ImageManusia modern memang mampu membangun impian kehidupan menjadi kenyataan, namun kemudian mereka menghancurkannya dengan tangannya sendiri. Sebagaimana al Qur’an mengibaratkan seorang perempuan yang menenun kain dengan tangannya, lalu kemudian mencabik-cabiknya kembali dengan tangannya (QS. 16:92).

Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russel dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.[1]

Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir,[2] berpendapat bahwa terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama terjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.

Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Syafi’i Ma’arif dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya.[3] Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.

Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari pelbagai ironi dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya pelbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan manusia. Ada alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagaian masyarakat yang mulai mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok, sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.[4]

Peristiwa yang lain yang merupakan ironi manusia modern adalah keyakinan bahwa hidup berdampingan dengan rukun lebih baik daripada hidup bermusuhan, namun mereka memilih atau kadang terpaksa memilih hidup gelisah dengan permusuhan. Contoh paling kontemporer adalah Presiden Goerge W. Bush memilih ‘gelisah’ dengan memilih perang, dengan biaya nilai-nilai kemanusiaan yang begitu mahal, daripada menyelesaikan permasalahan di meja perundingan (diplomasi).

Shariati berpendapat bahwa krisis kemanusiaan manusia modern berakar pada dimensi sistem kemasyarakatan dan ideologi dari kebudayaan modern yang kini dominan di hampir setiap penjuru dunia. Suatu sistem kehidupan yang serba saling bertentangan di dalam dirinya dan mengabaikan jati diri manusia. Pusat petaka itu adalah kebudayaan materi dalam alam pikiran Humanisme-antroposentris, yang menafikan kehadiran agama, yang lahir di saat awal kemunduran kebudayaan Islam dan masa Renaissance di Eropa Barat.[5]

Perkembangan aliran Humanisme-antroposentri ini sangat kuat, terutama dalam perlawanannya terhadap pikiran teosentris. Sehingga terdapat kemungkinan adanya suatu pengaruh antitesis secara ekstrim yang mengakibatkan perkembangan humanisme-antroposentris ini sangat menolak paham teosentris. Nilai-nilai seperti individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan adalah mainstream paham ini.

Berawal dari penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi, politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagai konsekuensi logisnya. Dan, di saat itu umat muslim dalam masa kemunduran yang menelan mentah-metah peradaban yang dibangun dengan pondasi antitesis terhadap aliran yang bermuara pada Tuhan, agama atau supranatural.

Krisis kemanusiaan modern ini dikritik oleh banyak pemikir yang kemudian memunculkan aliran Postmodernisme. Posmodernisme menawarkan pikiran baru yang toleran terhadap pluralitas, pembongkaran dan lokalitas. Hanya saja, aliran ini ternyata walaupun mengusung pluralitas namun toleransi terhadap pendukung posmodernisme yang berbasic agama dirasakan kurang memberi tempat. Sehingga posmodernisme juga dipandang sebagai aliran yang tidak memiliki persingungan dengan spiritualitas dan moralitas. Secara lugas, Ahmed menilai bahwa Postmodernisme belum cukup berkesan di mata kaum muslim.[6]

Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.

Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup.[7]

Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.

Kecermatan dan daya analisis al Faruqi dalam usaha keluar dari lingkaran krisis kemanusiaan akan dibahas dalam tulisan ini. Seberapa efektif konsep-konsep dan metodologi Islamisasi pengetahuan al Faruqi ini mampu menyumbangkan usaha keluar dari krisis kemanusiaan, terutama dalam bidang pendidikan dengan gagasan islmazing curricula-nya?

 

Ismail Raji Al Faruqi

1. Latar Belakang Pendidikan dan Karier

ImageAl Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tahun 1921 tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi. [8]

Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph)  Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi  pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.  Jabatan Gubernur ini ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.[9]

Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.[10]

Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja sambil kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,- hasil menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis konstruksi.[11]

Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajardi McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun. [12]

Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute of Islamic Research, Karchi.

Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang schur, tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang tersebut, dan wafat seketika.[13]

2. Karya-Karya Intelektual

Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.

Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang, yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari Islam adalah tauhid.[14]

Karya lain yang penting dan mungkin yang menghasilkan  tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan ide-ide islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri atas tujuh bagian pembahasan dan dilengkapi dengan appendiks berupa beberapa agenda hasil konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di Islamabad, tahun 1982, konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan di Kualalumpur tahun 1984 dan di Khortoum tahun 1987.[15]

Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis secara tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia, prinsip estetika.[16]

Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya sangat kuat berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu menjadi ide dasar analisisnya. [17]. Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah potensi dasar yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah yang paling progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.

Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung 30 tahun, dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku, mempublikasikan lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih dari 23 universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara, dan duduk dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar. [18]

3. Metode Pemikiran

ImageMengenai ‘Islamisasi pengetahuan’ dalam bidang pendidikan (islamizing curricula), Al Faruqi berusaha menata paradigma pendidikan Islam dalam kerangka lima tujuan rencana kerja islamisasi pengetahuan di atas. Prinsip pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang perlu dicermati adalah; pertama, menguasai sains modern; kedua, menguasai warisan Islam; ketiga prinsip kesatuan (unity) yang harus melingkupi seluruh kajian dalam kurikulum pendidikan Islam.

Prinsip penguasaan sains modern harus berupaya mengarahkan pemahaman pada tidak adanya dikotomi dalam melihat konsep keilmuan dalam Islam. Penguasaan atas warisan Islam dilakukan secara terstruktur dalam formulasi kurikulum. Warisan Islam yang dimaksud di sini adalah al Qur’an, as Sunnah, institusi Islam, kesenian, hukum, undang-undang, kalam (teologi), tasawuf, falsafah, hellenistik, metafisika, epistimologi atau sains taba’i, axiologi dan etika, serta estetika Islam.prioritas perlu dibuat dalam penguasaan khazanah Islam, terutama prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi seperti tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansi kepada persoalan-persoalan masa kini harus menjadi sasaran strategis penelitian dan pendidikan Islam.

Dari dua khazanah ini ditata sedimikian rupa sehingga menjadi menjadi satu sistem integral yang sintesis-kreatif, menjadi sebuah konsep yang integral, terpasu, dan saling melengkapi antara disiplin keislaman dan modern. Tidak menggunakan hanya khazanah Islam atau hanya khazanah modern, dan tidak juga mengunakan salah satunya, namun membuat sintesis antara kedua khazanah tersebut. Hal ini dilakukan mengingat khazanah Islam yang lama mengalami kemandegan dan keterbelakangan, sementara khazanah Barat mapu memberikan gambaran tentang latar belakang, sumber, tujuan, dampak positif dan negatif. Secara normatif, sintesis ini tidak bertentangan dengan pandangan Islam karena karakteristik pandangan Islam adalah the unity of truth.

Secara tegas, ide tentang islamisasi kurikulum yang secara filosofis dikemukan oleh al Faruqi didukung oleh Ahmed Shalabi. Menurutnya, perubahan kurikulum Islam gambaran kerangkanya harus mewarnai beberapa aspek, yaitu:

  1. Pengenalan terhadap beberap wacana seperti perbandingan agama dan islamic studies yang didefinisikan secara jernih sebagai sebuah pola filosofi baru.
  2. Adanya modifikasi atas metodologi dan prinsip pengajaran sejarah Islam.
  3. Menyelaraskan kembali materi pengajaran hukum Islam.
  4. Menghilangkan beberapa kiasan dan pengaruh sejarah Yahudi yang diintrodusir secara sengaja ke dalam beberapa kajian.
  5. Merivisi buku-buku teks dengan gaya yang menarik dan tidak membingungkan dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan kurikulum.


Selanjutnya, untuk melengkapi pola sintesis tersebut, Ahmed Shalabi berpendapat pelajar muslim harus diperkenalkan secara intensif dengan subyek kajian mengenai pengobatan, mesin, pertanian, matematika, dan musik. Perpaduan ini pada gilirannya akan memutuskan dikotomi ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, subtansi sains dan keilmuan ada the unity of God, yang dapat diakses dari semua disiplin, termasuk kajian ilmiah. [21]

 
Analisa Metodologi Islamisasi Pengetahuan


Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa islamizing the curricula integral dalam lima kerangka kerja Islamisasi pengetahuam. Subpokok bahasan berikut berusaha untuk menganalisis secara kritis metodologi Islamisasi pengetahuan.

Memahami wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.

Perjalanan hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas dan apresiatif terhadap agamanya.

Menurut Kafrawi Ridwan,[22] penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di Amerika  yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasan irfani, untuk mengkonstruksi bangunan epistimologi Islam.

Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif.[23] Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahan ilmu yag islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen, sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.[24]

Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu, namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam. Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti kerangka (mode of thought) atau pandangan duni (word view) Barat. Oleh karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun epistimologi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.

Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).

Penulis sendiri berpendapat bahwa sangat penting untuk menformulasikan sebuah sistem, yang mempunyai paradigma berbeda dengan paradigma ilmu modern, yang banyak pakar menilai gagal membangun peradaban yang menghargai kemanusiaan. Penulis lebih sepakat dengan Sardar yang setuju dengan gagasan islamisasi ilmu dengan mode of thouht dan word view yang dikonstruk ulang. Konstruk ulang tersebut harus berpijak pada prinsip the unity of God.

Dalam fokus islamizing curricula, penulis sepakat bahwa dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam adalah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains, maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence. Iman tidak bertentangan dengan sains karena iman adalah rasio dan rasio adalah alam. Konflik antara sains iman hanya merupakan struggle antara kekuatan yang bertikai, yakni konservatif dan progressif. Kelompok pertama bersifat tertutup dan yang kedua terbuka. Yang pertama sering menformalkan dan mendogmakan dan yang kedua mendeformalkan dan mendedogmakan.[25]

 
Kesimpulan

Beberapa revisi terhadap konsep Islamisasi Pengetahuan akan menghasilkan suatu sistem yang mungkin sangat berguna bagi upaya sintesa kreatif. Sintesa kreatif yang memiliki mode of thought dan word view yang formulasikan dari konsep Tauhid, yang berbeda dengan filsafat Barat. Termasuk di dalam proses ini adalah Islamizing Curricula.

 

[1] Syafi’ii Ma’arif dalam “Kata Pengantar” Buku Agama dan krisis Kemanusiaan Modern oleh Haedar Nashir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) hal. v-vii.
 
[2] Haedar Nashir, Agama dan krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) hal. 4.

[3] Syafi’ii Ma’arif, op cit. hal.  vii.

[4] Herati Nurhadi dalam M. Sastrapateja dkk., Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 341.

[5] Dalam Haedar Nashir, Agama., Hal. 7.

[6] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Isalm, cet. IV, (Bandung: Mizan,  1996), hal. 43.

[7] Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Cet. IV,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Hal. 113-114.

[8] Lihat Lois Lamya Al Faruqi, Alih Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Al Fikri, 1997), hal. xii.

[9] Ibid., hal. xii.

[10] Ensiklopedi Islam, diedit oleh Kafrawi Ridwan dkk., (Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 334.

[11] Abdurrahmansyah, Prinsip-prinsip Filosofis Kurikulum Pendidikan Islam (Telaah atas Pemikiran Ismail Raji Al Faruqi), (Yogyakarta: tesis MSI UII, 2000), hal.  29.

[12]  Ibid., hal. 29.

[13] Nuim Hidayat, “Bahaya Sekularisasi Pendidikan”, Harian Umum Republika, (25 Maret 2003), Hal. 5, Kolom V.

[14] Lihat Ismail Raji Al Faruqi dan Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Moh. Ridzuan Othman et. Al., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992).

[15] Buku Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Anas Mahyudin, Ilamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka, 1995).

[16] Buku ini telah juga telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti, Tauhid, (Bandung, Pustaka, 1982).

[17] Abdurrahmansyah, Prinsip-prinsip Filosofis Kurikulum Pendidikan Islam (Telaah atas Pemikiran Ismail Raji Al Faruqi), (Yogyakarta: tesis MSI UII, 2000), hal.  29.

[18] Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Editor Kepala John L. Esposito Jilid 2, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 40. Karya-karya Al Faruqi yang lain dapat dilihat pada hal. 41.

[19] Ibid., hal. 41.

[20] Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi., Hal. 118-122.

[21] Sebagaimana dikutip oleh Abdurrahmansyah, Prinsip-prinsip., hal. 129-130, dari Ahmed Shalabi, “Curricula of Muslim Education,” dalam Muhammad Hamid al Afendi dan Nabi Ahmed Baloch (ed.) Curricula and Teacher Education, hal. 48.

[22] Ensiklopedi Islam,  Hal. 334-335.

[23] Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi.,  Hal 114.

[24] Lihat Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu: Sebuah Respon”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor:4, Vol. III,1992, hal. 72.

[25] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidian Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal.44-45.