Yang dimaksud dengan menundukkan (sebagian) pandangan (al-ghadhdh min al-abshar) disini adalah menahan (kaff) pandangan mata dari hal-hal yang haram dilihat (Tanwir al-Miqbaas fi Tafsir Ibn ‘Abbas). Perintah menundukkan pandangan ditujukan kepada mukmin dan mukminah dalam Al-Qur’an surat Al-Nur 30 – 31. Dr. Yusuf Al-Qaradhawiy menjelaskan bahwa digunakannya kata min (li tab’idh) pada ayat diatas adalah karena memang tidak semua pandangan harus ditahan. Hanya pandangan mata terhadap yang haram dilihat saja yang harus ditahan (Fatwa-fatwa Kontemporer oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawiy).
Sebagai awalan, ada beberapa hal yang sudah disepakati dalam masalah pandangan mata (al-nazhr).
Memandang aurat orang lain yang tidak ditutup adalah tidak boleh, baik disertai syahwat ataupun tidak. Hanya saja batasan-batasan aurat itu berbeda-beda, tergantung pada jender, usia (anak-anak, dewasa, atau orang tua), kondisi (saat shalat atau diluar shalat), dan lingkungan (sedang bersama siapa). Disamping itu, dalam masalah batasan-batasan aurat juga terdapat perbedaan pendapat para ulama’.
Memandang lawan jenis dengan tujuan taladzdzudz (memuaskan nafsu) adalah tidak boleh.
Apabila diyakini akan timbul fitnah (godaan), maka memandang lawan jenis adalah tidak boleh.
Pandangan seketika yang tidak disengaja terhadap lawan jenis adalah dimaafkan.
Tujuan dari perintah menundukkan pandangan adalah untuk menghindari fitnah sehingga hati tetap bersih dan tidak terdorong untuk melakukan perbuatan yang keji. (QS Al-Nur: 30)
Apabila ada hajat syar’iyyah atau bahkan dharurat maka diperbolehkan memandang lawan jenis dalam rangka memenuhi hajat atau dharurat tersebut. Diantara hajat syar’iyyah tersebut adalah melamar, bersaksi, mengobati, dan mengajar. Namun hajat syar’iyyah tidaklah hanya terbatas pada beberapa hal tersebut saja (Masalah ini dibahas lebih mendalam dalam kajian ushul fiqh).
Persoalan menundukkan pandangan ini bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, masalah pria memandang wanita. Kedua, masalah wanita memandang pria.
Dalam masalah pria memandang wanita, ada yang berpendapat tidak boleh sama sekali, kecuali pandangan seketika yang tidak sengaja atau karena terpaksa (ada hajat syar’iyyah atau dharurat). Golongan ini antara lain berhujjah dengan hadits Nabi yang menerangkan bahwa ketika Fadhl ibn ‘Abbas sedang saling berpandangan dengan seorang wanita Khats’am, Nabi segera memalingkan wajah Fadhl ke arah lain (Hadits riwayat Al-Bukhari dan yang lainnya, dari Ibn ‘Abbas). Mereka juga berhujjah dengan hadits yang menerangkan bahwa Nabi berpesan kepada ‘Ali ibn Abu Thalib, “Wahai ‘Ali, janganlah engkau ikuti sebuah pandangan dengan pandangan (berikutnya). Yang boleh bagimu hanyalah pandangan pertama, sementara pandangan berikutnya tidak boleh”.
Disamping itu ada pula yang berpendapat boleh asalkan tidak untuk taladzdzudz dan tidak ada fitnah. Apabila sebelumnya seseorang sudah yakin bahwa dengan melihat Fulanah dia akan mengalami fitnah, maka sejak awal dia tidak boleh memandangnya, kecuali tidak sengaja atau terpaksa (karena hajat syar’iyyah atau dharurat). Argumentasi mereka adalah bahwasanya esensi dari dilarangnya seorang pria memandang wanita adalah menghindari fitnah. Apabila ada keyakinan (dan didukung oleh kelaziman) bahwa tidak akan ada fitnah, maka dia boleh memandang seorang wanita yang telah menutup auratnya. Namun apabila ternyata terjadi fitnah maka dia harus segera memalingkan pandangannya. Dan sekali lagi, apabila sejak awal sudah yakin akan timbul fitnah maka sejak awal pula dia tidak boleh memandangnya.
Sebetulnya diantara kedua pendapat diatas tetap ada titik temunya, yaitu bahwasanya apabila dikhawatirkan (dengan dugaan kuat dan menurut kelaziman) terjadi fitnah, maka seorang pria tidak boleh memandang wanita tersebut.
Berikutnya adalah masalah wanita memandang pria. Dalam perkembangannya, ada dua pendapat utama mengenai perintah menundukkan pandangan bagi wanita terhadap pria. Pendapat pertama mengatakan bahwa wanita tidak boleh memandang pria meskipun ia sudah menutup aurat. Pandangan yang diperbolehkan hanyalah pandangan seketika yang tidak sengaja atau karena terpaksa (ada hajat syar’iyyah atau dharurat). Pendapat ini didasarkan pada hadits yang menerangkan bahwa Nabi melarang kedua istrinya, Umm Salamah dan Maimunah, untuk memandang Ibn Umm Maktum meskipun ia buta (Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Turmudziy, dari Umm Salamah, dengan derajat hasan shahih). Mereka berpendapat bahwa khithab terhadap kedua istri Nabi ini juga berlaku bagi seluruh kaum mukminah.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita boleh memandang secara sengaja kepada pria, asalkan pria tersebut telah menutup aurat, hanya saja apabila kemudian timbul fitnah maka saat itu juga pandangan mata harus dipalingkan. Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi yang menerangkan bahwa Aisyah telah melihat orang-orang Habasyah bermain (perang-perangan) didalam masjid (Hadits muttafaq ‘alaih, dari Aisyah). Golongan ini juga membantah pendapat pertama dengan mengatakan bahwa hadits Umm Salamah adalah khusus untuk para istri Nabi. Abu Dawud sendiri – yang ikut meriwayatkan hadits Umm Salamah – juga berpendapat demikian. Golongan ini juga berhujjah dengan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah telah memerintahkan Fathimah bint Qais untuk menghabiskan masa ‘iddahnya di rumah Ibn Umm Maktum yang buta sehingga ia bisa berganti pakaian dengan leluasa disana (Hadits muttafaq ‘alaih, dari Fathimah bint Qais).
Namun, golongan pertama menguatkan pendapatnya dan melemahkan pendapat kedua dengan mengatakan bahwa pada saat melihat orang-orang Habasyah, Aisyah belum baligh. Namun argumentasi ini sepertinya amat spekulatif (Apalagi, bukankah lebih mungkin bahwa Nabi berkumpul dengan Aisyah setelah Aisyah baligh).
Golongan pertama juga melemahkan argumentasi golongan kedua dengan mengatakan bahwa mungkin Fathimah bint Qais senantiasa menundukkan pandangannya selama berada di rumah Umm Maktum. (‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, jilid 11 hal 168 – 171)
Sebetulnya, kedua pendapat diatas bisa dikompromikan. Kompromi yang dimaksud adalah kesimpulan bahwa kaum mukminah diperbolehkan secara sengaja memandang pria yang telah menutup aurat, asalkan tidak untuk taladzdzudz. Apabila saat memandang muncul fitnah maka ia harus segera memalingkan (menundukkan) pandangannya. Barulah apabila wanita tersebut yakin bahwa dengan memandang pria tertentu ia akan dilanda fitnah maka sejak awal ia tidak boleh memandangnya kecuali tidak sengaja atau terpaksa (karena hajat syar’iyyah atau dharurat).
Ibn Taimiyyah dalam bukunya Majmu’ Fatawa (jilid 15, kitab Tafsir, hal 410 – 427) menjelaskan bahwa masalah menundukkan pandangan dibedakan atas dua. Pertama, menundukkan pandangan dari aurat. Dalam hal ini seseorang dilarang memandang aurat orang lain selain istri / suaminya. Aurat juga boleh dibuka apabila ada hajat seperti tatkala berganti pakaian, mandi, dan sebagainya.
Kedua, menundukkan pandangan dari syahwat. Setiap pandangan yang disertai dengan syahwat adalah tidak boleh secara pasti, baik itu syahwat karena membayangkan hubungan badan (membayangkan seandainya membelai/dibelai, mencium/dicium, memeluk/dipeluk, dan seterusnya. Maaf, agar jelas) ataupun sekedar syahwat karena nikmatnya memandang (misalnya karena anggun dan semacamnya).
Beliau bahkan mengatakan bahwa memandang benda-benda di alam dengan tujuan untuk bersenang-senang saja adalah bathil. Memandang benda-benda di alam haruslah dalam rangka merenungkan kebesaran dan kekuasaan Penciptanya.
Beliau juga mengatakan bahwa memandang dengan kagum gaya dan penampilan fisik orang-orang munafik yang memukau adalah tercela, meskipun dalam hal ini tidak ada unsur syahwat (QS Al-Munafiqun: 4) Beliau kemudian mengemukakan qiyas aula. Kalau sebagian pandangan mata tanpa syahwat saja dilarang maka bagaimana halnya dengan pandangan mata yang disertai syahwat?
Dalam ayat ghadh al-bashar terdapat ‘illah “dzalika azka lakum” (yang demikian itu lebih suci bagi [hati] kalian). Kesucian hati disini adalah keterbebasan hati dari berbagai keinginan yang hina dan keji. Bagaimanakah cara mencapai kesucian hati? Dalam konteks ini, tidak lain adalah dengan menghindari fitnah karena fitnah akan selalu mengajak kepada perbuatan-perbuatan yang keji, yang mengotori hati manusia.
Jadi, sebetulnya ‘illah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an (‘illah manshushah) adalah kesucian hati. Hanya saja karena kesucian hati itu sulit diukur, maka ‘illah kita alihkan kepada yang lebih mudah diukur, yakni keterhindaran dari fitnah.
Kiranya perlu ditegaskan lagi bahwasanya esensi dari pandangan yang dilarang adalah timbulnya fitnah. Atas dasar ini, pandangan terhadap anak-anak yang belum baligh atau mahram sekalipun, apabila ternyata menimbulkan fitnah, maka hukumnya adalah tidak boleh. Alasannya, karena disitu telah ada 'illah (dalam bahasa Ibn Taimiyyah: haqiqah al-hikmah). Jadi, hukum tergantung pada ada tidaknya ‘illah (esensi).
Menundukkan pandangan memiliki berbagai hikmah yang tak terkira nilainya. Diantara berbagai hikmah tersebut adalah:
Akan dikaruniai oleh Allah kelezatan iman. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi,”Barangsiapa memandang seorang wanita kemudian menundukkan (memalingkan) pandangannya (karena takut fitnah, pen) maka Allah akan mengkaruniakan kepadanya kelezatan iman”.
Akan dikaruniai oleh Allah cahaya kalbu dan kekuatan firasat. Karena itulah setelah menerangkan perintah menundukkan pandangan dan berbagai perintah untuk bersikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri) maka Allah menyambungnya dengan ayat Cahaya, yang menerangkan tentang cahaya-Nya yang Agung (yang tersulut sendiri tanpa disulut).
Akan dikaruniai oleh Allah kekuatan dan ketetapan hati serta keberanian. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, jilid 15, kitab Tafsir, hal 410 – 427)