[Artikel ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis: https://abdurrosyid.wordpress.com/2008/04/03/bagaimana-sih-bersikap-hemat-itu/]
Gemi nastiti. Hemat pangkal kaya. Keduanya adalah pepatah yang menganjurkan kita untuk hidup hemat. Namun apa dan bagaimana hidup hemat itu? Apa bedanya hemat dengan pelit?
Cukup tipis memang perbedaan antara hemat dan pelit. Namun bagaimanapun, kita harus mampu membedakannya, karena keduanya adalah dua hal yang bertentangan. Hemat dianjurkan, sementara pelit justru dilarang.
Al-Qur’an sepertinya bisa membantu kita memaknai hemat dengan tepat. Dalam Al-Qur’an ada larangan untuk bersikap boros, dan pada saat yang sama ada larangan untuk bersikap pelit. Al-Qur’an memerintahkan kita untuk bersikap diantara keduanya, yakni antara boros dan pelit. Nah, agaknya sikap pertengahan antara boros dan pelit inilah definisi yang tepat untuk hemat.
Boros berarti membelanjakan sesuatu tidak pada tempatnya ataupun melebihi ukuran yang semestinya. Jika kita membelanjakan uang kita untuk sesuatu yang haram, meskipun sedikit, maka itu sudah dikatakan boros karena kita membelanjakan uang tidak pada tempatnya. Pembelanjaan yang pada tempatnya adalah pembelanjaan untuk sesuatu yang halal. Namun pembelanjaan untuk yang halal pun tidak selamanya bebas dari boros. Jika kita membelanjakan untuk yang halal tetapi melebihi ukuran yang semestinya maka itu juga boros. Contohnya kalau kita berbelanja pakaian –yang tentu saja halal – melebihi jumlah yang pantas maka itu adalah sikap boros.
Adapun pelit adalah menahan-nahan harta yang semestinya dibelanjakan atau mengeluarkan harta untuk suatu hak kurang dari jumlah yang semestinya padahal sebetulnya kita mampu. Tidak jarang kita dengar atau kita jumpai orang yang berkecukupan namun menolak untuk berobat atau membeli obat saat ia sakit. Ia merasa ’eman’ jika uangnya berkurang karena harus dipakai berobat atau membeli obat. Padahal itu jelas sebuah kebutuhan yang penting dan bahkan mendesak. Ini namanya pelit. Sama juga dikatakan pelit jika ada seseorang yang ketika dimintai bantuan untuk suatu kebaikan lalu ia menolak memberi bantuan, padahal sebetulnya ia mampu. Bahkan sudah bisa dikatakan pelit orang yang memberi bantuan terlalu sedikit pada sesuatu yang semestinya diberi bantuan lebih besar, sementara ia sebetulnya sangat mampu untuk itu.
Sekarang ada persoalan sederhana lainnya. Seseorang dengan uangnya telah membeli beberapa kaleng minuman keras. Namun sesudah itu ia sadar bahwa ternyata minuman keras itu haram dan tidak boleh dikonsumsi. Apakah dikatakan boros jika orang tersebut kemudian membuang semua minuman keras yang telah ia beli, yang dengan demikian berarti kerugian baginya secara material? Tentu saja ini bukan sikap boros. Para sahabat Nabi dahulu juga mengalami hal semacam ini. Mereka biasa menyimpan sejumlah besar arak di rumah-rumah mereka. Belakangan ternyata turun wahyu yang mengharamkan arak. Maka secara sadar dan lapang hati mereka pun menumpahkan semua simpanan arak yang kita miliki. Al-Qur’an sendiri berargumentasi bahwa pada arak sebetulnya ada juga kemanfaatan, namun kerugiannya jauh lebih besar. Nah, karena kerugiannya jauh lebih besar maka kita harus rela kehilangan kemanfaatan yang ada padanya.
Lalu bagaimana jika orang yang sudah terlanjur membeli sejumlah minuman keras tadi bersikeras untuk meminumnya dan berkata,”Hanya yang sudah terlanjur saya beli ini saja, sesudah ini saya tidak akan beli lagi.” Barangkali ia berpikir ’eman’ membuang sejumlah uang yang telah terupakan dalam bentuk minuman keras tadi. Namun sebetulnya, jika ia melakukan hal tersebut maka ia telah berbuat zhalim kepada dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak bisa dikatakan hemat, bahkan sebaliknya ia layak dikatakan pelit. Wallahu a’lam.