Kaidah-kaidah fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah mengenai hukum-hukum fiqih. Dengan demikian, kaidah-kaidah fiqih ini adalah rumusan para ulama' setelah mereka melakukan istiqra' (observasi) terhadap dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Sunnah mengenai berbagai hukum fiqih. Terdapat banyak sekali kaidah fiqhiyah. Namun, kaidah-kaidah yang asasi ada lima, biasa disebut sebagai al-qawa'id al-fiqhiyah al-khams atau al-qawa'id al-fiqhiyah al-kubra. Berikut ini ringkasan mengenai lima kaidah fiqhiyah tersebut.

Kaidah pertama:

الأمور بمقاصدها

(Perkara tergantung pada tujuannya)

Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:

إنما الأعمال بالنيات

"Sesungguhnya amalan itu hanya tergantung pada niatnya."

Dalam hal ini, amalan tergantung kepada niat dalam hal: 1) diterima tidaknya amalan oleh Allah tergantung pada niatnya, apakah ikhlas karena Allah ataukah tidak, 2) amalan mubah bernilai ibadah ataukah tidak, 3) untuk membedakan perbuatan biasa (adat) dengan ibadah, 4) untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya.

Contoh penerapan kaidah ini untuk membedakan perbuatan biasa dengan ibadah:

1) Duduk di masjid bisa jadi sekadar untuk beristirahat atau dengan tujuan untuk i'tikaf, tergantung niatnya.

2) Memberi harta kepada orang lain bisa jadi untuk zakat, atau kafarah, atau sekadar sedekah biasa, tergantung niatnya.

3) Menyembelih binatang bisa jadi untuk ibadah kurban, atau aqiqah, atau sekadar untuk makan-makan biasa, tergantung niatnya.

Contoh penerapan kaidah ini untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya:

1) Sholat empat rakaat bisa jadi sholat zhuhur atau sholat asar, tergantung niatnya.

2) Sholat dua rakaat di waktu shubuh bisa jadi sholat shubuh atau sholat sunnah sebelum shubuh, tergantung niatnya.

3) Puasa bisa jadi puasa qadha' atau puasa sunnah, tergantung niatnya.

 

Kaidah kedua:

اليقين لا يزول بالشك

اليقين لا يزال بالشك

(Keyakinan tidak hilang oleh keraguan, atau: keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan)

Diantara dalilnya adalah hadits tentang orang yang ragu-ragu apakah telah buang angin dalam sholatnya, dimana Rasulullah saw bersabda:

لا ينصرف حتى يسمع صوتًا أو يجد ريحًا

"Hendaknya ia tidak meninggalkan (membatalkan) sholatnya sampai ia mendengar suara atau mendapati bau (dari kentutnya)."

Juga hadits Rasulullah saw dari Abu Sa'id Al-Khudri:

إذا شك أحَدُكم في صلاته، فلم يَدْرِ كم صلى ثلاثا أم أربعا؟ فَلْيَطْرَحِ الشك وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ

"Jika salah seorang kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak tahu apakah dia sudah sholat tiga atau empat rakaat, maka hendaklah dia buang keraguannya dan menetapkan hatinya atas apa yang ia yakini."

Contoh penerapan kaidah ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kedua hadits diatas.

 

Kaidah ketiga:

المشقة تجلب التيسير

(Kesempitan mendatangkan kemudahan)

Diantara dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:

يُرِيدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan kesulitan buat kalian."

dan juga firman Allah Ta'ala:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dan tidaklah Allah jadikan atas kalian dalam agama ini suatu kesukaran."

Kemudian juga sabda Rasulullah saw:

بعثت بالحنيفية السَّمْحَة

"Sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan mudah (lapang)."

dan juga sabda Rasulullah saw:

يسروا ولا تعسروا

"Permudahlah dan jangan mempersulit."

Contoh dari kaidah ini adalah berbagai macam rukhshah (kemudahan) dalam ibadah bagi mereka yang memiliki kesempitan atau kesulitan, seperti sholat qashar bagi musafir, sholat dengan duduk atau berbaring bagi orang yang sakit, qadha' puasa bagi musafir dan yang sakit, dan membayar fidyah bagi orang yang sudah tidak lagi sanggup berpuasa. 

 

Kaidah keempat:

الضرر يُزال

(Kemudharatan hendaknya dihilangkan)

Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:

لا ضرر ولا ضرار

"Janganlah memberikan madharat kepada orang lain dan juga diri kalian sendiri."

Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah:

1) Haramnya makanan yang diharamkan menjadi hilang jika seseorang tidak mendapati satu makanan pun kecuali itu dan jika ia tidak memakannya maka ia akan mati.

2) Seseorang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kekafiran dibawah ancaman yang nyata diperbolehkan untuk mengucapkan kalimat tersebut asalkan hatinya masih mantap dalam keimanan.

 

Kaidah kelima:

العادة مُحَكَّمة

(Adat/kebiasaan bisa dijadikan landasan hukum)

Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw: 

ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند الله حسن 

"Apa yang kaum muslimin menganggapnya baik maka ia di sisi Allah juga baik."

Contoh penerapan kaidah ini adalah penetapan masa haidh, kadar nafkah, kualitas bahan makanan untuk kafarah, dan sahnya akad jual beli tanpa ucapan eksplisit "aku jual" dan "aku beli" dalam sistem jual beli modern.