Perbedaan pendapat mengenai awal atau akhir Ramadhan: bagaimana jika mendung sehingga hilal tidak bisa dilihat?
Pendapat pertama: Bulan digenapkan tiga puluh hari (Jumhur)
Pendapat kedua: Ditetapkan berdasarkan hisab
Sebab perbedaan pendapat: pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw, "Berpuasalah karena melihat (bulan Ramadhan) dan berbukalah (berhenti puasa) karena melihat (bulan Syawal); maka jika tertutup oleh kalian (mendung) maka perkirakanlah."
Dalil pendapat pertama: Hadits diatas bersifat mujmal dan ditafsiri oleh hadits yang lain, "Maka jika tertutup oleh kalian (mendung) maka sempurnakanlah bilangan (bulan) menjadi tiga puluh hari."
Dalil pendapat kedua: Maksud dari perkataan Rasulullah saw "maka perkirakanlah" adalah "perkirakanlah atau hitunglah dengan menggunakan ilmu hisab."
Pendapat Ibnu Rusyd: Pendapat pertama (penggenapan menjadi 30 hari) lebih dikuatkan.
Perbedaan pendapat mengenai mulai kapan harus imsak (tidak makan dan minum)
Pendapat pertama: Boleh makan/minum sampai terbitnya fajar
Dalilnya adalah hadits: "Dan makan minumlah sampai Ibn Ummi Maktum mengumandangkan adzan; karenan sesungguhnya dia tidak mengumandangkannya sampai fajar terbit." Mafhumnya, seseorang silakan saja makan/minum. Setelah mendengar adzan, baru berhenti.
Pendapat kedua: Harus berhenti makan/minum sebelum terbitnya fajar.
Dalilnya adalah kehati-hatian dan saddudz dzari'ah.
Pendapat Ibnu Rusyd: Pendapat pertama lebih logis, pendapat kedua lebih hati-hati dan lebih wara'.
Perbedaan pendapat mengenai hukum mencium istri ketika berpuasa
Pendapat pertama: boleh
Pendapat kedua: makruh buat yang masih muda, boleh bagi yang sudah tua
Pendapat ketiga: makruh
Dalil bagi yang membolehkan adalah hadits Aisyah ra: "Bahwasanya Nabi saw mencium sedangkan beliau sedang berpuasa."
Dalil bagi yang memakruhkan adalah karena perbuatan tersebut bisa menjadi pendorong untuk melakukan hubungan suami istri.
Ada juga pendapat syadz (aneh) yang mengatakan bahwa mencium membatalkan puasa. Hadits yang digunakan sebagai dalil adalah hadits dhaif.
Pendapat Sayyid Sabiq: tidak membatalkan puasa, artinya boleh, bagi yang sanggup menahan dirinya.
Perbedaan pendapat mengenai hijamah (berbekam) ketika berpuasa
Pendapat pertama: membatalkan puasa (Ahmad, Dawud, Al-Auza'i, Ishaq ibn Rawahah)
Pendapat kedua: makruh (Malik, Al-Syafi'i, Al-Tsauri)
Pendapat ketiga: boleh, tidak makruh, dan tidak membatalkan (Abu Hanifah)
Sebab perbedaan pendapat: pertentangan antar hadits.
Hadits 1: Hadits Rafi' ibn Khudaij bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Batallah (puasa) orang yang membekam dan orang yang dibekam." (dishahihkan oleh Imam Ahmad)
Hadits 2: Hadits Ibnu 'Abbas, "Bahwasanya Rasulullah saw berbekam dalam keadaan berpuasa." (shahih)
Pendapat pertama didasari oleh metode tarjih, dimana hadits Ibnu Abbas bisa saja nasikh dan bisa pula mansukh, artinya tidak jelas (syakk) apakah nasikh atau mansukh, maka metode tarjih menurut banyak ulama mengatakan bahwa dalil yang mewajibkan lebih kuat daripada dalil yang mengangkat.
Pendapat kedua berusaha menggabungkan (al-jam'u) kedua hadits diatas, sehingga memaknai larangan sebagai larangan yang bersifat makruh.
Pendapat ketiga menggugurkan semua dalil karena adanya pertentangan diantara dalil-dalil tersebut, kembali kepada al-ibahah al-ashliyah (yakni bahwa segala sesuatu asalnya adalah boleh).
Pendapat Sayyid Sabiq: tidak membatalkan puasa, artinya boleh, kecuali jika melemahkan yang berpuasa maka hukumnya menjadi makruh.
Perbedaan pendapat mengenai muntah
Pendapat pertama: muntah yang tidak disengajakan tidak membatalkan puasa (Jumhur)
Pendapat kedua: muntah membatalkan puasa
Pendapat ketiga: muntah baik sengaja maupun tidak sengaja tidak membatalkan puasa
Sebab perbedaan pendapat: perbedaan dalam keshahihan hadits dan perbedaan dalam memahami hadits-hadits (pertentangan antar hadits)
Hadits 1: Hadits Abud Darda', "Bahwasanya Rasulullah saw muntah maka beliau berbuka."
Hadits 2: Hadits Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa muntah ketika sedang berpuasa maka tidak perlu meng-qadha'; namun jika seseorang menyengaja agar muntah maka dia wajib meng-qadha'."
Pendapat pertama menolak keshahihan kedua hadits diatas.
Pendapat kedua menggabungkan (al-jam'u) semua hadits, mengatakan bahwa hadits Abud Darda' bersifat mujmal dan ditafsiri oleh hadits Abu Hurairah.
Pendapat ketiga menguatkan hadits Abud Darda' atas hadits Abu Hurairah.
Pendapat Sayyid Sabiq: Muntah yang tidak sengaja tidak membatalkan puasa. Hanya muntah yang disengajakan saja yang membatalkan puasa.