Sebelum membicarakan tentang macam-macam hadits, hadits sendiri kadang kala disebut dengan sebutan-sebutan yang lain. Diantaranya adalah khabar, riwayat, dan atsar. Sebutan riwayat sifatnya sangat umum, sehingga biasa dipakai untuk menukil dari siapa saja: dari Rasulullah, dari sahabat, dari tabi'in, dari tabi'ut tabi'in, atau dari fulan bin fulan di zaman terdahulu. Adapun sebutan atsar biasanya lebih sering dipakai untuk ucapan seorang sahabat, namun kadang-kadang dipakai juga untuk menyebut hadits Nabi saw.
Hadits ada bermacam-macam sesuai dengan dasar klasifikasinya. Berdasarkan jumlah perawinya, hadits dibagi menjadi dua kategori: mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan pada setiap tingkatan sanadnya oleh perawi dengan jumlah yang banyak sehingga mustahil mereka sepakat untuk berdusta dalam meriwayatkan hadits tersebut. Inipun dibagi lagi menjadi dua: mutawatir lafzhi dan mutawatir ma'nawi. Yang pertama artinya mutawatir dari sisi lafazhnya, dan tentu saja maknanya. Yang kedua artinya mutawatir dalam maknanya, dengan lafazh yang berbeda-beda antara satu sama lain.
Adapun hadits ahad adalah yang tidak memenuhi syarat hadits mutawatir. Hadits ahad dibagi menjadi tiga: 1) hadits masyhur (istilahi), yaitu yang diriwayatkan pada setiap tingkatan sanadnya oleh tiga perawi atau lebih, 2) hadits 'aziz, yaitu yang diriwayatkan pada setiap tingkatan sanadnya oleh dua perawi, dan 3) hadits gharib, yaitu yang pada setiap tingkatan sanadnya diriwayatkan oleh satu perawi saja. Ada juga yang disebut sebagai hadits masyhur namun bukan dengan pengertian istilahi, atau dengan kata lain lebih pada pengertian lughawi, yakni hadits yang populer di kalangan masyarakat. Ada hadits-hadits yang masyhur di kalangan para ahli fiqih, di kalangan ushuliyun, di kalangan ahli nahwu, bahkan di kalangan masyarakat awam.
Adapun berdasarkan tingkat kehujjahannya, hadits dibagi menjadi beberapa macam dengen melihat keempat syarat berikut: 1) ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), 2) kepribadian para perawinya ('adalah al-ruwat), 3) hafalan dan kecermatan para perawinya (tamaam dhabth al-ruwat), 4) ada tidaknya syudzudz (menyalahi riwayat-riwayat lain yang lebih kuat), 5) ada tidaknya 'illat qaadihah (cacat tersembunyi pada sanad atau matan).
Kepribadian para perawi mencakup beberapa kriteria sebagai berikut:
- Islam
- Mukallaf, yakni baligh dan berakal
- Selamat dari kebiasaan berbohong, atau bahkan dugaan berbohong
- Selamat dari kefasikan
- Selamat dari bid'ah
- Selamat dari jahalah. Yang dimaksud dengan rawi majhul adalah perawi yang tidak dikenal sebagai ahli ilmu/pencari hadits, atau yang tidak dikenal hadits darinya kecuali dari satu orang perawi saja.
- Selamat dari hal-hal yang menghilangkan muru-ah.
Hadits yang memenuhi kelima syarat diatas semuanya disebut sebagai hadits shahih (lidzatihi). Jika sebuah hadits memenuhi semua syarat diatas kecuali bahwa hafalan dan kecermatan para perawinya (syarat ketiga) kurang maka ia disebut hadits hasan (lidzatihi). Disamping itu terdapat juga hadits shahih lighairihi, yaitu hadits yang asalnya hasan namun karena periwayatannya banyak maka derajatnya meningkat menjadi shahih. Hanya saja keshahihannya tetap berada dibawah keshahihan hadits shahih lidzatihi. Demikian pula terdapat hadits hasan lighairihi, yaitu hadits yang asalnya dhaif namun karena periwayatannya banyak dan dhaifnya bukan karena faktor kepribadian dan hafalan perawi maka derajatnya meningkat menjadi hasan. Hanya saja kehasanannya tetap dibawah hadits hasan lidzatihi. Hadits yang derajatnya shahih atau hasan biasa disebut sebagai hadits maqbul, yakni hadits yang bisa diterima kehujjahannya.
Sebuah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hasan disebut sebagai hadits dha'if. Dengan demikian, hadits bisa menjadi dhaif karena salah satu atau sebagian dari sebab berikut: 1) ada keterputusan dalam rantai sanadnya, 2) diantara para perawinya ada yang tidak adil (cacat kepribadian), 3) diantara para perawinya ada yang hafalannya tidak bagus atau tidak cermat, 4) syaadz (memiliki syudzudz), dan 5) mu'allal (memiliki 'illat qaadihah).
Para ulama berpendapat bahwa hadits dhaif tidak bisa diamalkan untuk penentuan halal dan haram namun bisa diamalkan dalam perkara keutamaan amal (fadha'il al-a'maal), namun dengan syarat-syarat tertentu. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan tiga syarat:
- Dhaif-nya tidak sangat (keterlaluan).
- Maknanya didukung oleh dalil yang tsabit dan bisa diamalkan.
- Tidak diyakini berasal dari Rasulullah saw. Hanya digunakan karena ihtiyath.
Ada juga yang disebut sebagai hadits maudhu' (hadits palsu), yang pada dasarnya tentu saja bukanlah sebuah hadits. Diantara sebab-sebab dibuatnya hadits palsu adalah: 1) untuk targhib (memotivasi orang melakukan suatu amal kebaikan) atau tarhib (menakut-nakuti orang dari melakukan suatu amal buruk), 2) untuk menyenangkan atau mendukung pemimpin atau penguasa, 3) untuk mencari uang, 4) karena fanatisme (ta'ashshub), 5) untuk mendukung suatu madzhab atau pendapat tertentu, 6) untuk mencela kelompok tertentu, 7) untuk merusak agama Islam, biasanya dilakukan oleh orang-orang zindiq, dan 8) agar dikenal orang.
Hadits juga bisa diklasifikasikan berdasarkan sumber atau asalnya sebagai berikut. Pertama, hadits qudsi, adalah hadits yang dinisbatkan kepada Allah Ta'ala. Kedua, hadits marfu' yaitu hadits yang riwayatnya sampai kepada Rasulullah saw. Ketiga, hadits mauquf, yaitu hadits yang riwayatnya hanya sampai kepada sahabat Nabi. Kadang-kadang hadits mauquf disebut sebagai atsar sahabat. Keempat, hadits maqthu', yaitu hadits yang riwayatnya hanya sampai kepada tabi'in atau bahkan tabi'ut tabi'in. Hadits maqthu' ini biasanya disebut sebagai riwayat saja, yakni riwayat dari fulan bin fulan.