Secara umum ada dua metode penetapan bulan baru dalam penanggalan Arab: metode hisab hakiki dan metode ru'yatul hilal.
METODE 1: HISAB HAKIKI
Penjelasan singkat mengenai hisab hakiki bisa dilihat di laman web Muhammadiyah, pelopor hisab hakiki di Indonesia:
https://muhammadiyah.or.id/hisab-hakiki-wujudul-hilal.../
Pada bagian sebelumnya saya sudah bahas hisab 'urfi. Sekarang saya akan bahas hisab hakiki. Disebut hisab hakiki karena perhitungannya tidak hanya mempertimbangkan periode "synodical month" namun juga mempertimbangkan posisi bulan dan matahari secara astronomis.
Dalam hisab hakiki, setidaknya 2 syarat harus terpenuhi. Pertama, sudah ijtima' (konjungsi). Kedua, ijtima' terjadi sebelum matahari terbenam. Ini artinya, waktu ijtima' harus didapat dulu, kemudian dilihat apakah ijtima' tersebut terjadi sebelum waktu maghrib. Jika ya, maka malam tersebut adalah awal bulan baru. Namun jika ijtima' terjadi selepas maghrib maka malam itu adalah malam ke-30 dari bulan yang sedang berjalan.
Muhammadiyah menambahkan syarat ketiga, dan menyebutnya hisab hakiki wujudul hilal. Syarat tambahannya adalah: posisi hilal harus diatas ufuk (horizon) sebelum matahari terbenam. Posisi hilal diatas ufuk sebelum maghrib menunjukkan bahwa bulan sudah wujud, atau dengan kata lain: "bulan sudah terbit", karena sudah muncul diatas ufuk. Namun Muhammadiyah tidak menetapkan batas minimal imkaniyatur ru'yah terhadap ketinggian hilal diatas ufuk. Meskipun cuma 1 atau bahkan 0,1 derajat diatas ufuk sudah masuk kriteria.
Adapun dalam hisab hakiki imkaniyatur ru'yah, syarat ketiga ini dipersyaratkan harus melebihi derajat yang memungkinkan untuk dilihat, misalnya 2 atau 3 derajat diatas ufuk. Jika kurang dari itu, maka belum masuk bulan berikutnya.
METODE 2: RU'YATUL HILAL
Ada dua "madzhab" ru'yatul hilal. Pertama, ru'yatul hilal al-'aalamiyah (global). Kedua, ru'yatul hilal al-mahalliyah (lokal), yang biasanya diterapkan pada satu "wilayatul hukm", misalnya pada satu negara atau satu kawasan. Ru'yatul hilal jenis kedua ini didasarkan pada ta'addud al-mathaali', yakni bahwa setiap wilayah memiliki mathla' sendiri-sendiri.
Ru'yatul hilal sejauh ini masih merupakan mainstream di dunia Islam. Ini tidak terlepas dari penafsiran denotatif dan harfiyah (tekstual) terhadap ayat2 Al-Qur"an dan terutama hadits2 Nabi saw tentang "melihat bulan". Juga terdapat riwayat2 dari para sahabat Nabi saw yang menceritakan praktek ini.
Dalam Al-Qur'an disebutkan "barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan)". Redaksinya adalah syahadah (menyaksikan), yang tentu saja maknanya bersifat umum, yang bisa meliputi cara apa saja untuk bisa menentukan awal bulan baru.
Menurut Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, hadits yang menjadi sebab perbedaan pendapat adalah hadits Rasulullah saw, "Berpuasalah karena melihat (bulan Ramadhan) dan berbukalah (berhenti puasa) karena melihat (bulan Syawal); maka jika terhalang (oleh mendung dsb) maka perkirakanlah." Hadits ini secara harfiyah memerintahkan ru'yatul hilal. Bagi yang menguatkan hisab, yang dimaksud dengan "perkirakanlah" adalah "hitunglah dengan ilmu hisab". Adapun bagi yg menguatkan ru'yatul hilal, hadits ini bersifat mujmal dan ditafshilkan oleh hadits lain yang memerintahkan istikmal 30 hari jika mendung.
Mengapa titik tekannya ada pada kata "perkirakanlah"? Ya karena jumlah minimal hari dalam sebulan adalah 29 hari. Yang jadi masalah di akhir bulan adalah, apakah akan digenapkan menjadi 30 hari ataukah tidak.
Ru'yatul hilal global sebetulnya cukup masuk akal secara ilmiah. Argumentasinya sederhana: bumi dan bulannya kan sama saja, ya itu-itu juga. Jika hilal terlihat di satu tempat, maka semua tempat di sebelah baratnya mesti mengikuti (memasuki bulan baru). Argumentasi pendukungnya adalah persatuan umat muslim sedunia; biar kompak gitu. Hanya saja, sepertinya belum ada yang menerapkan metode ini.
Adapun ru'yatul hilal lokal subtansinya lebih mengacu pada "melihatnya" itu sendiri ketimbang wujudnya hilal secara astronomis. Ini karena penampakan bulan memang bisa berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya di muka bumi, meskipun secara umum mirip.
MENGGABUNGKAN HISAB HAKIKI DENGAN RU'YATUL HILAL
Salah satu cara menggabungkan hisab hakiki dengan ru'yatul hilal adalah ru'yatul hilal bi-imkaniyatir ru'yah. Jika hisab hakiki mengatakan bahwa hilal tidak mungkin terlihat tapi ternyata ada yg bilang melihat bulan, maka kesaksiannya wajib ditolak, karena secara ilmiah tidak mungkin terjadi.
Implementasi lainnya adalah: jika secara ilmiah dinyatakan bahwa hilal tidak mungkin terlihat, maka tidak perlu lagi dilakukan ru'yatul hilal. Namun sebagian yg mendukung ru'yatul hilal pasti keberatan dengan ini, karena mereka memandang ru'yatul hilal sebagai "ibadah" karena "mengikuti sunnah".
Implementasi lainnya lagi adalah: jika secara ilmiah dinyatakan bahwa hilal "pasti bisa dilihat jika cerah" maka ru'yatul hilal hanya dilakukan sebagai formalitas atau sebagai verifikasi tambahan. Atau bahkan bila perlu, tak perlu lagi ada ru'yatul hilal.