Berikut ini beberapa adab membaca Al-Qur'an yang diringkas dari kitab "Al-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur'an" karya Imam Al-Nawawi. Penulis juga menyertakan beberapa hal yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali mengenai adab membaca Al-Qur'an dalam kitabnya "Ihya Ulumiddin". Adab-adab membaca Al-Qur'an ini pengurutannya sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Nawawi mengikuti urutan pelaksanaan amal, bukan berdasarkan tingkat pentingnya.

Pertama, ikhlas membacanya karena Allah semata.

Kedua, membersihkan mulut dan gigi, bisa dengan siwak atau dengan menggosok gigi memakai pasta gigi.

Ketiga, disukai dalam keadaan suci dari hadats kecil, tapi tidak wajib. Dalam hal ini telah ijma' bahwa boleh membaca Al-Qur'an meskipun dalam keadaan hadats kecil. Adapun untuk yang berhadats besar (yakni yang junub atau wanita haidh dan nifas) maka menurut madzhab Syafi'i sebagaimana dianut oleh Imam Al-Nawawi tidak boleh membaca Al-Qur'an, tetapi boleh membaca mushaf tanpa melafazhkan. Menurut sebagian ulama Syafi'iyah diperbolehkan juga mengucapkan dzikir-dzikir dan doa-doa dari ayat-ayat Al-Qur'an.

Keempat, disukai membaca Al-Qur'an di tempat yang bersih dan suci. Karena itulah disukai membaca Al-Qur'an di masjid karena tempatnya bersih dan suci, merupakan tempat yang mulia, dan juga mendapatkan pahala i'tikaf (karena itu hendaknya diniatkan sambil i'tikaf). 

Adapun membaca Al-Qur'an ketika mengendarai kendaraan, yakni di jalan, maka diperbolehkan jika tidak menyebabkan seseorang menjadi lalai. Adapun jika menyebabkan lalai maka dimakruhkan.

Kelima, disukai dengan menghadap qiblat, tapi tidak wajib. Imam Al-Ghazali menyebutkan keutamaan membaca Al-Qur'an didalam sholat, yakni ketika berdiri dalam sholat. Untuk tilawah diluar sholat, hendaknya juga membaca dengan duduk yang baik dan sopan. Membaca dengan berdiri dan berbaring juga boleh, hanya saja dengan duduk lebih utama. Ini tentu saja untuk tilawah diluar sholat. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw, Abu Musa Al-Asy'ari, dan Aisyah pernah membaca Al-Qur'an sembari berbaring.

Keenam, hendaknya membaca ta'awwudz sebelum membaca Al-Qur'an. Ini hukumnya sunnah, tidak wajib. Demikian pula hendaknya mengucapkan ta'awwudz sebelum membaca Al-Qur'an dalam sholat. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, membaca ta'awwudz hanya pada rakaat pertama. Pendapat kedua, membaca ta'awwudz pada setiap rakaat. Yang dimaksudkan disini adalah membaca ta'awwudz sebelum membaca Al-Fatihah.

Ketujuh, hendaknya membaca basmalah di awal setiap surat, kecuali QS Bara'ah (QS Al-Taubah). 

Kedelapan, hendaknya membaca dengan khusyu' dengan disertai tadabbur. Allah Ta'ala berfirman dalam QS Al-Nisa': 82:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ

"Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur'an?"

Allat Ta'ala juga berfirman dalam QS Shaad: 29:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran mendapat pelajaran."

Juga disukai mengulang dua atau beberapa kali bacaan ayat dalam rangka tadabbur dan penghayatan. Juga disukai menangis atau berusaha menangis ketika membaca Al-Qur'an.

Imam Al-Ghazali menulis bahwa diantara adab membaca Al-Qur'an adalah menghadirkan hati dan tidak membiarkan hati sibuk memikirkan hal-hal lain (yang bersifat duniawi) ketika sedang membaca Al-Qur'an.

Kesembilan, hendaknya membaca dengan tartil. Dan diharamkan membaca Al-Qur'an dengan tergesa-gesa. Allah Ta'ala berfirman dalam QS Al-Muzzammil: 4:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

"Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil."

Abu Dawud, Al-Tirmidzi dan Al-Nasai meriwayatkan bahwa Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw membaca Al-Qur'an dengan jelas huruf per hurufnya (harfan harfan). Al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. 

Ibnu Abbas ra berkata, "Aku lebih suka membaca satu surat dengan tartil daripada membaca seluruh Al-Qur'an (tanpa tartil)." Dalam Ihya' Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menulis bahwasanya Ibnu 'Abbas berkata, "Membaca Al-Baqarah dan Ali 'Imran dengan tartil dan disertai tadabbur lebih aku sukai daripada membaca Al-Qur'an seluruhnya dengan cepat." Juga diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, "Membaca Al-Zalzalah dan Al-Qari'ah dengan disertai tadabbur lebih aku sukai daripada membaca Al-Baqarah dan Ali 'Imran dengan cepat."

Mujahid, seorang tabi'i, ditanya tentang dua orang, yang satu membaca Al-Baqarah dan Ali 'Imran, dan satunya lagi membaca Al-Baqarah saja, sedangkan lama mereka membaca sama, demikian pula ruku', sujud, dan duduknya juga sama. Maka Mujahid berkata, "Yang membaca Al-Baqarah saja lebih utama."

Para ulama mengatakan bahwa salah satu alasan pentingnya membaca dengan tartil adalah dalam rangka tadabbur. Dikatakan juga bahwa terutama untuk orang-orang 'Ajam (yang tidak memahami bahasa Arab) diutamakan untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil. Dalam hal ini alasan yang bisa kita pahami adalah: 1) agar tidak salah dalam membaca, dan 2) agar lebih bisa mentadabburi.

Imam Al-Ghazali menulis bahwa yang paling utama adalah mengkhatamkan Al-Qur'an tidak lebih cepat dari tiga hari, berdasarkan hadits Abdullah ibn Amr, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa membaca (maksudnya mengkhatamkan) Al-Qur'an kurang dari tiga hari maka ia tidak memahaminya." Hadits ini diriwayatkan oleh Ashab Al-Sunan dan di-shahih-kan oleh Al-Tirmidzi. Hal ini karena mengkhatamkan lebih cepat dari tiga hari akan menghalangi seseorang dari tartil.

Abdullah ibn Umar dalam haditsnya menyebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkannya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an dalam tujuh hari. Ini hadits muttafaq 'alaih. Demikian pula beberapa sahabat mengkhatamkan Al-Qur'an (setiap pekan) pada setiap hari Jumat, antara lain: Utsman ibn 'Affan, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas'ud, dan Ubay ibn Ka'ab.

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa mengkhatamkan Al-Qur'an beberapa praktek mengkhatamkan Al-Qur'an. Yang tercepat adalah dalam sehari semalam namun sebagian ulama mengatakan bahwa ini makruh. Yang terlambat adalah sekali khatam dalam sebulan. Beliau menyebutkan bahwa bagi yang memerlukan penghayatan maka ia bisa mengkhatamkan Al-Qur'an sekali dalam sebulan.

Kesepuluh, dalam rangka menghormati Al-Qur'an maka hendaknya tidak diselingi dengan candaan, gurauan, atau percakapan yang tidak perlu ketika sedang membaca Al-Qur'an. Juga hendaknya tidak membaca Al-Qur'an sembari memandang hal-hal yang diharamkan dengan disertai syahwat.

Kesebelas, tidak boleh membaca Al-Qur'an dengan cara 'Ajam. Artinya, hendaknya Al-Qur'an dibaca dengan cara Arab karena ia berbahasa Arab. Ini berlaku baik di luar sholat maupun didalam sholat.

Kedua belas, hendaknya tidak membaca Al-Qur'an dengan qiraat yang syadz. Karena itu, hendaknya membaca dengan qiraat yang tujuh karena qiraat yang tujuh itulah yang mutawatir. Dan ketika membaca dengan satu qiraat maka hendaknya tetap dengan qiraat tersebut dalam kalam yang masih berhubungan. Adapun jika kalamnya sudah tidak berhubungan maka boleh membaca qiraat yang lain. Namun yang lebih utama adalah membaca dengan satu qiraat saja dalam satu majelis.

Ketiga belas, disukai membaca Al-Qur'an sesuai urutan mushaf. Maksudnya, mendahulukan yang lebih dahulu. Ini berlaku baik di luar sholat maupun di dalam sholat. Namun ini tidak wajib.

Keempat belas, membaca Al-Qur'an dari mushaf lebih utama daripada membacanya dengan hafalan, karena melihat mushaf itu sendiri adalah ibadah. Dengan demikian, membaca dari mushaf menggabungkan dua kebaikan: kebaikan membaca dan kebaikan melihat mushaf.

Kelima belas, hendaknya membaguskan suara ketika membaca Al-Qur'an.

Keenam belas, sujud tilawah ketika membaca ayat-ayat sajdah.