Image1. Persoalan :

Bagaimanakah aturan yang diberikan oleh syariat Islam terhadap suatu forum (majelis) yang diikuti oleh sekumpulan laki-laki muslim bersama-sama dengan sekumpulan wanita muslimah?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Sebuah majelis boleh saja diikuti oleh baik laki-laki maupun wanita asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariah, antara lain bahwa didalam majelis itu tidak boleh terjadi khalwat ataupun ikhtilath.

Agar tidak terjadi khalwat, sebuah majelis tidak boleh hanya dilakukan oleh satu orang laki-laki dan satu orang wanita saja, tanpa ada pihak ketiga yang bisa menjadi kontrol bagi keduanya. Agar tidak terjadi ikhtilath, antara laki-laki dan wanita harus terdapat hijab. Tujuan praktis hijab adalah untuk mencegah bercampurbaurnya laki-laki dan wanita serta untuk menjaga pandangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, bentuk hijab yang paling baik adalah dengan memasang suatu pembatas fisik yang sekaligus bisa menghalangi pandangan (berupa kain, papan, dan sebagainya). Namun apabila timbul kesulitan untuk memasang pembatas fisik, maka hendaknya posisi laki-laki dan posisi wanita dibuat sedemikian rupa sehingga tujuan yang sama bisa tercapai, yakni tidak terjadi campur baur dan terjaganya pandangan. Wallahu a’lam.

 

2. Persoalan :

Apakah batasan-batasan yang diberikan oleh syariat Islam terhadap seorang laki-laki yang terpaksa harus mengajar para wanita ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Laki-laki tidak boleh memandang wanita yang bukan haknya, demikian pula sebaliknya, kecuali pandangan yang tidak sengaja. Namun dalam hal ini syariah memberikan pengecualian dalam rangka dharuriyat ataupun hajiyat, dalam beberapa hal seperti kesaksian, pengajaran, peminangan (khithbah), dan transaksi jual beli. Atas dasar inilah, seorang laki-laki diperbolehkan mengajar kaum wanita dengan beberapa ketentuan.

  1. Adalah lebih afdhal apabila kaum wanita diajar oleh seorang wanita pula. Namun jika tidak ada wanita yang mampu mengajar dengan baik, kaum wanita boleh diajar oleh laki-laki.
  2. Agar tidak terjadi khalwat, maka laki-laki tidak boleh hanya mengajar satu orang wanita saja tanpa adanya pihak ketiga yang bisa menjadi kontrol bagi keduanya.
  3. Pengajar laki-laki tersebut harus bisa menjaga kehormatan dirinya dengan cara menjaga pandangannya dan menghindari pembicaraan yang menimbulkan fitnah, baik dari isi pembicaraannya maupun cara berbicaranya.
  4. Hendaknya sedapat mungkin menghindari segala bentuk fitnah. Oleh karena itu jika terdapat dua orang pengajar laki-laki yang sama kemampuan mengajarnya akan tetapi salah satunya mendatangkan fitnah yang lebih besar (misalnya karena faktor penampilan atau karena faktor usia) maka hendaknya yang mengajar adalah yang fitnahnya lebih kecil.
  5. Tidak hanya sang pengajar laki-laki yang harus menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga para wanita yang diajarnya, yakni mereka juga harus menjaga pandangannya (palingkan atau tundukkan pandangan jika muncul fitnah) dan menghindari pembicaraan yang menimbulkan fitnah, baik dari isi pembicaraannya maupun cara berbicaranya.

Wallahu a’lam.

 

3. Persoalan :

Bolehkah seorang wanita mengajar para laki-laki ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Persoalan wanita mengajar laki-laki tidak bisa disamakan begitu saja dengan persoalan laki-laki mengajar wanita. Hal terpenting yang membuat kedua persoalan tersebut berbeda adalah karena perbedaan dalam besarnya fitnah yang ditimbulkan. Sosok wanita menimbulkan fitnah yang lebih besar daripada sosok laki-laki. Kenyataan ini bisa dirasakan oleh semua orang dan bisa pula dilihat dari perbedaan ketentuan syariat antara laki-laki dan wanita, dimana ketentuan untuk wanita relatif jauh lebih ketat daripada untuk laki-laki (dalam hal aturan menutup aurat, aturan keluar rumah, aturan menghias diri, dan sebagainya).

Ketika seorang wanita mengajar para laki-laki, kemungkinan timbulnya fitnah amatlah besar. Saat wanita tersebut berdiri di depan para laki-laki yang bukan haknya, maka dia akan menjadi pusat perhatian dan bahan tontonan mereka. Bahkan suara wanita tersebut saja sudah potensial untuk menimbulkan fitnah.

Syariah melarang seorang wanita mengajar para lelaki yang bukan haknya (mahramnya, anak-anak, orang jompo) dengan alasan untuk menghindari fitnah. Karena itu, wanita hanya boleh mengajar laki-laki manakala diyakini tidak ada fitnah. Secara lebih rinci, beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam persoalan wanita mengajar laki-laki adalah sebagai berikut.

  1. Wanita hanya boleh mengajar laki-laki jika tidak ada lagi laki-laki yang bisa mengajar dengan baik.
  2. Agar tidak terjadi khalwat, maka wanita tidak boleh hanya mengajar satu orang laki-laki saja tanpa adanya pihak ketiga yang bisa menjadi kontrol bagi keduanya. Bahkan kalau kita kembali pada pengertian khalwat, wanita juga hendaknya tidak mengajar dua laki-laki saja, kecuali jika salah satunya adalah mahramnya.
  3. Wanita pengajar tersebut harus benar-benar menjaga kehormatan dirinya, antara lain dengan berbusana muslimah secara baik, tidak bertabarruj, menjaga sikapnya, dan juga tutur katanya baik itu isi pembicaraannya ataupun caranya bertutur kata. Wanita pengajar tersebut tidak boleh mengajar dengan tutur kata yang mendayu-dayu, dilembut-lembutkan, terlalu lirih, atau banyak bergurau sehingga membangkitkan syahwat para laki-laki yang diajarnya.
  4. Untuk menghindari fitnah yang besar, para laki-laki yang diajar haruslah para laki-laki yang bisa menghormati seorang muslimah, tidak melecehkannya, sanggup memelihara sikapnya, tutur katanya, dan juga pandangan matanya. Mereka haruslah memperlakukan sang wanita tersebut dalam posisinya sebagai seorang pengajar yang harus sangat dihormati. Apabila para laki-laki yang diajar itu adalah orang-orang yang fasiq dan tidak bisa menjaga diri maka seorang wanita tidak boleh mengajarnya. Dalam hal ini, mereka harus diajar oleh seorang laki-laki pula.
  5. Hendaknya sedapat mungkin menghindari segala bentuk fitnah. Oleh karena itu jika terdapat dua orang pengajar wanita yang sama kemampuan mengajarnya akan tetapi salah satunya mendatangkan fitnah yang lebih besar (misalnya karena faktor penampilan atau karena faktor usia) maka hendaknya yang mengajar adalah yang fitnahnya lebih kecil.

Wallahu a’lam.

 

4. Persoalan :

Bagaimana pandangan syariat Islam tentang forum bersama di malam hari yang diikuti oleh sekumpulan laki-laki muslim dan sekumpulan wanita muslimah ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Pada dasarnya, forum yang demikian adalah boleh sebagaimana forum serupa juga boleh dilangsungkan pada siang hari. Hanya saja, manakala forum malam hari itu mendatangkan fitnah yang besar maka tentu syariah yang mulia akan melarangnya. Fitnah itu akan muncul dalam beberapa kondisi antara lain sebagai berikut :

1.      Forum malam hari itu membuka kesempatan bagi terjadinya khalwat, ikhtilath, dan hal-hal lainnya yang dilarang oleh syariat.

2.      Forum malam hari itu tidak cukup sanggup mengontrol perilaku setiap pesertanya. Sebagaiman telah disadari oleh semua orang, suasana malam hari merupakan suasana yang sangat kondusif bagi terjadinya perilaku-perilaku yang dilarang oleh syariat, kecuali jika terdapat kontrol yang sangat ketat. Diantara bentuk kontrol itu adalah tersedianya tata ruang dan sistem akomodasi yang tidak memungkinkan terjadinya khalwat, ikhtilath, atau hal-hal lainnya yang dilarang oleh syariat.

Wallahu a’lam.

 

5. Persoalan :

Bagaimanakah pandangan syariah tentang syuro yang dilakukan oleh satu orang laki-laki dan satu orang wanita, tetapi memakai tabir kain yang memisahkan keduanya.

 

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Yang demikian itu masuk kategori khalwat, biarpun memakai tabir. Dalam keadaan khalwat, tidak ada pihak ketiga yang bisa melakukan kontrol terhadap keduanya. Apalah fungsi sebuah tabir jika keduanya telah bersepakat untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat ? Bukankah juga tidak susah untuk membuang tabir itu manakala keduanya bersepakat ? Wallahu a’lam.

 

6. Persoalan :

Bagaimanakah pandangan syariah tentang syuro yang dilakukan oleh sekumpulan laki-laki bersama satu orang wanita saja ? Dan bagaimana pula jika sebaliknya, yakni sekumpulan wanita bersama satu orang laki-laki saja ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Seorang wanita boleh berada satu majelis dengan tiga laki-laki ajnabiy atau lebih, dengan menjaga ketentuan-ketentuan syariah. Adapun jika seorang wanita berada satu majelis dengan dua orang laki-laki, maka salah satunya haruslah mahramnya. Jika tidak maka tidak boleh.

Seorang laki-laki boleh berada satu majelis dengan dua wanita ajnabiyah atau lebih, dengan menjaga ketentuan-ketentuan syariah. Tetapi berapapun jumlah wanita yang menyertainya, jika muncul fitnah yang hebat maka hendaknya majelis itu tidak dilangsungkan. Yang demikian ini karena menghindari fitnah merupakan hal yang paling esensial. Wallahu a’lam.

 

7. Persoalan :

Kami biasa melakukan syuro, yang diikuti oleh para laki-laki dan para wanita. Meskipun kami memasang tabir dari kain atau dari papan, tetapi kami sering bergurau atau bercakap-cakap dengan cara-cara yang cukup menggoda. Bagaimana pandangan syariah terhadap fenomena ini ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Yang demikian itu belum sampai pada maksud yang ingin dituju. Hijab disyariatkan untuk menjaga hati dari fitnah. Jika hijab dipasang tetapi hal-hal sebagaimana yang disebutkan diatas masih terjadi, maka itu berarti hijab yang ada masih belum berfungsi dengan sempurna. Kesempunaan fungsi hijab itu tercapai manakala tercapai segenap maksud-maksudnya. Wallahu a’lam.

 

8. Persoalan :

Bagaimana jika syuro antara laki-laki dan wanita sangat sering dilakukan. Apakah itu boleh ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Dalam hal ini kita harus mengambil sikap pertengahan dan proporsional. Syuro antara laki-laki dan wanita hendaknya tidak terlalu sering dilakukan sementara seharusnya tidak harus sesering itu. Namun jangan pula syuro itu sedemikian jarang dilakukan sehingga agenda-agenda kegiatan menjadi terbengkalai. Wallahu a’lam.

 

9. Persoalan :

Bagaimana pandangan syariat Islam tentang berjabat tangan antara dua orang yang berlainan jenis ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Dua orang yang berlainan jenis dan bukan mahram satu sama lain tidak boleh saling berjabat tangan. Syariat melarangnya dalam rangka mencegah fitnah. Namun jika diyakini tidak ada fitnah bagi kedua belah pihak, maka diperbolehkan saling berjabat tangan, misalnya berjabat tangan dengan orang yang jompo (yang sudah tidak memiliki syahwat dan juga sudah tidak menimbulkan syahwat) atau anak-anak. Wallahu a’lam.

 

10. Persoalan :

Kita lihat sehari-hari bahwa di angkutan-angkutan umum, apakah itu bus, kereta api, mikrolet, dan sebagainya para laki-laki dan wanita bercampur baur dalam satu kendaraan. Bahkan kerap kali para penumpang yang berlainan jenis itu harus berdesak-desakan. Bagaimana pandangan syariah terhadap fenomena ini ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Pada dasarnya, syariat melarang ikhtilath (campur baur) antara kaum laki-laki dan kaum wanita. Sehingga, sebetulnya segenap pihak yang memiliki sulthah (kekuasaan, kemampuan) untuk mencegah ikhtilath seperti digambarkan diatas berkewajiban untuk mencegahnya. Misalnya, dengan cara membatasi jumlah penumpang sesuai kapasitas kendaraan sehingga tidak berdesak-desakan atau dengan cara menata tempat duduk dalam kendaraan sehingga tidak terjadi ikhtilath. Dalam hal kapasitas penumpang misalnya, barangkali pihak yang berwenang sudah menetapkan aturan yang baik, tetapi karena tidak ada pengawasan dan pengendalian yang baik di lapangan maka aturan tersebut tidak berfungsi. Adapun mengenai gagasan pemisahan antara tempat duduk laki-laki dan wanita memang belum ada dan kedepan harus diusahakan agar gagasan ini terwujud.

Betapa menyedihkan ketika kita melihat kenyataan bahwa kaum laki-laki dan wanita harus saling berdesak-desakan karena terlalu melebihi kapasitas kendaraan. Dalam kondisi demikian, kita lihat telah terjadi banyak sekali kejadian pelecehan seksual. Hal ini semakin diperburuk dengan kondisi orang-orang disekitarnya yang sudah tidak memiliki ghirah amar ma’ruf nahi munkar.

Jika segenap pihak yang memiliki sulthah tidak juga mencegah fenomena ikhtilath sebagaimana digambarkan diatas, meskipun sudah diingatkan dan didesak, maka adalah kewajiban tiap-tiap individu untuk sebisa mungkin menghindari terjadinya fenomena tersebut. Misalnya, ketika kita melihat bahwa penumpang sudah melebihi kapasitas kendaraan, maka hendaknya kita memilih kendaraan lainnya, jika memang ada. Disamping itu, setiap kita berkewajiban pula untuk menjelaskan masalah ini kepada masyarakat, dalam rangka dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Wallahu a’lam.

 

11. Persoalan :

Saya pernah mendapati bahwa Fulanah yang seorang muslimah dan belum menikah telah mengadakan perjalanan jauh dari Banyuwangi ke Bandung atau bahkan dari Makasar ke Jakarta bersama-sama dengan beberapa teman laki-lakinya yang muslim dan kebanyakan diantara laki-laki itu belum menikah. Tidak ada satu pun diantara laki-laki yang menemaninya itu yang merupakan mahram bagi Fulanah. Tetapi dalam kesehariannya, semua laki-laki tersebut adalah orang-orang yang shalih. Bagaimana pandangan syariah terhadap fenomena ini ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan jauh kecuali dengan disertai oleh mahramnya, atas dasar keamanan dan mencegah fitnah. Namun jika ketentuan tersebut  memang benar-benar sulit untuk bisa dipenuhi, sementara si wanita tetap harus melakukan perjalanan jauh, maka hendaknya dicari jalan keluar yang sedapat mungkin bisa menjamin dua hal : keamanan dan menghindari fitnah. Wallahu a’lam.

 

12. Persoalan :

Bolehkah seorang mahasiswa laki-laki berangkat ke kampus ataupun pulang dari kampus dengan berjalan kaki berduaan bersama seorang mahasiswa wanita ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya tanpa ada pihak ketiga yang bisa menjadi kontrol bagi keduanya adalah haram, dilarang oleh syariat. Berjalan berduaan sebagaimana disebutkan diatas dilarang terutama jika lingkungan di sekitarnya tidak bisa menjadi kontrol, sehingga keduanya sangat rentan untuk jatuh kedalam fitnah. Wallahu a’lam.

 

13. Persoalan :

Saya mendengar bahwa di beberapa kalangan para dai,  untuk mencari atau menentukan pasangan pernikahan mesti dilakukan dengan perantaraan orang ketiga. Apakah menurut syariah hal itu merupakan suatu keharusan? Apakah jika tidak ada perantaraan orang ketiga, pernikahan itu termasuk pernikahan yang tidak baik atau kurang afdhal ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Yang dilarang oleh Islam adalah apa yang biasa dikenal sebagai pacaran. Tanpa berpacaran , lantas bagaimana seseorang bisa mencari jodohnya dengan tepat ? Dalam hal ini, berbagai cara diperbolehkan sepanjang sesuai dengan syariat. Memang yang paling mudah dan efektif adalah dengan melalui orang ketiga. Disamping bisa terhindar dari pacaran, dengan orang ketiga yang tepat kita juga bisa dibantu untuk mendapatkan jodoh yang tepat. Namun itu bukanlah satu-satunya cara, karena syariat sendiri tidak memberikan pembatasan pada cara itu saja. Jika seseorang misalnya, tanpa orang ketiga, telah mengetahui atau mendapatkan orang yang dirasa tepat untuk dia nikahi, tanpa melanggar aturan syariat, maka dia bisa langsung melakukan proses khithbah.

Hal penting yang harus diperhatikan sewaktu mencari atau menentukan jodoh adalah atas dasar apa si calon itu dipilih. Islam memberikan tuntunan agar kita mesti memperhatikan bagaimana agama dari si calon. Dalam hal ini, meminta pertimbangan pada pihak-pihak ketiga memang sangat membantu karena sering terjadi bahwa jika kita mencari atau menentukan sendirian saja maka kita bisa terperdaya pada faktor-faktor lain – misalnya kecantikan, harta, atau kedudukan semata-mata - sehingga mengabaikan faktor agama.  Wallahu a’lam.

 

14. Persoalan :

Terhadap seorang wanita muslimah yang keluar rumah terlalu malam, masyarakat memandangnya sebagai sesuatu yang tidak pantas. Bagaimana pandangan syariah dalam masalah ini ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Jika memang dengan keluar rumah terlalu malam itu muncul fitnah, misalnya karena lingkungannya tidak kondusif, maka yang demikian itu tidak baik. Terlebih lagi, malam memang berbeda dengan siang. Di malam hari, potensi fitnah memang sangat besar. Kalau masyarakat punya pandangan sedemikian, maka itu menunjukkan bahwa masyarakat itu masih sehat, karena memiliki ghirah yang tinggi terhadap amar ma’ruf nahi munkar. Yang justeru memprihatinkan adalah jika masyarakat bersikap acuh tak acuh terhadap hal-hal seperti itu.

Tetapi jika keluar rumah terlalu malam itu dalam suatu keadaan yang tidak memunculkan fitnah, maka tidak ada larangan dalam masalah ini. Wallahu a’lam.

 

15. Persoalan :

Bagaimana pandangan syariah tentang seorang muslimah yang memakai celana tetapi cukup longgar ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Islam tidak pernah menetapkan mode pakaian tertentu sebagai satu-satunya yang diperbolehkan. Islam hanya menetapkan persyaratan-persyaratan umum antara lain menutup aurat, tidak transparan, tidak sedemikian ketat sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, tidak menyerupai pakaian laki-laki dan tidak pula menyerupai pakaian khas orang-orang kafir. Sepanjang persyaratan-persyaratan tersebut dipenuhi, maka syariat tidak melarang seseorang untuk mengenakannya. Bahkan perlu diperhatikan pula bahwa ketika keluar rumah, hendaknya seorang muslimah tidak hanya mengenakan rok (terutama jika terbuat dari kain yang lentur atau tidak terlalu tebal) tanpa pakaian dalam semisal celana. Sebab, yang demikian itu amat rentan bagi terlihatnya aurat, misalnya jika tertiup angin, ketika menaiki tangga, dan sebagainya.  Memang pakaian dalam ini bukanlah keharusan, tetapi akan lebih baik jika dikenakan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam.

 

16. Persoalan :

Bagaimana pandangan syariah tentang seorang muslimah yang memakai jilbab tetapi tidak dijulurkan kedepan dadanya, yakni dinaikkan ke bahunya atau sekitar lehernya, atau dimasukkan kedalam lubang bajunya ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Cara berjilbab yang benar ialah menutupi seluruh kepalanya kecuali wajahnya, dan dijulurkan ke al-jaib. Kata al-jaib disini, sebagaimana disebut dalam Ayat Jilbab, bisa memiliki beberapa makna. Pertama, lubang baju disekitar leher. Kedua, dada. Jika kita memakai makna pertama, maka tidaklah apa-apa menaikkan ujung jilbab ke sekitar leher sepanjang tidak ada bagian tubuh yang terlihat dan baju yang dipakai cukup longgar sehingga tidak memperlihatkan bentuk dada. Namun jika kita memakai makna kedua, maka ujung jilbab harus dijulurkan kedepan dada. Yang lebih afdhal adalah menjulurkan jilbab kedepan dada, karena lebih aman dari timbulnya fitnah dan juga lebih hati-hati dalam menyikapi perselisihan (Keluar dari perbedaan pendapat adalah lebih utama). Wallahu a’lam.

 

17. Persoalan :

Bolehkah seorang laki-laki muslim berkomunikasi dengan seorang wanita melalui email, chatting, atau surat-menyurat ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Pada dasarnya tidak ada larangan terhadap itu semua. Tetapi, semua itu bisa dilarang apabila cenderung memunculkan fitnah. Terkadang, dengan bentuk-bentuk komunikasi tak langsung seperti itu, seseorang memang lebih berani untuk mengemukakan hal-hal yang seharusnya tidak dikemukakan. Dalam kondisi semacam ini, pintu fitnah menjadi terbuka. Pada saat itulah, menutup pintu-pintu fitnah merupakan hal yang lebih utama. Wallahu a’lam.

 

18. Persoalan :

Saya memiliki seorang teman laki-laki, muslim. Karena menurutnya ia sangat dibatasi untuk bisa berkomunikasi secara langsung dengan teman wanitanya, maka ia menjadi sangat sering berkomunikasi dengan teman wanitanya itu melalui telepon. Bagaimana syariah memandang fenomena ini ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Sebagaimana persoalan sebelum ini, maka berkomunikasi lewat telepon pada dasarnya tidaklah dilarang. Akan tetapi jika cenderung memunculkan fitnah, misalnya karena terlalu sering atau karena diantara mereka ada yang tidak bisa menjaga diri, menjaga cara berbicaranya, maka sebaiknya dihindari, karena dengan demikian kita telah menutup pintu-pintu fitnah.

Untuk mencegah berbagai fitnah yang mungkin timbul, hubungan telepon hendaknya dilakukan hanya jika benar-benar penting. Tatkala terdapat suatu hal penting yang harus dibicarakan, barangkali pembicaraan tidak akan ngelantur pada hal-hal lain yang tidak perlu dibicarakan. Wallahu a’lam.

 

19. Persoalan :

Bolehkah para wanita muslimah ikut menyanyi dalam suatu aksi demonstrasi ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Para wanita tidak boleh bersuara dengan cara yang menimbulkan fitnah dihadapan orang-orang yang bukan haknya (mahramnya, anak-anak). Termasuk dalam kategori ini adalah menyanyi, karena kita ketahui bahwa menyanyi itu dilakukan dengan suara yang merdu, meliuk-liuk dan berirama. Seorang wanita boleh saja menyanyi dihadapan suaminya atau anak-anak yang belum baligh. Tetapi jika itu dilakukan dihadapan orang-orang asing, maka alasan apa yang membuatnya boleh ?

Yang bisa membuatnya boleh adalah jika tidak ada fitnah sama sekali. Misalnya jika suara para wanita itu tenggelam dalam suara kaum laki-laki sehingga tidak ada yang bisa mendengarnya kecuali para wanita itu sendiri. Sepanjang memunculkan fitnah, maka bagaimana hal itu diperbolehkan ? Bukankah demonstrasi itu tidak mesti dilakukan dengan nyanyian para wanita ? Bukankah masih terdapat banyak sekali cara-cara lainnya yang tidak melanggar syariat ? Wallahu a’lam.

 

20. Persoalan :

Bagaimana jika seorang wanita melakukan orasi dihadapan banyak orang yang tidak hanya kaum wanita ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Kalau kita perhatikan kenyataan, orasi oleh seorang wanita dalam sebuah demonstrasi, dihadapan massa laki-laki - meskipun disana terdapat pula para wanita – sangatlah dekat kepada fitnah. Sepintas lalu barangkali persoalan ini menyerupai persoalan wanita mengajar kaum laki-laki, namun disana terdapat perbedaan suasana, kondisi dan situasi, sedemikian sehingga didapati bahwa dalam kasus demonstrasi terdapat fitnah yang lebih besar. Ini hanyalah sejauh berbagai kasus di lapangan. Jika memang terdapat kasus lain yang tidak demikian, maka permasalahannya bisa berbeda pula.

Demikian pula jika seorang wanita berorasi dihadapan massa wanita saja dan tidak dihadapan massa laki-laki yang berada pada posisi yang lain, maka tentunya fitnahnya pun lebih kecil. Hanya saja perlu dilihat pula keberadaan kaum laki-laki yang meskipun tidak berdiri dihadapannya namun bisa turut menyaksikan.

Sebenarnya, inti dari persoalan ini ialah sepanjang tidak ada fitnah maka tidak ada larangan. Hanya saja kita lihat bahwa dalam kenyataannya, sebagaimana dipaparkan diatas, kemungkinan munculnya fitnah amatlah besar. Sehingga, seakan-akan atau hampir bisa dikatakan bahwa seorang wanita tidak boleh berorasi dihadapan massa laki-laki. Adapun dihadapan massa wanita, kita lihat apakah akan menimbulkan fitnah ataukah tidak.  Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya jika dalam sebuah orasi dihadapan massa wanita, seorang orator wanita dipilih dari yang pandai berorasi semantara suaranya dan gaya bicaranya tidak menimbulkan fitnah, maka tidak ada larangan dalam hal ini. Bahkan, jika oratornya itu laki-laki kemudian menimbulkan fitnah yang lebih besar bagi kaum wanita yang ada dihadapannya, maka orator wanita lebih baik. Jadi jika terdapat dua madharat dan tidak ada pilihan lain kecuali jatuh kedalam salah satu dari keduanya, maka kita harus memilih madharat yang lebih kecil (akhaffu dhararain). Wallahu a’lam.

 

21. Persoalan :

Bolehkan kaum wanita ikut keluar berdemonstrasi ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Ini terkait dengan masalah maslahat dan madharat. Jika demonstrasi memang harus dilakukan dengan turut sertanya kaum wanita, misalnya karena minimnya jumlah demonstran laki-laki atau karena tema / tuntutan yang diusung mengharuskan turunnya kaum wanita itu sendiri, dan jika demonstrasi itu tidak dilakukan sedemikian maka akan timbul madharat (kerusakan) yang lebih besar, maka mencegah madharat yang lebih besar adalah lebih utama. Hanya saja dalam kondisi sedemikian, segenap fitnah haruslah sedapat mungkin diminimalkan.

Tetapi dalam kondisi dimana turunnya para wanita itu menimbulkan madharat yang lebih besar, misalnya ketika kehormatan mereka terancam, maka para wanita itu tidak boleh turun ke jalan. Dalam kondisi dimana demonstrasi sudah cukup dilakukan oleh kaum laki-laki saja, maka hendaknya para wanita tidak ikut turun ke garda depan demonstrasi. Mereka bisa saja membantu terselenggaranya demonstrasi itu dari sisi-sisi yang lebih aman dari fitnah, seperti pembuatan pamflet dan atribut-atribut demonstrasi, membantu urusan medis di garis belakang, pembuatan konsumsi bila perlu, dan sebagainya. Wallahu a’lam.

 

22. Persoalan :

Bolehkah seorang anak perempuan yang belum baligh menari didepan umum, dimana disana terdapat kaum laki-laki ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Meskipun anak perempuan itu belum baligh, tetapi jika dia menari akan menimbulkan fitnah bagi yang melihatnya, maka itu tidak boleh. Tetapi jika tidak ada fitnah yang muncul, maka tidak ada larangan dalam hal ini. Wallahu a’lam.

 

23. Persoalan :

Seberapa jauh syariah memberikan rukhshah mengenai interaksi antara dua orang yang berlainan jenis dalam dunia pengobatan ? Yakni antara dokter pria dan pasien wanita, atau antara dokter wanita dan pasien pria ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Jika memungkinkan, maka dalam bentuk-bentuk pengobatan yang mengharuskan sang dokter melihat aurat atau menyentuh bagian-bagian tubuh sang pasien, hendaknya dokter dan pasien itu satu jenis kelamin. Tetapi jika yang demikian itu tidak memungkinkan, maka hendaknya segala bentuk fitnah diminimalkan. Misalnya, hendaknya sang dokter itu seorang muslim yang bisa dipercaya. Jika seorang dokter laki-laki terpaksa harus melihat atau bahkan menyentuh bagian-bagian tubuh yang sangat rahasia dari seorang pasien wanita yang memungkinkan  timbulnya fitnah (karena itu tidaklah termasuk disini jika misalnya sang pasien itu wanita yang sudah sangat tua renta), maka harus ada suami atau mahram wanita tersebut yang ikut menyertai. Pangkal dari ini semua adalah muwazanah bainal mashalih wal mafasid (menimbang antara maslahat dan madharat). Wallahu a’lam.

 

24. Persoalan :

Bagaimana pandangan syariah tentang kaum wanita yang bersorak-sorak atau berteriak-teriak karena kagum atau memberikan dukungan kepada sebuah kelompok nasyid diatas pentas ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Yang demikian itu adalah perbuatan jahiliyah, yang menyerupai kebiasaan orang-orang kafir dan para pelaku maksiat. Larangan ini didasarkan pada beberapa hal antara lain :

  1. Sorak-sorai dan teriakan yang berlebihan itu akan menyebabkan ghaflah (lupa mengingat Allah).
  2. Sorak-sorai dan teriakan para wanita sedemikian itu akan memunculkan fitnah bagi para laki-laki yang  mendengarkan dan menyaksikannya.
  3. Sorak-sorai dan teriakan sedemikian itu cenderung menyebabkan para munsyid itu menjadi ujub, lupa diri, dan ghaflah.

Wallahu a’lam.

 

25. Persoalan :

Bolehkah seorang wanita membacakan sebuah puisi di hadapan umum, yang disana terdapat kaum laki-laki?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Sepanjang bacaan puisi itu tidak memunculkan fitnah, maka tidak ada larangan dalam hal ini. Tetapi jika memunculkan fitnah, misalnya karena dia melantunkannya dengan suara yang sedemikian rupa atau dengan gerakan tubuh yang sedemikian rupa, maka hal itu tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam.

 

26. Persoalan :

Bagaimana pandangan syariah tentang ditampilkannya gambar foto model, gadis sampul, dan semacamnya pada majalah-majalah tetapi wanita dalam gambar tersebut telah menutup auratnya dan juga tidak bertabarruj ?

Jawaban :

Alhamdulillah. Washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa ba’du. Mari kita renungkan, mengapa wanita itu ditampilkan disana ? Apakah mungkin seorang wanita yang buruk rupa ditampilkan disana meskipun ia berprestasi ? Jika tujuannya adalah untuk dipertontonkan karena penampilannya menarik, maka bagaimana Islam akan membolehkan dibukanya pintu-pintu fitnah ? Tidak boleh ! Meskipun sudah menutup aurat dan tidak bertabarruj, karena tujuannya merupakan tujuan yang tidak diperkenankan oleh syariat, yakni untuk mempertontonkan kecantikan semata-mata.

Adapun jika gambar seorang wanita ditampilkan atas dasar prestasinya atau karena alasan-alasan lain yang diperkenankan, maka hal itu tidak dilarang sepanjang menutup aurat, tidak bertabarruj, dan dilakukan dengan cara-cara yang tidak mengundang fitnah. Wallahu a’lam.