Diantara sifat-sifat generik Allah – yang meliputi berbagai sifat-sifat-Nya yang derivatif - adalah al-rahmah (kasih-sayang), al-‘ilm (pengetahuan), dan al-‘azhm (kebesaran).
Diantara sifat-sifat-Nya yang bermuara pada al-rahmah adalah:
- Sifat-sifat kelembutan, seperti: al-rahman, al-rahim, al-lathif, al-rauf, al-halim, al-hannan, dll.
- Sifat-sifat memberi atas dasar kasih-sayang, seperti: al-wahhab, al-razzaq, al-mannan, dll.
- Sifat-sifat pemaaf atas dasar kasih-sayang, seperti: al-‘afuww, al-tawwab, al-ghafur (al-ghaffar), dll.
- Sifat-sifat adil atas dasar kasih sayang, termasuk didalamnya sifat-sifat menyiksa atas dasar keadilan.
Sifat generik al-‘ilm antara lain meliputi al-muhith, al-‘alim, al-khabir, al-bashir, al-sami’, dll.
Sedangkan sifat generik al-‘azhm antara lain meliputi: al-akbar (al-kabir), al-‘azhim, al-‘aziz, al-jabbar, al-mutakabbir, malik, dzu al-jalal wa al-ikram, dll.
Al-rahmah termasuk dalam sifat-sifat Allah yang terpenting. Oleh karena itu, sifat ini tersebut dalam Induk Al-Qur’an dan Bacaan Yang Diulang-ulang, yakni Al-Fatihah, dalam dua bentuk variatif: al-rahman al-rahim. Dua asma Allah inilah yang juga disunnahkan untuk dibaca setiap kali seorang muslim memulai pekerjaan yang baik – yakni dalam bacaan basmallah: bismi al-Lah al-rahman al-rahim.
Dari kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa al-rahmah merupakan identitas yang menonjol pada diri Allah. Sifat rahmat Allah ini nantinya akan terefleksikan dalam segala tindakan-Nya, termasuk didalamnya mengatur kehidupan ini dan menetapkan aturan bagi segenap makhluk-Nya.
Allah telah menciptakan dan mengatur alam semesta ini dengan penuh kasih-sayang. Hewan-hewan pun telah dianugerahi hidayah untuk saling berkasih sayang, misalnya antara induk dan anak-anaknya. Selanjutnya, Allah telah men-taskhir (menundukkan, merendahkan) alam ini untuk manusia. Segenap alam telah diciptakan hanya untuk kepentingan manusia, bahkan malaikat sekalipun. Inilah yang dimaksudkan dengan bahwasanya manusia adalah sentral (pusat) alam semesta.
Agama (din, millah) juga telah diciptakan oleh Allah atas dasar kasih-sayang. Allah tidak menginginkan dan tidak tega apabila manusia harus menjalani kehidupannya di bumi tanpa petunjuk. Untuk itulah Allah mengutus para rasul dengan membawa ajaran yang berisi petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan.
Konsep risalah dan taskhir diatas akan mengarah kepada paham bahwa din mengatur kehidupan manusia (sebagai sentral alam semesta) dengan memanfaatkan alam sebaik-baiknya, sehingga manusia bisa memperoleh sebesar-besar manfaat dari alam. Segenap alam – mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil – tidaklah diciptakan oleh Allah dengan sia-sia. Sebaliknya, segenap alam diciptakan untuk bisa dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupannya, dalam rangka menggapai perkenan Ilahi. Pemahaman sedemikian inilah yang kemudian disimpulkan menjadi bahwasanya fungsi manusia adalah sebagai ‘abd al-Lah (yakni dengan menjalani hidup menggapai perkenan Ilahi) dan khalifah al-Lah (yakni dengan memanfaatkan alam semaksimal mungkin untuk memakmurkan bumi – dan terutama manusia itu sendiri).
Karena itulah maka Islam diturunkan sebagai sebuah agama yang diharapkan dapat membimbing manusia dalam menjalankan kedua fungsinya tersebut. Islam tampil sebagai sebuah agama yang syamil (menyeluruh) karena alam ini bersifat luas dan multidimensional. Syumuliyyah Islam itu diharapkan akan memberi ruang kepada manusia untuk bisa menjangkau dan memanfaatkan segenap alam secara maksimal. Anugerah Allah berupa keleluasaan manusia untuk memanfaatkan alam secara maksimal merupakan bentuk kasih-sayang-Nya kepada manusia. Karena aturan-aturan tentang pengelolaan alam itu adalah din itu sendiri, maka dapat dikatakan bahwa din (al-Islam) adalah penuh dengan rahmat.
Seandainya manusia menjalankan din dengan benar maka dia akan mampu mewujudkan kasih sayang Allah yang amat besar. Dampaknya, hidupnya akan bahagia di dunia ini, dan tentu saja di akhirat nanti. Allah merasa amat gembira melihat seorang hamba-Nya bisa memanfaatkan segenap karunia-Nya dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Alasannya adalah karena si hamba tersebut telah menjadikan alam ini sebagai sesuatu yang tidak sia-sia, sebagaimana Allah menghendakinya.
Perlu diketahui pula bahwa pada dasarnya alam ini hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman, tentu saja karena hanya orang-orang yang beriman sajalah yang akan mampu memakmurkan alam. Orang-orang yang tidak beriman hanyalah akan membuat kerusakan terhadap tatanan alam, yang mana hal ini bertentangan dengan fungsi kekhalifahan manusia. Oleh karena itu, yang lebih berhak untuk menikmati alam ini – tanpa menimbulkan kerusakan – adalah orang-orang yang beriman. Satu hal yang menguatkan hal ini adalah bahwasanya ketika orang-orang yang beriman tidak lagi tersisa di bumi maka saat itulah Allah akan mengakhiri riwayat alam semesta (Hari Kehancuran Alam Semesta). Sebuah riwayat menyatakan bahwa apabila masih ada manusia yang mengucapkan “Allah, Allah” - yang mengindikasikan keimanan – maka Hari Kehancuran tidak akan didatangkan. Sungguh, Allah begitu penyayang kepada orang-orang yang beriman.
Allah Telah Menciptakan Alam Menurut Timbangan-timbangannya (Qadar)
Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu (kull syai’) – baik konkret maupun abstrak – dalam ukuran-ukurannya (qadar). Diantara qadar tersebut, terdapat qadar terhadap fenomena-fenomena fisik alam semesta, yang sering disebut oleh para ilmuwan sebagai Hukum Alam (Natural Law). Dengan adanya kepastian ukuran-ukuran alam itulah manusia bisa mengembangkan ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Dalam kaitannya dengan ini, Allah telah menyeru kepada manusia untuk “memperhatikan” alam semesta. Disamping itu terdapat pula qadar terhadap perjalanan sejarah manusia. Dengan memahaminya, manusia mampu melakukan analisis-analisis sosial dan melakukan rekayasa sosial. Yang lebih penting adalah agar manusia tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Untuk itulah Allah memerintahkan kepada manusia untuk menengok perjalanan sejarah umat-umat terdahulu agar bisa mengambil ibrahnya – yakni berupa pemahaman terhadap qadar perjalanan sejarah manusia. Kesemua qadar-qadar Allah tersebut terkadang juga diistilahkan dengan sunnatullah.
Setiap bentuk sunnatullah atau timbangan-timbangan yang telah ditetapkan oleh Allah tidak akan pernah berubah. Dari satu sisi, kepastian dan keteraturan ini merupakan pertanda akan adanya Sang Pengatur. Dari sisi lain, kepastian dan keteraturan ini adalah untuk kemaslahatan hidup manusia.
Sunnatullah merupakan suatu kepastian. Barangsiapa menjalani hidupnya selaras dengan sunnatullah maka dia akan selamat dan sejahtera (islam). Oleh karena itu, salah satu makna Islam adalah keselamatan dan kesejahteraan, karena Islam mengajarkan kepada manusia untuk menjalani hidup selaras dengan sunnatullah sehingga bisa selamat dan sejahtera. Sebaliknya, barangsiapa menjalani hidupnya tidak selaras dengan sunnatullah – artinya tidak sesuai dengan timbangan-timbangan yang ada – maka dia akan celaka. Dalam konteks beragama, Rasulullah menyatakan bahwa barangsiapa berlebih-lebihan dalam agama maka dia akan celaka (halak). Hal ini tidak lain karena sikap berlebih-lebihan dalam beragama berarti penyimpangan (ketidaksesuaian) terhadap timbangan-timbangan agama yang telah ditetapkan oleh Allah melalui lisan rasul-Nya.
Berbagai Penyimpangan Terhadap Timbangan Beragama Yang Telah Ditetapkan oleh Allah
Apabila sikap berlebih-lebihan dalam beragama akan membawa kecelakaan, maka sebaliknya pun demikian. Sikap meremehkan agama juga akan membawa kecelakaan, karena sikap yang demikian juga berati menyimpang dari timbangan-timbangan yang ada.
Bentuk sikap meremehkan agama yang paling ekstrim adalah kekafiran. Dalam intensitas yang lebih rendah, sikap meremehkan agama mungkin juga dilakukan oleh seorang muslim. Sikap tattabu’ al-rukhash (memilih setiap hal yang enak-enak saja dalam agama, tanpa didasari pertimbangan yang syar’iy-‘ilmiy) merupakan salah satu bentuknya.
Bentuk sikap berlebih-lebihan dalam agama antara lain adalah bid’ah (istilahiy), yakni membuat inovasi-inovasi (tanpa tuntunan dari Nabi) dalam ibadah ritual. Bid’ah inilah yang dalam beberapa kurun yang lalu – bahkan masih tersisa sampai kini – telah menjadikan umat Islam menjadi stagnant dalam berkreasi membangun peradaban yang maju, karena terlalu sibuk mengurusi bid’ahnya. Karena itulah generasi Islam klasik telah mampu membangun peradaban yang maju – yang bahkan mengilhami dan mendasari peradaban kaum Barat saat ini – karena tidak melakukan bid’ah-bid’ah, sehingga mempunyai banyak waktu untuk berkreasi.
Apabila fenomena dan isu bid’ah sekarang ini sudah mereda, maka tidak seharusnya umat Islam bisa merasa lega. Sekarang ini telah muncul suatu kecenderungan baru dalam sikap berlebih-lebihan.
Semenjak beberapa waktu yang lalu, dunia Islam sedang diramaikan oleh isu kebangkitan Islam (al-shahwah al-Islamiyyah). Isu ini tidak saja berupa pemikiran-pemikiran, namun sudah menjelma menjadi berbagai gerakan Islam (al-harakah al-Islamiyyah) baik dalam lingkup regional-nasional maupun internasional. Karena sifat gerakan-gerakan ini adalah perubahan (taghyir) – dengan intensitas dan metode yang variatif – maka tidak heran apabila sebagian besar pendukung-pendukungnya adalah generasi muda. Ini tidak mengherankan karena generasi muda merupakan sosok-sosok yang idealis, dinamis dan amat bersemangat. Karena itulah maka gerakan-gerakan ini kemudian didukung oleh barisan para pemuda yang amat tulus, idealis, dan menggelora semangatnya, yang tersebar di berbagai negara muslim.
Semangat yang menggelora dari para pemuda militan inilah yang, pada saat yang sama, tidak diimbangi dengan pemahaman keislaman yang memadahi, yang telah mengakibatkan kecenderungan berlebih-lebihan dalam merealisasikan Islam – namun semoga Allah membalas ketulusan mereka dan mengampuni kebelumpahaman mereka.
Fenomena ini terjadi dalam beberapa aspek agama, yang – berbeda dengan kecenderungan beberapa kurun yang lalu – juga merambah aspek-aspek sosial, disamping juga aspek ritual. Namun fenomena pada aspek ritual tidaklah dominan, karena – barangkali – umat Islam sudah sejak lama disadarkan untuk tidak banyak berselisih dalam masalah ritual, karena sudah bukan zamannya. Sebaliknya, fenomena berlebih-lebihan pada aspek sosial, kini mulai nampak. Namun, sebetulnya hal ini mudah dimaklumi karena usaha-usaha kebangkitan Islam ini baru berada pada fase-fase awalnya.
Kembali pada konsep timbangan, sebetulnya sikap berlebih-lebihan dalam aspek sosial juga akan mengarah kepada kehancuran, disadari ataupun tidak. Alasannya, karena – sebagaimana yang lalu - sesungguhnya Allah telah menciptakan timbangan-timbangan atas segala sesuatu. Apabila seseorang berlebih-lebihan dalam suatu aspek maka pada dasarnya – sadar ataupun tidak – dia telah menzhalimi (merusak) aspek yang lain. Hal ini tidak lain karena pelebihan pada satu aspek akan berarti pengurangan pada aspek yang lain, karena Allah sudah menetapkan timbangan setiap aspek secara fixed. Argumentasi ini akan lebih mudah dipahami apabila dijelaskan secara matematis.
Sebagai contoh atas fenomena berlebih-lebihan ini adalah pemahaman atas berbagai manhaj Nabawiy dalam pengaturan masalah-masalah sosial, mulai dari sekedar masalah komunikasi, etika, budaya, sampai politik.
Apabila ada yang mengatakan – semoga Allah membalas ketulusannya - bahwa sikap berlebih-lebihan ini bukanlah permasalahan syar’i atau tidak syar’i, namun masalah kehati-hatian (al-ihtiyath) dan replikasi tradisi Nabi (ittiba’ al-Nabiy) misalnya, maka sebetulnya bagaimana anggapannya tentang syariat? Apakah dia beranggapan bahwa syariat masih belum cukup dan belum tuntas untuk bisa mengatur kehidupan? Padahal Allah telah berfirman pada penghujung risalah Nabi: Al-yaum akmaltu lakum dinakum (Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian). Sungguh, syariat merupakan solusi final atas segala permasalahan kehidupan. Hanya saja yang perlu dicamkan disini adalah definisi dan materi syariat itu sendiri.
Dengan mengikuti syariat maka seseorang telah menempatkan segala sesuatu pada timbangannya, sehingga tidak akan ada aspek-aspek yang dirugikan. Hanya saja yang perlu dicatat adalah bahwasanya syariat ini harus dilaksanakan secara total, tidak boleh parsial. Karena, Islam sebagai solusi adalah Islam yang total. Apabila Islam dilaksanakan secara total dan sesuai dengan setiap timbangan yang ada, maka Islam itu sendirilah yang akan menyeimbangkan segala sesuatunya, menuju kebahagiaan hakiki manusia, di dunia dan di akhirat.
Perbedaan-perbedaan Kecenderungan Yang Diperkenankan
Meskipun Islam melarang kecenderungan-kecenderungan ekstrim – baik meremehkan ataupun berlebih-lebihan – namun Islam memperkenankan adanya perbedaan kecenderungan dalam beragama yang sifatnya niscaya, karena disebabkan oleh fitrah perbedaan yang ada pada diri manusia itu sendiri. Diantara perbedaan-perbedaan kecenderungan yang diperbolehkan adalah:
- Adanya golongan musyaddidun dan golongan muyassirun. Golongan yang pertama adalah mereka yang cenderung bersikap ketat dalam beragama, sedangkan golongan yang disebut belakangan adalah mereka yang cenderung bersikap lapang dalam beragama. Di kalangan sahabat Nabi, Ibnu Umar merupakan sosok golongan pertama. Ibnu Abbas, dalam hal ini, merupakan sosok golongan yang terakhir. Di zaman ini, sosok seperti Yusuf Al-Qaradhawi agaknya berbendera sama dengan Ibnu Abbas.
- Adanya aliran rasio (madrasah al-ra’yi) dan aliran hadits (madrasah al-hadits). Dari kalangan fuqaha klasik, Abu Hanifah merupakan penganut aliran rasio (namun tidak berarti tidak memakai hadits sama sekali). Malik ibn Anas dan Ahmad ibn Hanbal, sebaliknya, merupakan penganut aliran hadits (namun tidak berarti tidak memakai rasio sama sekali).
- Adanya aliran esensial (al-maqshadiyyah) dan aliran literal (al-zhahiriyyah al-harfiyah). Aliran esensial adalah mereka yang dalam pengambilan hukum lebih condong pada esensi syariat (maqashid syar’iyyah). Sebaliknya, aliran literal adalah mereka yang, dalam hal ini, lebih condong pada makna-makna literal nash.
‘Allamah Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa adanya kecenderungan yang berbeda-beda dalam beragama merupakan suatu hal yang wajar, karena hal itu berkaitan dengan tabiat manusia yang memang berbeda-beda dan tidak mungkin disamakan. Disamping tabiat yang merupakan karakter pembawaan sejak lahir, ada banyak hal lain yang juga turut “berpartisipasi” dalam menciptakan perbedaan kecenderungan tersebut. Latar belakang intelektual seseorang dan kondisi sosiokultural yang melingkupinya (bi’ah) merupakan dua hal diantaranya.