Peradaban Barat menjadi lebih berbeda dan lebih kuat dibandingkan dengan peradaban-peradaban lain disebabkan oleb adanya perubahan revolusioner seperti Revolusi Keilmuan, Revolusi Perancis, Revolusi Industri, profesionalisasi ilmu, interaksi rapat antara ilmu dan teknologi dan revolusi-revolusi abad ke-20 dalam ilmu yang saling berkesinambungan yang pada akhirnya tidak hanya mempengaruhi Barat itu sendiri, tetapi juga seluruh dunia. Jika kita perhatikan, faktor-faktor yang paling penting dalam revolusi-revolusi ini ada!ah teknologi dan sains. Teknologi, yang meliputi pengetahuan praktis, telah dirnulai oleh manusia pertama dan sains telah dimulai oleh para filosof Yunani pertama sekitar 600 SM. Namun, sains sebelum Revolusi llmiah serta sebelum Revolusi Industri, merupakan subyek yang timbul tenggelam secara bergantian dalam peradaban-peradaban yang berbeda. Dengan Revolusi llmiah dan Industri, sains maupun teknologi menjadi tiang utama dalam peradaban Barat, tetapi sampai dekade pertengahan abad ke- 19, keduanya mengikuti jalan-jalan yang berbeda dan independen. Teknologi, terutamanya, telah berkembang tanpa suatu input ilmiah.
Namun, pada dekade pertengahan abad ke-19 dengan industri pewarnaan (celup) yang berorientasi pada kimia, sains dan teknologi untuk pertama kalinya mulai betul-betul berinteraksi dan sejak itu teknologi berbasis sains menjadi faktor yang penting dalam mengubah masyarakat modern secara drastis. Tidak diragukan lagi bahwa dengan interaksi sains dan teknologi, peradaban Barat mengukqhkan kembali superioritasnya atas bangsa-bangsa lain dan mengokohkan dominasi dan ketinggiannya.
Sains, sebagai fondasi dan mesin teknologi, telah dan masih menjadi senjata rahasia Barat yang canggih. Mengingat ia merupakan usaha keras yang abstrak dan tak nampak, adalah mudah untuk melupakan dan menyepelekan betapa pentingannya sains. ltulah mengapa bangsa-bangsa Islam atau Timur salah kaprah mengidentifikasi peradaban Barat dengan piranti-piranti teknologis seperti kendaraan, alat-alat ustrik, televisi, radio, telepon, pesawat, senjata nuklir, dan sebagainya, dan mencoba untuk mengimitasinya yang pada akhirnya merugikan mereka sendiri. Kita harus sadar bahwa sains itu bukan teknologi. Sains berhubungan dengan ide-ide dalam caracara yang abstrak sernentara teknologi bertujuan memproduksi benda-benda yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan kata lain, teknologi merupakan aplikasi pengetahuan ilmiah, dan tanpa pemahaman dan penguasaan Iandasan ilmiah, hanya memproduksi piranti-piranti teknologis melalui imitasi adalah sangat berisiko. Ka!au bangsa-bangsa Muslim atau Timur tidak mengambil alih kepemimpinan ilmiah dan Barat, supremasi Barat dalam teknologi berbasis sains akan terus berlanjut.
Kaum humanis Italia pada periode Renaissance membagi sejarah budaya menjadi periode kuno, pertengahan, dan modern, dan mengidentifikasi periode modern dengan perubahan dan kemajuan.
Dalam tulisan ini kita akan menelusun secara luas asal-usu! pembedaan Barat dan dunia lain dengan membahas perubahan dan kemajuan sains dalam penode pertengahan dan modern. Namun, dalam melakukannya atau untuk mendapatkan gambaran besar bagi topik ini, kita perlu membandingkan dan membedakan Islam dan Barat. Walaupun orang Muslim dahulu tidak ingin melepaskan din dan paradigma-paradigma. Aristoteles dalam fisika, Ptolemy dalam astronomi dan Galen dalam ilmu kedokteran, mereka menyiapkan landasan bagi Revolusi Ilmiah dan bahkan membuat kontribusi-kontribusi yang sangat penting bagi fondasi utama sains modern. Orang-orang Barat pertama-tama belajar danmengasimilasi apa yang telah dicapai umat Islam di semua lapangan, kemudian melalui perubahanperubahan revolusioner tertentu mengambil alih kepemimpmnan, terutama dalam teknologi dan sains, dan juga dalam urusan-urusan militer dan politik. Ketika akhirnya mereka menggabungkan sains dan teknologi pada abad kesembilan belas, mereka mengukuhkan kembali kekuasaan mereka dan menjadi tak terkalahkan.
Umat Islam Pionir Sains Modern
Asal-usul sains modern, atau Revolusi I!miah, berasal dan peradaban Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam ada!ah pionir sains modern. Jika!au mereka tidak berperang di antara sesama mereka, dan jika tentara Kristen tidak mengusirnya dan Spanyol, dan jika orang-orang Mongo! tidak menyerang dan merusak bagian-bagian dan negeri-negeri Islam pada abad ke13, mereka akan mampu menciptakan seorang Descartes, seorang Gassendi, seorang Hume, seorang Copernicus, dan seorang Tycho Brahe, karena kita telah menemukan bibit-bibit filsafat mekanika, empirisisme, elemen-elernen utama dalam heliosentrisme, dan instrumen-instrumen Tycho Brahe, dalam karya-karya A!l-Ghazãli, lbn Al-Shãtir, para astronom pada observatorium Maragha, dan karya-karya Takiyuddin.
Al-Ghazali, untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi rnetafisika untuk sains modern. Maka kontribusinya itu tidak hanya destruktif, tetapi juga konstruktif.

Dia telah menunjukkan anomali-anomali pada Aristotelianisme dalam pandangan teologi Islam, membentangkan dasar-dasar metafisika Descartes, mendukung kepercayaan atomistik dengan mengemasnya dalam kemasan teologis jauh sebelum Pierre Gassendi meng-Kristen-kan atomisme, dan menolak keharusan kausalitas, yang dengan demikian mendahului David Hume. Tentu saja, dengan pernyataan-pernyataan ini saya tidak mengklaim adanya suatu pengaruh langsung, tetapi mencoba menemukan paralelisme yang rapat yang ada antara Islam dan Barat. Perlu dicatat bahwa a!Ghazali berbicara dan tinjauan teologi Islam sementara para pemikir yang disebut di atas, jika mereka pernah mengambil manfaat dan ide-ide al-Ghazãli, mengambil ide-ide itu tanpa melihat konteksnya dan menggunakan ide-ide tersebut untuk tujuan mereka.
Saya yakin bahwa untuk memasukkan al-Ghazãli di antara para pionir sains modern dapat dan akan mengejutkan para pembaca, karena hampir setiap orang, termasuk para ahli sejarah sains terkenal Seperti J. J. Saunders, Giorgia de Santillana, dan bahkan Seyyed Hossein Nasr setuju bahwa serangan-serangan al-Ghazãli kepada para filosof itu merupakan sebab utama keruntuhan ilmiah dalam Islam, tetapi tidak ada klaim yang lebib mendekati kebenaran ketimbang ini.
Bagaimana Al-Ghazali, seorang pemikir religius yang tanpa kuasa politik, mampu menghentikan perkembangan sains hanya oleh dirinya sendiri? Padahal, seperti kita lihat nanti, sains terus berkembang dalam Islam bahkan setelah AI-Ghazali. Kemudian, Al-Ghazã!i sendiri tidak pernah menyerang sains, tetapi metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh Al-Fãrãbi dan Ibn Sina.
Mengenai sains ia menulis:
MATEMATIKA. [Ilmu] ini meliputi aritmetika, geometri dan astronomi. Tidak ada dan hasil-hasilnya yang berhubungan dengan masalahmasalah agama, baik yang menolak ataupun yang menegaskannya. Ilmu ini adalah masalah-masalah demonstrasi yang tidak mungkmn ditolak jika ilmu ini dipahami dan dikuasai...
LOGIKA. Tidak ada dalam ilmu logika yang relevan dengan agama baik dengan cara penolakan ataupun penegasan terhadapnya.
ILMU ALAM ATAU FISIKA. Ini merupakan investigasi bola langit dan benda-benda langit, dan tentang apa yang di bawah langit, baik benda-benda sederhana seperti air, udara, bumi, api, ataupun benda-benda komposit seperti binatang, tetumbuhan dan mineral, dan juga tentang sebab-sebab perubahan, transformasi dan~ kombinasi-kombinasinya. ini sama dengan investigasi yang dilakukan obat atas tubuh manusia dengan organ-organ utama dan subordinatnya, dan tentang sebab-sebab perubahan temperamen. Seperti halnya tidaklah tepat agama menolak ilmu kedokteran, begitu pula terhadap ilmu alam.
Al-Ghazãli mendukung matematika, astronomi dan ilmu alam dan menulis bukubuku tentang logika bagi. para teolog. Dia juga memperingatkan umat Islam untuk tidak menyerang sains, dengan mengemukakan sebuah contoh dan astronomi:
Ada hal-hal yang dipercayai para filosof, dan yang tidak bertentangan dengan prinsip agama... Contohnya adalah teori mereka bahwa gerhana bulan terjadi ketika cahaya Bulan hilang sebagai akibat dan letak Bumi yang berada di antara Bulan dan Matahari. Karena Bulan itu mendapatkan cahayanya dan Matahari, dan Bumi itu organ bulat yang dikelilingi oleh Langit dalam setiap sisinya. Oleh karena itu, ketika Bulan jatuh di bawah bayang-bayang Bumi, cahaya Matahari itu terpotong darinya. Contoh lain adalah teori mereka bahwa gerhana matahari berarti letak Bulan berada di antara Matahari dan pengamat, yang terjadi ketika Matahari dan Bulan berada pada pertemuan titik (node) pada derajat yang sama. Kita tidak tertarik untuk menolak teoriteori seperti itu, karena penolakan itu tidak punya tujuan apa-apa. Orang yang berpikir bahwa adalah kewajiban keber-agamaannya untuk tidak mempercayai hal-hal tersebut betul-betul bertindak tidak adil terhadap agama, dan akan melemahkan fondasinya. Itu karena hal-hal ini telah kukuh depgan bukti-bukti astronomis dan matematis yang tidak meninggalkan ruang keraguan. Jika anda memberi tahu seseorang, yang telah mempelajari hal-hal ini— yang dengan itu membuatnya meragukan seluruh data yang berhubungan dengan hal-hal tersebut, dan ketika dia berada dalam posisi untuk memprediksi kapan gerhana bulan atau matahari akan terjadi; apakah ia akan terjadi secara total atau parsial~ dan seberapa lama ia akan terjadi—bahwa hal-hal ini bertentangan dengan agama, pernyataan anda itu akan menggoncangkan keimanannya pada agama, tidak dalam hal-hal tadi. Perusakan yang dilakukan pada agama oleh penolong [agama] yang tidak metodologis adalah lebih besar daripada oleh musuh yang tindakan-tindakannya, betapapun sengitnya, tetap sesuai aturan. Karena seperti yang disebutkan oleh peribahasa, musuh yang bijak lebih baik daripada teman yang bodoh.
Walaupun al-Ghazãli mendukung sains secara intens, dia melakukan kritik terhadap metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh Al-Fãrãbi dan lbn Sinã. Tetapi untuk melakukannya ia harus mempelajari filsafat secara otodidak, karena di dunia Islam seseorang tidak mungkin mempelajari filsafat di sekolah ataupun madrasah, yang muncul belakangan dan tidak pernah memasukkan filsafat dan ilmu-ilmu alam dalam kurikulumnya. ltulah mengapa lbn Sinã dan Al-Ghazãli mempelajari filsafat secara otodidak. Apa yang menarik adalah, Al-Ghazãli sendiri adalah professor ilmu-ilmu Islam pada Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Ketika ia berupaya untuk mengkritik filsafat, ia mengkajinya dalam waktu luangnya dan mempelajarinya selama dua tahun. Dalam tahun ketiga ia mengasimilasi dan mengevaluasi apa yang telah ia pelajari sebelumnya. Dan situlah kemudian Ia siap untuk menulis buku terkenalnya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof) setelah tiga tahun. Seperti yang ia katakan:
Saya menyadari bahwa untuk inenolak suatu sistem sebelum memahami dan mempelajari keda lamannya adalab tindakan membabi-buta. Oleh karena itu saya memulai dengan segala keseriusan untuk mendapatkan pengetahuan tentang filsafat dan bukubuku, dengan kajian sendiri tanpa pertolongan dan seorang pembiinbing. Demi tujuan ini saya menghabiskan waktu Luang saya setelah mengajar ilmu-ilmu agama dan penulisan, karena pada periode ini saya dibebani oleh tugas mengajar dan membimbing tiga ratus murid di Baghdad. Dengan bacaan saya sendiri selama waktu-waktu sibuk tersebut Tuhan telah meinbuat saya mengerti secara utuh ilmu-ilmu para filosof se!ama kurang dari dua tahun. Sejak itu saya dengan bersungguh-sungguh terus melakukan rejleksi selama satu tahun tentang apa yang telah saya pahami, didiskusikan dalam pikiran saya secara terus menerus dan mengorek liku-liku kedalamannya, sampai saya pahami secara yakin dan pasti sejauhmana ia palsu dan memusingkan dan sejauh mana ia benar dan merupakan representasi dan realitas.
Berbeda dengan Barat, yang sejak abad ke- 13 para teolog pertama-tama menjadi para filosof dengan menghadiri fakultas sastra untuk mempelajari filsafat, khususnya, filsafat alam Aristotelian, sebelum melanjutkan pada fakultas teologi, dalam Islam, para teolog (mutakallimün) dan para filosof itu terpisah dan independen. Kaum mutakal!imun mengembangkan metafisika Islam, yang juga termasuk di da!amnya kepercayaan dalam atomisme (occasionalism), tanpa berada di bawah pengaruh para filosof Yunani. Di sisi lain, para filosof seperti Al-Fãrãbi dan Ibn Sinã mempertahankan Aristotelianisme NeoPlatonis. Maka dalam Islam terdapat dua sistem metafisika yang bertentangan— satu dimiliki oleh mutakalimun dan yang lain dimiliki oleh para-pengikut Aristoteles, yaitu al-Farabi dan Ibn Sinã. Tentu saja, Al-Ghazali tidak membiarkan rivalitas dan situasi pertentangan irii berlanjut begitu saja. Untuk itulah ia secara efektif menghancurkan dua puluh ide-ide Aristoteles dan mengkafirkan al-Fãrãbi dan Ibn Sinã dalam tiga poin dan bid’ah dalam tujuh belas poin. Ia menulis:
Pandangan-pandangan Aristoteles, seperti yang dikembangkan oleh al-Fãrãbi dan lbn Sinã, itu sebetulnya dekat dengan pandangan para penulis Islam. Seluruh kesalahan mereka dapat dirangkum dalam dua puluh poin, tiga diantaranya mereka harus dianggap kafir dan tujuh belasnya sebagai bid’ah. Saya menyusun Kerancuan para Filosof adalah untuk menunjukkan kesalahan pandangan-pandangan mereka dalam dua puluh poin itu. Tiga poin yang membuat mereka berbeda dan semua umat Islam adalah seperti berikut:
(a) Mereka mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan kembali bagi tubuh; hanya roh yang diberi pahala atau disiksa, dan pahala dan siksa itu pun bersifat spiritual, tidak badani. Mereka betul-betul berbicara benar dalam menegaskan yang bersifat spiritual, karena memang hal itupun terjadi; tetapi mereka berbicara salah dalam menolak yang bersifat badani dan dalam pernyataan mereka itu tidak niengimani wahyu Tuhan.
(b) Mereka mengatakan bahwa Tuhan mengetahui universalia tetapi tidak rriengetahui partikularia. ini juga jelasjelas tidak beriman. Yang benar adalah bahwa ‘tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya yang ada di langit dan yang ada di bumi’ walau seberat atom pun’ (Qs. 34, 3).
(c) Mereka mengatakan bahwa dunia itu kekal, tanpa awal. Tetapi tidak ada umat Islam yang mengadopsi pandangan demikian dalam persoalan ini.
Untuk memasuki suatu periode baru seperti Renaissance dan kemudian untuk mencapai Revolusi llmiah; prasyarat pertama adalah menghancurkan pegangan pada Aristoteles, yang Al-Ghazali lakukan secara menakjubkan dalam Tahafut al-Falãsifah-nya di penghujung abad ke- 11. Seperti akan kita lihat, dan tahun 1210 hingga 1277 dan juga pada masa Renaissance, Barat juga mencoba untuk menghancurkan otoritas Aristoteles. Khususnya pada tahun 1277, orang-orang Barat pada hakikatnya mengulangi apa yang al-Ghazãli telah Capai dengan Tahafut aI-Falãsifah, tetapi dalam cakupan yang lebih luas. Walaupun alGhazãli telah menolak dua puluh ide-ide bid’ah Aristoteles yang didukung oleh Al-Fãrãbi dan Ibn Sinã, orang-orang Barat baru menolak ide-ide Aristoteles, Ibn Rushd dan Thomas Aquinas sebelum memasuki periode baru.
Dan sudut pandang progresif ala Kuhn, apa yang Al-Ghazãli capai sebetulnya adalah menghancurkan riritangan-rintangan yang menghalangi kemajuan sains dan teknologi dan mensuplai sains modem dengan fondasi-fondasi metafisika barn, yaitu filsafat mekanika. Kita tahu bahwa tanpa fondasi metafisika, sains tidak dapat berkembang. Itulah sebabnya mengapa pencapaian alGhazãli itu lebih dan fenomenal.
Al-Ghazãli pernah melewati suatu periode skeptisisme personal yang dalam masa itu Ia bahkan meragukan kebenaran persepsi indera dan matematika. Ia membandingkan kesadaran dengan mimpi. Belakangan, ia sekali lagi mulai mempercayai logika, matematika dan ide-ide ‘swa-bukti’ (self-evident) lainnya. Seperti kita ketahui, gambaran-gambaran ini juga ada dalam filsafat Descartes. Perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa Al-Ghazãli bekerja di dalam kerangka teologi Islam sementara Descartes menempatkan titik tekannya pada pikiran manusia.
Seperti telah kita singgung sebelumnya, kaurn mutakalimün percaya pada atomisme, dan al-Ghazãli juga mendukung atomisme kalãm. Barangkali karena mengikuti contoh kaum mutakalimün dan Al-Ghazãli, Pierre Gassendi mengkompromikan atomisme dengan iman Kristen. Walaupun Gassendi membangkitkan kembali atomisme Epicurean, atomisme kalãm itu unik dan sangat berbeda. Misalnya, menurut Gassendi, kualitas-kualitas sekunder hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi menurut atomisme kaldin, kualitas-kualitas sekunder itu merupakan bagian atau aksidensia dan atom-atom individual, yaitu melekat di dalamnya secara alami.
Demikian juga terdapat kesamaan yang menarik antara pandangan~pandangan al-Ghazãli dan David Hurne. Misalnya, al-Ghazãli menyatakan bahwa “hubungan antara apa yang dipercayai sebagai sebab dan akibat itu bukan keharusan” walaupun “ norma pada masa lalu itu tetap berkesan dalam pikiran kita. Sebagaimana kita ketahui, Hume juga mengemukakan ide-ide ini pada abad ke-18.
Menarik sekali, kita menernukan akhir dan kalimat David Hume dalarn Dialogues concerning Natural Religion yang secara tepat rnenggambarkan krisis skeptisisme personal Al-Ghazali jika kita mengganti kata-kata Kristen” dengan “Muslim”:
Seorang manusia, yang berpengalaman dengan perasaan yang benar tentang ketidaksempurnaafl rasio alarniah, akan terbang untuk menen~ukan kebenaran dengan kehausan yang sangat... Menjadi seorang skeptis filosofis adalah, yang harus dicatat, langkah pertama yang paling esensial menjadi [Muslimi yang beriman teguh.
Setelah al-Ghazãli, sains dalam Islam terus berkembang, terutamanya dalam aritmetika dan astronomi. Misalnya, sekitar dua puluh astronom bekerja sama dalam observatorium Maragha di Timur pada abad ke- 13 dan mengumpulkan data selarna dua puluh tahun. Sejauh yang kita ketahui inilah observatorium terorganisir yang pertama yang di dalamnya terkonstruksi instrumen-instrUmen dan juga perpustakaan. Walaupun mereka bekerja di dalam kerangka astronomi Ptolemaik, mereka juga melakukan kritik terhadapnya. Itulah mengapa kepala observatoriurn ini, Na~ir al-Din al-’füsi dan muridnya, Quçb al-Din al-Shirãzi bekerja sarna membangun model yang lebih konservatif dalarn menerima gerak seragarn (uniform motion) ketimbang sistem Ptolemaik. Belakangan, dalam sistem Copernican, kita juga menemukan sikap konservatif yang sama. Pada abad keempat belas Ibn alShã~ir, seorang astronom Damaskus, menyempurnakan model Tusi dan Shirãzi dengan mengernbangkan model-model planet yang non-Ptolemaik dan teori lunar (bulan).
Terdapat kesamaan yang menarik antara teori-teori planet lbn al-Shãtir dan Copernicus, walaupun teori yang satu itu geostatik dan teori yang lain adalah heliostatik. Dalam kata-kata E. S. Kennedy dan Victor Roberts:
Mekanisme planet lbn al-Shatir itu cukup berbeda dan mekanismenya Copernicus dalam arti bahwa alam yang satu itu bersifat geostatik dan yang lain itu heliostatik. Dalam hal-hal lain, terutama dalam kasus Merkurius dan Venus, solusi-solusi yang ada dalam De Revolutionibus-nya Copernicus Untuk planet-planet yang sama menunjukkan kesamaan yang menakjubkan dengan apa yang dihasilkan oleh sumber kita.
Walaupun basis teknis bagi heliosentrisme telah ada, umat Islam tidak ingin berpisah dan sistem Ptolemaik agar pandangan-dunia Islam (Islamic worldview) saat itu tidak terganggu. Seperti yang dikatakan oleh Seyyed Hossein Nasr:
Astronomi Islam tidak menghancurkan ikatan-katan sistem Ptolemaik yang tertutup, yang begitu terikat dengan pandangan dunia pertengahan. Adalah benar bahwa banyak dan astronom Muslim kemudian mengkritik berbagai aspek dan astronomi Ptolemaik. Adalah jelas juga bahwa astronom-astronom seperti al-Biruni mengetahui tentang kemungkinan gerak lonjong (elliptical motion) planet-planet, bukannya gerak melingkar (circular motián). Tetapi tidak seorang pun melakukan, ataupun mampu melakukan, Iangkah untuk bertentangan dengan pandangan dunia~tradisional, seperti halnya yang terjadi pada masa Renaissance di Barat—karena hal itu akan berarti tidak hanya suatu revolusi dalam astronomi, tetapi juga kegoncangan dalam wilayah-wilayah religius, filosofis, dan sosial. Tidak seorang pun dapat memperkirakan pengaruh revolusi astronomi pada pikiran manusia. Dan selama hirarki pengetahuan tetap utuh dalam Islam, dan scientia terus tertanam dalam dada sapientia, “limitasi” tertentu dalam wilayah fisik itu diterima agar dapat memelihara kebebasan ekspansi dan realisasi dalam wilayah spiritual. Tembok kosmos itu dipelihara, agar dapat menja ga makna simbolis yang visi kosmosnya telah membatu pada kebanyakan manusia. ini seolah-olah para ilmuwan dan sarjana dulu telah meramalkan bahwa menghancurkan dinding ini berarti akan menghancurkan kandungan kpsmos simboliknya, dan bahkan menghilangkan makna “kosmos” (yang secara literal berarti tatanán) bagi mayoritas manusia, yang untuk merekalah kita sulit mengkonsepsikan Iangit sebagai materi pijar yang berotasi di ruang angkasa dan pada saat yang sama sebagai singgasana Tuhan. Dan begitu pula, walaupun terdapat berbagai kemungkinan teknis, Iangkah menuju penghancuran pandangan alam tradisional tidak akan diambil, dati umat Islam tetap puas dengan mengembangkan dan menyempurnakan sistem astronomi yang diwarisi dan bangsa Yunani, India, dan Persia, dan yang telah terintegrasi secara penuh ke dalam pandangan alam Islam.
Lagi-lagi terdapat kesamaan yang rapat antara instrumen-instrumen Tycho Bra-he dan para astronom yang bekerja pada observatorium Maragha. Demikian juga, seperti dibuktikan oleh Prof. Sevim Tekeli dalam tesis doktoralnya dan dalam beberapa artikel, instrumen-instrumen yang digunakan oleh Takiyuddin, seorang astronom Turki Usmani pada abad ke-16, adalah hampir sama dengan yang dipakai oleh Tycho Brahe.
Sains Barat Pertengahan
Eropa sungguh beruntung dapat menikmati stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi setelah abad ke- 11. Jika saja orang-orang Mongol menginvasi keseluruhan Eropa, yang mereka mampu lakukan, orang-orang Barat tidak akan mendapatkan stabilitas dan kemakmuran yang cukup untuk bisa sukses menyempurnakan Revolusi Ilmiah (Scientific Revolution). Seperti kita ketahui, orang-orang Mongol, setelah mengambil Silesia pada tahun 1241, kembali ke negeri mereka, sejak raja mereka di Mongolia mati dan mereka harus memilih pemimpin baru mereka.
Dengan mewarisi pencapaian-pencapaian pengetahuan Islam dalam berbagai area melalui penerjemahan dan kontakkontak personal dan juga dengan peminjaman dan penggunaan kompas magnetik, mesiu, teknik-teknik pembuatan kertas dan percetakan dan umat Islam, orangorang Barat mulai membangun struktur sains dan teknologi modern.
Sains pertama-tama dikawinkan dengan iman Kristen rnelalui agensi wahyu, yaitu melalui gereja, sebab universitasuniversitas di abad pertengahan, yang merupakan tempat dimana para mahasiswa diajarkan tujuh materi dan Liberal Art dan filsafat alam Aristotelian, itu berada di bawah kekuasaan gereja.
Di Barat, sains terus berkembang dan tidak pernah ketinggalan peluang seperti halnya dalam kasus Islam, terutamanya disebabkan oleh institusi-institusi pendidikan khas yang disebut universitas. Komunitas filosof dan mahasiswa terbesar pada Abad Pertengahan mempelajari ide-ide Aristoteles melalui interpretasi dan kornentar-komentar lbn Sinã dan lbn Rushd pada institusi-institusi ini dan mencoba mengembangkannya lebih jauh. Dengan kata lain, disebabkan oleh matriks disiplin yang sama, yaitu Aristotelianisme, para mahasiswa dilatih di dalam pandangan alam (woridview) Aristotelian. Dengan demikian, sebagai hasil dan standardisasi pendidikan, professor dan mahasiswa dapat berpindah dan satu universitas ke universitas yang lain.Anak-anak laki-laki pada usia tiga belas atau empat belas tahun, setelah mempelajari tata bahasa Latin, mulai menghadin perkuliahan pertama pada fakultas sastra, yaitu fakultas sarjana yang merupakan prasyarat bagi fakultas-fakultas lanjutan atau pasca-sarjana. Setelah menerima gelar masternya dan fakultas tersebut dalam empat tahun, mahasiswa dapat menghadin salah satu fakultas lanjutan seperti fakultas kedokteran, fakultas hukum dan fakultas teologi. Fakultas kedokteran menuntut lima dan enam tahun, fakultas hukum tujuh atau delapan tahun dan fakultas teologi delapan hingga enam belas tahun untuk menyempurnakan programnya yang relevan. golongan pendeta) dan para guru (profesor) adalah anggota gereja. Karena itu mereka, termasuk para pengikut lbn Rushd, tidak dapat menerima ide bahwa filsafat adalah sumber satu-satunya kebeparan. Itulah sebabnya mereka harus memilih sikap skeptis dan kritis terhadap Aristotelianisme dalam rnasalah-masalah yang bertentangan dengan wahyu. Maka rekonsiliasi antara ilmu dan agama yang dicapai oleh Albert the Great dan Thomas Aquinas dan pengutukan-pengutukan yang dikeluarkan oleh gereja itu bukanlah sebab utama dan pemikiran hipotetis seperti yang biasa diasurnsikan. Hal itu hanyalah penopang bagi pendekatan skeptis dan kritis yang umum yang telah ada dan sejak awal karena gereja menjadi agen penopang wahyu. Dengan demikian, di Barat, keberadaan gereja menentukan bentuk pemikiran ilmiah.
Pada permulaan abad ke-13 orangorang Barat telah menerjemahkan hampir seluruh buku Aristoteles, para filosof Yunani lain, dan para filosof, teolog dan iimuwan Islam, dan Bahasa Arab ke Latin. Mereka menerima risalah-risalah teknis tentang astronomi, optik, astrologi, matematika, kimia dan kedokteran secara antusias dan dengan keasyikan tersendiri, sejak mereka dapat menutup jurang keterpisahan yang ada. Tetapi buku-buku Aristoteles itu berbeda karena ide-ide bid’ah yang dibawanya. Sementara al-Ghazãli telah mempersiapkan ide-ide yang dituangkannya dalam Tahafut al-Falasifah selama tiga tahun, orang-orang Barat menghabiskan sekurang-kurangnya sepuluh tahun untuk mencoba memahami implikasi-implikasi dan ide-ide Aristoteles seperti yang ditafsirkan lbn Sinã. Reaksi pertama atas Aristotelianisme muncul pada tahun 1210. Untuk meredakan tuduhan bahwa para mahasiswa itu mempelajari panteisme di fakultas sastra di Paris, Synode (muktamar gereja) Provinsi Sens menegaskan bahwa siapa saja dosen dan mahasiswa fakultas tersebut yang membaca bukubuku Aristoteles ataupun komentar-komentar Ibn Sina akan dihukum dengan pengucilan. Lima tahun kemudian pernyataan yang sama diperbarui. Pada sekitar tahun 1230 orang-orang Barat mulai membaca komentar-komentar Ibn Rushd untuk mempelajari ide-ide ash Aristoteles ketimbang membaca versi Neoplatonis yang ditawarkan Ibn Sina.
Mengikuti semangat pernyataan tahun 1210 dan 1215, pada tahun 1231 Paus Gregory IX memerintahkan untuk membuat suatu komite untuk membuang ide-ide bid’ah yang muncul dan buku-buku Aristoteles dan kom entar-komentarnya. Sejauh yang kita ketahui, komite itu tidak pernah kompak dan gagal melaksanakan perintah tersebut. Akibatnya, pada tahun 1240-an, utamanya setelah kematian Gregory IX, sensor atas Aristoteles dan komentar-komentarnya kehilangan kekuasaannya, dan Roger Bacon mulai mengajarkan ide-ide Aristoteles kepada mahasiswanya pada fakultas sastra di Paris.
Pada tahun 1255, disebabkan oleh statuta baru, adalah wajib bagi para mahasiswa fakultas sastra (faculty of arts) untuk mempelajari ide-ide Aristoteles untuk mendapatkan gelar master mereka. Pada periode antara 1255 dan 1270, Albert the Great dan Thomas Aquinas mengkompromikan filsafat alam Aristotelian dengan iman Kristen. Tetapi pada periode yang sama para pengikut lbn Rushd seperti Siger de Brabant dan Boethius of Dacia secara publik di fakultas sastra Paris mempertahankan ide kekekalan dunia, kesatuan akal (doktrin lbn Rushd tentang monopsikisme), dan ketidakmungkinan kebangkitan kembahi badan yang mati.
Pada tahun 1270 Etienne Tempier, Uskup Paris, mengutuk tiga belas proposisi Aristoteles termasuk ide-ide yang dijelaskan di muka. Karena pengutukan ini tidak sepenuhnya mengurangi semangat Aristotehianisme radikal, maka pada tahun 1277 ia bereaksi atas Aristotehianisme dengan lebih keras dengan mengutuk 219 pnoposisi Anistoteles, lbn Rushd, dan Thomas Aquinas.
Dengan pengutukan pada tahun 1270 dan 1277, orang-orang Barat mengikuti gaya al-Ghazãli yang pada akhir abad ke11 telah mengkritik dua puluh poin Aristotelianisme. Sementara orang-orang Barat atau Etienne Tempier membuat daftar ide-ide bid’ah, al-Ghazãli telah menulis Sebuah buku yang mengagumkan yang menentang ide-ide bid’ah Aristotelianisme tersebut. Dengan demikian, prestasi a!Ghazali itu lebih bermakna, lebih akademis, dan lebih berkesadaran. Ralph Lerncr, Muhsin Mahdi dan Ernest L. Fortin telah mengemukakan karakter pengutukan tahun 1277 yang tidak sistematis itu sbb:
Orang-orang tidak niampu memastikan apakah proposisi-proposisi itu diambil secara tekstual dan tulisan-tulisan Aristotelian. Tidak ada upaya yang nampak dibuat mereka untuk memperkenalkan satu susunan logis. Terlebih lagi, disebabkan kekurangan konteks langsung, maknanya yang tepat tetap saja kabur. Walaupun nampak dipengaruhi oleh Ayerroisme, banyak proposisi-proposisi itu yang merepresentasikan versi kasar dan pengajaran Averroistik yang ash.’9
Pengutukan atau penolakan atas ide-ide bid’ah Aristoteles telah melemahkan pegangan pada Aristotehianisme dan mendorong munculnya alternatif-altematif dan pandangan dunia Aristotelian (Aristotelian worldview). Belakangan, dalam periode Renaissance, gerakan anti-Aristotelian ini telah memunculkan mistisisme dan animisme.
Zaman Renaissance
Renaissance, Abad Kelahiran Kembali, antara rentang tahun 1350 hingga 1550, dimulai pertama-tama di Italia dan belakangan menyebar ke Eropa Utara. Menurut kaum humanis Renaissance, berlangsung sejak keruntuhan lmperium Romawi, zaman kegelapan di Eropa berlangsung selama seribu tahun. Periode, yang juga disebut Abad Pertengahan (Middle Ages), bersifat tidak produktif, mandeg, dan gelap. Ini disebabkan oleh keringnya logika dan metafisika Aristotelian. Sebagai reaksi melawan spekulasi yang gagal dan Skolastikisme dan Kristen, mereka memfokuskan perhatian pada ide-ide tentang figurfigur klasik dalam sastra, arsitektur dan seni. Tetapi tujuan mereka sebenarnya adalah untuk menciptakan zaman baru.
Untuk mencapai zaman baru, orangorang Eropa mulai menggunakan teknologi. Setelah mengkonstruksi hukum-hukum dan membangun kapal-kapal yang lebih canggih, mereka mulai mengeksplorasi dunia dan menemukan tanah-tanah baru. Dengan perjalanan-perjalanan penemuan itulah mereka menemukan emas, budak dan rempah-rempah di tanah-tanah baru dan, agar dapat mengeksploitasi sumbersumber dan orang-orang di tanah baru itu lebih lanjut, mereka pun menjajahnya. Maka dan abad kelima betas itulah mereka mulai mendominasi dunia.
Datam sains, mereka memberontak melawan Aristotetianisme dan memperlemah cengkeramannya dengan mengangkat kembali filsafat-filsafat kiasik Seperti Platonisme, Pythagoreanisme, skeptisisme, dan animisme (Hermeticism) Dengan demikian, seperti a!-Ghazãli, mereka tidak mengikuti otoritas Aristoteles.
Dalam periode knisis ini, para pemikir, ilmuwan, dan filosof percaya bahwa alam semesta (universe) merupakan satu organisme dan selalu terdapat kekuatan gaib di mana-mana. Kekuatan-kekuatan superior
yang dimiliki oleh organ-organ langit dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan inferior. Dengan ide-ide inilah Renaissance menjadi sebuah periode magis par excellence, sejak itu magi atau anti-rasionalisme untuk pertama kalinya mendapatkan status intelektual. Dengan demikian, periode ini, yang di dalamnya terjadi pemburuan para penyihir, bukanlah serasional seperti yang biasa diperkirakan, dan sebenarnya periode ini adalah periode anti-ilmiah.
Filsafat Mekanika

Descartes, Kepler, Galileo, Boyle dan para filosof mekanika lainnya membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder untuk mencopot animisme dan alam. Menurut mereka, kualitas-kualitas primer (properti geometris) dimiliki alam, tetapi kualitas-kualitas sekunder seperti warna, kehalusan, kekerasan, rangsangan, dan rasa pahit hanya muncul dalam pikiran manusia (human mind).
Untuk membuat alam itu pasif dan berbeda, Descartes juga memisahkan pikiran dan tubuh (materi, alam). Pikiran (mind) itu hidup, aktif, dan immaterial, sementara tubuh, alam atau materi adalah pasif. Pikiran itu bukan materi dan materi bukan pikiran. Misalnya, pikiran tidak menempati ruang, tetapi materi menempatinya, karena materi adalah keluasan (extension).
Seperti kita semua ketahui, Descartes pertama-tama membuktikan eksistensi pikiran dengan meragukan segala Sesuatu. Walaupun ia dapat meragukan segala sesuatu, dia tidak dapat meragukan bahwa ia sedang meragui. Maka ia mempunyai proposisi pertama yang diyakininya: cogito ergo sum. Ia belakangan membuktikan eksistensi Tuhan dengan berdasarkan pada ide tentang wujud sempurna dalam pikirannya. Dengan demikian, dengan menjadikan teologi sebagai sekunder dan kekuasaan Tuhan atas alam sebagai tidak efektif, ia membuka jalan bagi filsafat sekular dan mekanika.
Dengan cara inilah orang-orang Barat memisahkan alam dan pikiran dan Tuhan agar dapat memahami dan memanipulasinya dalam kerangka Francis Bacon. Maka, jika kita menggunakan istilah Alexander Koyre, alam menjadi “dijinakkan” (devalorized). Sebagaimana Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas secara tepat menggambarkannya:
Revolusi Cartesian pada abad ke-17 rnenghasilkan dualisme final antara materi dan spirit dalam cara yang membuat alam dibiarkan terbuka untuk dikaji dan melayani sains sekular, dan meletakkan manusia dalam tingkatan dimana tidaic ada yang lain kecuali dunia yang ada di tangannya.
Descartes ingin memahami dasar realitas dengan keyakinan. Untuk tujuan ini ia menggunakan kekuatan rasionalnya dan memproses secara deduktif dengan menggali sebab-sebab fenomena. Misalnya, Descartes mengklaim dapat mengetahui esensi materi. Baginya, mateni adalah keluasan (ekstensi). Dan. asumsi dasar ini ia secara deduktif menyimpulkan bahwa ruang hampa tidak dapat eksis dan bahwa alam semesta itu penuh (plenum). Agar dapat menjelaskan fenomena umum dalam kepenuhan itu, ia secara fiktif menemukan tiga jenis materi yang pada gilirannya digunakan untuk gerak planet dan fenomena lain seperti gravitasi, cahaya dan gerak. Walaupun Descartes menggunakan metode matematika, yaitu metode deduktif, ia tidak dapat mematematisasi filsafat mekanikanya disebabkan penekanannya pada sebab-sebab fenomena dengan pendekatan metafisika atau hipotetis.
Seperti yang diindikasikan sebelumnya, Descartes itu bukanlah satu-satunya arsitek filsafat mekanika. Misalnya, filosof mekanika lain, Gassendi, membangkitkan kembali dan mengknisteruisasi madzhab atomistik kuno dan menenima kesimpulan-kesimpulan skeptisisme dengan menekankan kompleksitas alam. Berbeda dengan Descartes, ia mengklaim bahwa Untuk memahami esensi sesuatu itu tidak mungkmn dan bahwa satu-satunya yang dapat dibuat adalah mendesknipsikan penampakan-penampakan (appearances).
Filsafat mekanika mempenganuhi Revolusi Ilmiah, yang pada gilirannya memainkan peran penting baik pada masa Pencerahan maupun Revolusi Perancis, tetapi sains mendapatkan kekuatan yang sebenarnya ketika ia mulai mempengaruhi teknologi dalam artian yang riil.
[Diambil dari majalah Islamia dengan sedikit penyesuaian bahasa]