa sains, sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yang dikembangkan oleh manusia, selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai eksternal seperti filosofi yang melandasi, cara pandang orang-orang yang mempelajari dan mengembangkannya, iklim pemikiran, kebudayaan dan peradaban yang mempengaruhinya, kepentingan-kepentingan yang melingkupi, dan sebagainya. Pendek kata, tidak bisa dijamin bahwa sains dengan sendirinya akan selalu islami.
Dengan demikian, lanjut mereka, kita perlu melihat kembali materi-materi sains yang telah kita rumuskan. Apakah didalamnya ada unsur-unsur yang tidak islami? Jika ada, maka kita harus melakukan pembersihan: menyingkirkan dan membuang unsur-unsur yang tidak islami tersebut.
Teori Evolusi Darwin adalah salah satu contoh bagaimana pengembangan sains amat dipengaruhi oleh filosofi yang melandasi pengembangannya. Dengan landasan filosofi materialisme, Charles Darwin telah merumuskan sebuah teori yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Pengembangan ilmu tentang asal-usul alam semesta yang selama ini dilakukan oleh Barat yang menganut filosofi materialisme ternyata juga menghasilkan teori-teori yang jelas-jelas menafikan peran Allah sebagai Sang Maha Pencipta.
Apakah bisa dijamin bahwa materi-materi sains yang lainnya juga tidak mengalami hal yang serupa dengan dua contoh ini?
Demikian pula terlihat bahwa kemajuan sains yang telah dicapai oleh Barat seolah-olah sama sekali tidak memberikan pengaruh positif pada kualitas hidup non fisik manusia. Sebaliknya, kemajuan sains sepertinya semakin menjauhkan masyarakat Barat dari Sang Pencipta. Jika memang sains yang mereka kembangkan itu benar, semestinya akan memberikan pengaruh positif yang signifikan pada kualitas hidup non fisik mereka, sebagaimana dijanjikan oleh Allah bahwa ilmu pengetahuan akan mengangkat derajat manusia di sisi-Nya. Hal yang serupa kurang lebih juga terjadi di tengah-tengah masyarakat muslim. Ilmu pengetahuan sejauh ini seolah-olah belum memberikan pengaruh yang positif pada spiritualitas umat. Ini tidak lain adalah indikasi bahwa ada sesuatu yang salah dalam sains yang telah ada.
Kalau kita melihat dua pandangan yang berseberangan diatas, kita melihat bahwa masing-masing pandangan memang ada benarnya. Jika memang demikian, mengapa kita tidak mengambil jalan tengahnya saja, dengan cara menggabungkan dan menyelaraskan kebenaran pada kedua pandangan diatas?
Memang benar bahwa sains akan bersifat islami ketika dieksplorasi dan dikembangkan secara jujur dan ilmiah, namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa faktor-faktor seperti filosofi, cara pandang, kepentingan, dan iklim pemikiran, kebudayaan, dan peradaban juga berpengaruh pada tumbuh kembangnya sains. Tugas kita adalah memastikan bahwa tidak ada faktor-faktor negatif dan kontraproduktif yang akan menyimpangkan sains dari obyektivitasnya. Tugas ini setidak-tidaknya bisa dilaksanakan dengan dua cara: (1) membersihkan sains yang telah ada dari unsur-unsur yang tidak islami, dan (2) berusaha untuk mengembangkan materi sains yang baru dari landasan berpikir dan filosofis yang benar-benar islami. Itulah menurut definisi yang cukup tepat mengenai islamisasi sains. Bagaimana menurut Anda?