Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. ‘Allamah Hujjatul Islam Abu Ja’far Al-Waraaq Al-Thahaawiy – di Mesir - , semoga Allah merahmatinya, mengatakan : Berikut ini merupakan penjelasan tentang aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, yang dianut oleh para fuqaha kita yakni Abu Hanifah Al-Nu’maan ibn Tsaabit Al-Kuufiy, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim Al-Anshariy, dan Abu Abdillah Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibaniy – semoga ridha Allah atas mereka -. Aqidah inilah yang telah mereka yakini sebagai asas-asas agama (ushul al-din) dan dengan aqidah ini pulalah mereka tunduk patuh kepada Rabb semesta alam. Dalam masalah tauhidullah yang telah mereka yakini dengan taufiq Allah, kita mengatakan bahwa :
Sesungguhnya Allah adalah satu, tiada sekutu bagi-Nya, tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, tidak ada sesuatu pun yang sanggup melemahkan atau mengalahkan-Nya, tidak ada ilah selain Dia, Dahulu (Qadiim) tanpa permulaan, Senantiasa Ada (Daa-im) tanpa kesudahan, tidak bisa rusak atau musnah, Ia tidaklah berkehendak atau berbuat kecuali menurut apa yang Ia kehendaki, tidak bisa dijangkau dengan perkiraan, tidak bisa dicapai dengan pemahaman akal, tidak ada satu makhluq pun yang bisa menyerupai-Nya, Ia hidup tidak pernah mati, Ia senantiasa berjaga dan berdiri sendiri (Qayyum) tanpa pernah tidur, Maha Menciptakan tanpa merasa butuh kepada ciptaan-Nya, Maha Memberi Rizqi tanpa terkurangi sedikit pun juga, Maha Mematikan tanpa rasa takut, Maha Membangkitkan tanpa kesulitan, senantiasa qadiim dengan sifat-sifat-Nya sebelum ciptaan-Nya muncul, Sifat-sifat-Nya tidak bertambah dari sifat-sifat awal-Nya (sebelum menciptakan makhluq) lantaran sesuatu dari makhluq-Nya. Sebagaimana Dia bersifat azali maka Dia juga bersifat abadi. Tidaklah sesudah menciptakan makhluq lalu Ia baru menyandang nama Al-Khaliq. Tidak pula sesudah mengadakan ciptaan (bariyyah) lalu Ia baru menyandang nama Al-Baariy. Ia memiliki sifat rububiyah (men-tarbiyah) dan bukan di-tarbiyah. Ia memiliki sifat Khaliq dan bukan makhluq. Sebagaimana Ia Maha Menghidupkan yang mati setelah melakukan perbuatan itu, maka Ia pun sudah berhak menyandang nama itu sebelum melakukannya. Demikian pula Ia sudah layak dengan nama Al-Khaliq sebelum mencipta ciptaan-ciptaan-Nya. Yang demikian itu karena Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan segala sesuatu bersifat butuh kepada-Nya, dan segala urusan adalah mudah bagi-Nya. Ia tidak butuh terhadap apapun juga. “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Ia menciptakan makhluq dengan ilmu-Nya. Ia menetapkan ketetapan-ketetapan bagi makhluq. Ia menetapkan ajal bagi setiap makhluq. Tidak ada sesuatupun yang takut kepada-Nya ketika sesuatu itu belum Ia ciptakan. Ia Maha Mengetahui apa yang bakal diperbuat oleh makhluq sebelum makhluq itu sendiri Ia ciptakan. Ia memerintahkan makhluq untuk taat kepada-Nya dan melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan ketetapan dan kehendak-Nya. Kehendak-Nya mesti terlaksana. Seorang hamba tidak akan berkehendak kecuali jika Ia menghendakinya. Apapun yang Ia kehendaki mesti terjadi dan apapun yang belum Ia kehendaki maka hal itu tidak akan terjadi.
Ia memberi petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki, lalu Ia menjaganya sebagai sebuah karunia. Ia pula yang menyesatkan siapa saja yang Ia kehendaki, lalu Ia menyiksanya sebagai sebuah ganjaran yang adil. Keadaan setiap manusia tergantung pada kehendak-Nya, antara karunia dan ketegasan-Nya. Ia Maha Tinggi diatas segenap musuh dan tandingan-Nya. Tidak ada sesuatupun yang bisa menolak ketetapan-Nya. Tidak ada yang bisa menghalangi hukum-hukum-Nya. Tidak ada yang bisa mengungguli perbuatan-Nya. Marilah kita beriman terhadap yang demikian itu. Marilah kita yakini bahwa segala sesuatu adalah berasal dari-Nya, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya yang terpilih, nabi-Nya yang mulia, dan rasul-Nya yang diridhai. Beliau merupakan penutup para nabi, pemimpin orang-orang bertaqwa, penghulu para rasul, dan kekasih Rabb semesta alam. Setiap pengakuan kenabian sepeninggal beliau adalah tipu daya dan kebohongan belaka. Beliau telah diutus kepada segenap bangsa jin dan manusia, dengan membawa kebenaran, petunjuk, cahaya, dan pelita. Al-Qur’an ialah kalam Allah, tanpa harus dipertanyakan bagaimana hakikat kalam itu. Allah telah menurunkannya kepada Rasul-Nya melalui proses pewahyuan. Orang-orang yang beriman telah mengimani kebenarannya, dan mereka meyakini bahwa Al-Qur’an ialah kalam Allah secara hakiki dan bukan makhluq sebagaimana pendapat sebagian orang. Barangsiapa yang mendengarkan Al-Qur’an lalu menganggap bahwa ia adalah kalam manusia maka ia telah kafir, dan Allah telah mengancamnya dengan Neraka Saqar. Allah berfirman,”Akan Aku lemparkan ia kedalam Neraka Saqar”(Al-Muddatstsir : 26). Ketika Allah mengancam dengan Neraka Saqar atas orang yang mengatakan :”Sesungguhnya Al-Qur’an ini hanyalah perkataan manusia” (Al-Muddatstsir : 25) maka kita pun tahu dan yakin bahwa Al-Qur’an merupakan ucapan Sang Pencipta Manusia. Al-Qur’an sama sekali tidak menyerupai ucapan manusia. Barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat maknawi manusia maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengetahui hal ini maka ia akan mengambil ibrah, menjauhi seruan orang-orang kafir, dan paham bahwa sifat-Nya tidaklah seperti manusia.
Melihat Allah (al-ru’yah) adalah benar dan nyata bagi penduduk surga, tanpa harus memerinci dan membahas kaifiyatnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an :”Wajah-wajah pada hari itu cerah dan gembira. Mereka melihat Rabb mereka” (Al-Qiyamah : 22-23). Tafsir ayat tersebut adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah sendiri dan juga sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits-hadits nabi yang shahih. Jadi maknanya adalah sesuai dengan maksud Allah sendiri. Kita tidak akan memaksakan diri untuk memasukinya melalui penakwilan atas dasar pikiran kita atau dengan cara menduga-duga atas dasar hawa nafsu kita. Tidak ada yang bisa selamat dalam beragama kecuali dengan cara patuh kepada Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya saw serta dengan menyerahkan permasalahan-permasalahan mutasyabihat kepada yang mengetahuinya. Bangunan Islam tidaklah dipancangkan kecuali atas dasar penyerahan diri dan tunduk patuh. Barangsiapa yang berusaha untuk mengetahui hal-hal yang dilarang untuk ia ketahui, dan pikirannya tidak mau merasa cukup dengan cara berserah diri, maka usahanya itu akan menghalanginya dari kemurnian tauhid, kejernihan pengenalan (ma’rifat), keimanan yang shahih, sehingga ia pun terombang-ambing antara kekafiran dan keimanan, antara membenarkan dan mendustakan, antara kesaksian dan pengingkaran. Ia pun diliputi was-was dan keragu-raguan, tidak beriman dengan sebenar-benar iman namun tidak pula mendustakan dengan sebenar-benar pendustaan.
Tidaklah sah mengimani ru’yah penduduk surga dengan didasarkan kepada dugaan-dugaan (wahm) atau dengan didasarkan kepada takwil-takwil pikiran. Hal ini karena menakwilkan ru’yah dan juga menakwilkan segala hal yang berhubungan dengan Rububiyah adalah salah. Sebaliknya kita harus meninggalkan takwil lalu berserah diri. Demikianlah agama kaum muslimin. Barangsiapa tidak menghindar dan menjaga diri dari penafian ataupun penyerupaan maka penyuciannya atas Allah masih belum benar. Rabb kita Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi disifati dengan sifat keesaan, tidak ada satu ciptaan-Nya pun yang terkandung dalam makna-Nya. Ia Maha Tinggi dari menerima batasan-batasan, orientasi, penyangga, anggota, atau alat bantu. Ia tidak dibatasi oleh arah yang enam sebagaimana segenap makhluq.
Mi’raj adalah benar dan nyata. Nabi saw , sebagai sebuah diri yang utuh dan sadar, benar-benar telah diperjalankan dan dinaikkan ke langit, lalu ke tempat yang maha tinggi yang dikehendaki oleh Allah. Allah telah memuliakan Nabi dengan apa yang Ia kehendaki. Allah telah mewahyukan kepada beliau :”Tidaklah hatinya berbohong tentang apa yang ia lihat”. Shalawat dan salam atas beliau di akhirat maupun di dunia.
Telaga (al-haudh), yang mana Allah telah memuliakan Nabi dengannya sebagai pertolongan bagi umatnya, adalah benar dan nyata. Syafaat yang dilimpahkan kepada umatnya adalah benar dan nyata, sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadits. Janji yang telah diambil oleh Allah atas Adam dan keturunannya adalah benar dan nyata. Allah benar-benar tahu berapa jumlah yang masuk surga dan berapa yang masuk neraka, dan bilangan-bilangan tersebut tidak akan bertambah ataupun berkurang. Allah mengetahui segenap perbuatan mahkluq-Nya, dan setiap manusia akan dipermudah kearah yang sudah Ia tentukan. Amal perbuatan tergantung pada kesudahannya. Orang yang bahagia ialah siapa yang bahagia dengan ketentuan Allah, demikian pula orang yang celaka ialah siapa yang celaka dengan ketentuan Allah. Pangkal dari qadar ialah rahasia Allah tentang makhluq-Nya, yang tidak bisa dijangkau oleh malaikat terdekat atau para rasul-Nya sekalipun. Bernjelimet-njelimet dalam masalah tersebut merupakan keburukan, larangan, dan tindakan melampaui batas. Karena itu jauhilah sejauh-jauhnya pikiran-pikiran dan bisikan-bisikan yang demikian itu. Sesungguhnya Allah Ta’ala menyembunyikan ilmu qadar dari manusia. Ia melarang manusia untuk menjangkaunya, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an :”Ia tidak akan ditanya tentang apa yang Ia perbuat akan tetapi merekalah yang akan ditanya” (Al-Anbiya’ : 23). Barangsiapa bertanya “mengapa Allah berbuat begini ?” maka ia telah menentang hukum Al-Qur’an. Barangsiapa menentang hukum Al-Qur’an maka ia termasuk orang-orang kafir.
Demikianlah secara global pemahaman yang dibutuhkan oleh wali-wali Allah yang hatinya terang-benderang, dan itulah derajat orang-orang yang mendalam ilmunya. Ilmu itu ada dua : ilmu tentang ciptaan yang maujud dan ilmu tentang yang ghaib. Mengingkari ilmu yang maujud berarti kekafiran, sementara menyeru dan mempropagandakan ilmu tentang yang ghaib berarti kekufuran. Iman tidaklah ditetapkan kecuali atas dasar menerima ilmu yang maujud dan tidak menuntut ilmu tentang yang ghaib.
Kita beriman terhadap Lauh dan Qalam beserta apapun yang terkandung didalamnya. Sekalipun segenap makhluq bersepakat untuk meniadakan sesuatu yang Allah telah menuliskannya ada maka mereka tidak akan pernah mampu. Sekalipun segenap makhluq bersepakat untuk mengadakan sesuatu yang Allah telah menuliskannya tidak ada maka mereka juga tidak akan pernah mampu. Qalam telah kering (tuntas) dalam menuliskan segala yang akan terjadi sampai Hari Kiamat. Sesuatu yang telah ditetapkan akan meleset dari seorang hamba tidak akan pernah bisa menimpanya, demikian pula sesuatu yang telah ditetapkan akan menimpa seorang hamba tidak akan pernah bisa meleset darinya.
Seorang hamba harus memahami bahwa ilmu Allah telah mendahului keberadaan setiap makhluq-Nya. Ia telah menetapkannya sebagai taqdir (ketetapan) yang tegas, tanpa ada yang bisa menghalangi, menghapus, ataupun mengubahnya. Ketetapan-ketetapan tersebut berlaku pada segenap makhluq-Nya di langit dan bumi, tanpa sedikit pun berkurang atau bertambah. Yang demikian ini merupakan ikatan iman, pondasi ma’rifat, dan pengakuan terhadap tauhidullah dan rububiyatullah. Allah berfirman, “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu lalu Ia menetapkan taqdir-taqdirnya” (Al-Furqan : 2). Ia juga berfirman,”Urusan Allah merupakan ketetapan yang telah ditetapkan” (Al-Ahzab : 38).
Celakalah orang yang memusuhi taqdir Allah dan memunculkan pikiran yang membuat hati menjadi sakit. Ia menduga-duga perkara ghaib tanpa dasar dan juga menambah-nambahinya dengan perkara-perkara yang menimbulkan dosa.
Arsy (singgasana) dan kursi adalah nyata dan benar. Akan tetapi, Ia tidaklah tergantung pada arsy ataupun yang lainnya. Ia meliputi dan mengungguli segala sesuatu, sementara makhluq tidak mampu meliputi sebagaimana liputan-Nya.
Kita katakan dengan penuh keimanan, pembenaran, dan penerimaan bahwa sesungguhnya Allah telah mengambil Ibrahim sebagai kekasih (khaliil). Ia telah berbicara secara langsung kepada Musa. Kita beriman kepada para malaikat, para nabi, dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Kita bersaksi bahwasanya para nabi berada diatas kebenaran yang terang. Kita menyebut para ahli kiblat kita sebagai muslim dan mukmin, sepanjang mereka mengakui apa yang dibawa oleh Nabi saw dan membenarkan setiap yang diucapkan dan diberitakan oleh beliau. Kita tidak akan menyelami hakikat Allah. Kita tidak akan mempertengkarkan agama Allah. Kita tidak akan berbantah-bantahan tentang Al-Qur’an. Kita bersaksi bahwa Al-Qur’an ialah kalam Rabb semesta alam yang dibawa oleh Al-Ruh Al-Amin (Jibril) lalu diajarkannya kepada Muhammad saw. Al-Qur’an ialah kalam Allah Ta’ala. Tidak ada ucapan makhluq yang bisa menandinginya. Kita tidak mengatakan bahwa Al-Qur’an ialah makhluq Allah. Kita tidak akan mengingkari dan menyimpang dari jama’ah kaum muslimin. Kita tidak akan mengkafirkan satu orang pun dari ahli kiblat akibat dosa, karena dosa tidaklah membuatnya halal untuk disebut kafir. Namun, kita pun tidak mengatakan bahwa perbuatan dosa tidak merusak iman pelakunya.
Kita berharap agar Allah mengampuni kesalahan orang-orang beriman yang berbuat ihsan dan memasukkan mereka kedalam Surga dengan rahmat-Nya. Kita tidaklah kemudian over-optimis dan tidak pula menjamin mereka akan masuk Surga.
Kita memintakan ampun atas dosa-dosa mereka. Kita amat takut atas dosa-dosa mereka dan kita tidak pernah meremehkannya. Sikap over-optimis atau meremehkan dan sikap berputus asa merupakan perilaku yang menyimpang dari Islam. Sikap dan perilaku yang benar ialah sikap para ahli kiblat yang berada diantara keduanya (pertengahan). Seorang hamba tidaklah keluar dari iman kecuali karena melakukan hal-hal yang mengeluarkannya dari iman.
Iman ialah iqrar (pengakuan) dengan lisan dan tashdiq (pembenaran) dengan anggota badan.
Segala berita yang datang secara shahih dari Rasulullah saw, baik itu hukum syariat ataupun penjelasan-penjelasan, adalah benar (haq). Iman itu tunggal (waahid). Setiap orang yang beriman pada asalnya adalah sama. Adapun keutamaan diantara mereka didasarkan atas rasa takut kepada Allah, ketaqwaan, pengekangan hawa nafsu, dan keteguhan dalam melakukan keutamaan. Setiap mukmin adalah wali-wali Yang Maha Penyayang. Adapun yang paling mulia diantara mereka disisi Allah ialah yang paling taat dan yang paling patuh pada Al-Qur’an.
Iman meliputi iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (ketentuan) dari Allah, yang baik ataupun yang buruk, yang manis ataupun yang pahit. Kita beriman dengan semua itu. Kita tidak membeda-bedakan para rasul dan kami membenarkan segala yang mereka bawa.
Para pelaku dosa besar (diantara umat Muhammad saw) akan masuk neraka namun tidak kekal didalamnya senyampang mereka mati dalam keadaan bertauhid, meskipun mereka belum sempat bertaubat atas dosa-dosa tersebut. Sesudah mereka menemui Allah dalam keadaan ma’rifat kepada-Nya (beriman) maka nasib mereka adalah sesuai dengan kehendak dan hukum-Nya. Jika Ia berkehendak maka Ia akan mengampuni mereka dengan karunia-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an “Dan Ia akan mengampuni dosa apapun selain itu (syirik) bagi siapa yang Ia kehendaki” (Al-Nisaa’ : 48 dan 116). Sebaliknya, jika Ia berkehendak maka Ia akan mengadzab mereka di neraka atas dasar keadilan-Nya, lalu Ia keluarkan mereka dari neraka tersebut dengan rahmat-Nya atau syafaat orang-orang yang diberi kesempatan untuk memberi syafaat diantara ahli ketaatan. Selanjutnya Ia akan memindahkan dan membangkitkan mereka dalam surga-Nya. Yang demikian ini karena Allah Ta’ala merupakan pelindung bagi orang-orang yang ma’rifat kepada-Nya. Ia tidak akan memperlakukan mereka, di dunia dan di akhirat, sebagaimana perlakuan-Nya kepada orang-orang ingkar yang tidak mendapatkan hidayah-Nya dan tidak pula mendapatkan perlindungan dari-Nya. Wahai Allah ! Wahai Pelindung Islam dan pengikutnya! Tetapkanlah kami diatas Islam sampai kami menemui Engkau dengan membawa Islam.
Kita memandang bahwa sholat itu sah dilakukan dibelakang imam yang sangat taat beragama ataupun yang gemar berbuat dosa asalkan dia itu ahli kiblat (muslim). Sholat juga dilakukan terhadap kedua golongan tersebut apabila meninggal dunia. Kita tidak memvonis satupun dari mereka dengan surga atau neraka. Kita tidak memvonis mereka sebagai kafir, musyrik, atau munafiq, kecuali setelah tampak bukti yang menunjukkan hal itu. Adapun kondisi hati mereka maka itu kembali kepada Allah Ta’ala.
Kita tidak memandang bahwa pedang itu boleh diarahkan kepada satu orang pun dari umat Muhammad kecuali kepada orang-orang yang wajib diperangi. Kita tidak memandang bahwa kita boleh memberontak (khuruj) terhadap para penguasa kita meskipun mereka itu lalim. Namun, kita juga tidak menyeru untuk mendukung mereka. Kita tidak mengangkat tangan dari ketaatan kepada mereka. Kita memandang bahwa ketaatan terhadap mereka merupakan bagian dari ketaatan terhadap Allah, dari sisi wajibnya, sepanjang mereka tidak memerintahkan kemaksiatan. Kita senantiasa berdoa agar mereka memperbaiki diri dan menebus kesalahan-kesalahan mereka. Kita mengikuti Sunnah dan Jama’ah. Kita menjauhkan diri dari keanehan atau kenyelenehan (syudzudz), perbedaan pendapat (khilaf), dan sempalan-sempalan (firqah). Kita mencintai orang-orang yang senantiasa menegakkan keadilan dan menunaikan amanat. Kita membenci orang-orang yang suka berbuat dosa dan yang mengkhianati amanah. Kita katakan : Allah lebih tahu dengan pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu yang masih samar-samar bagi kita.
Kita memahami bahwa menyapu dua khuff adalah dalam keadaan safar ataupun mukim sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Haji dan jihad harus berlangsung bersama penguasa kaum muslimin, yang baik ataupun yang fajir, sampai datangnya Hari Kiamat, tanpa ada sesuatu pun yang bisa membatalkannya. Kita beriman kepada malaikat-malaikat yang mulia yang senantiasa mencatat karena sesungguhnya Allah telah menjadikan mereka sebagai penjaga atau pengawas kita. Kita beriman kepada malaikat maut yang ditugaskan untuk mencabut ruh segenap manusia. Kita beriman kepada adzab kubur yang akan ditimpakan kepada para penghuni kubur yang durhaka. Kita beriman kepada pertanyaan Munkar dan Nakir dalam kubur seseorang, tentang tuhannya, agamanya, dan nabinya, sebagaimana disebutkan dalam berbagai riwayat dari Rasulullah saw dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Kubur merupakan salah satu dari taman-taman surga atau jurang-jurang neraka. Kita beriman kepada Kebangkitan, Pembalasan Amal di Hari Kiamat, Perhitungan, Pembacaan Catatan Amal, Pahala dan Siksa, Shirath, dan Timbangan. Surga dan Neraka merupakan dua makhluq yang tidak akan musnah ataupun abadi. Kita beriman bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan Surga dan Neraka sebelum penciptaan manusia. Allah telah menciptakan penghuni bagi keduanya. Barangsiapa berkehendak maka ia bisa masuk Surga atas dasar karunia-Nya. Dan barangsiapa berkehendak maka ia bisa masuk Neraka atas dasar keadilan-Nya. Setiap orang akan berbuat sebagaimana yang telah Allah tetapkan baginya.
Kebaikan dan keburukan merupakan dua alat ukur bagi hamba-hamba Allah. Kesanggupan yang dengannya suatu perbuatan diwajibkan, yang mana hal itu merupakan taufiq dari Allah dan manusia tidak boleh disifati dengan kemampuan memberikan taufiq tersebut, maka kesanggupan yang seperti ini ada bersama-sama dengan perbuatan. Adapun kesanggupan dari sisi kesehatan, kelonggaran, peluang, dan selamatnya organ dan alat, maka kesanggupan yang demikian ini ada sebelum perbuatan, yang terkait dengannya firman Allah Ta’ala “Allah tidaklah akan membebani seorang diri kecuali sesuai dengan kesanggupanya” (Al-Baqarah : 276).
Perbuatan-perbuatan manusia merupakan ciptaan milik Allah sekaligus hasil usaha (kasab) manusia. Allah tidak membebani mereka kecuali dengan apa yang mereka sanggup melakukannya, dan tidaklah mereka sanggup melakukannya kecuali Allah tidak membebaninya. Inilah tafsir ayat “Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah”. Kita katakan bahwa tidak ada rekayasa, gerakan, ataupun usaha untuk menghindari kemaksiatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada kekuatan bagi seorang pun untuk taat kepada Allah dan tsabat dalam ketaatan tersebut kecuali dengan taufiq Allah.
Segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak, ilmu, qadha’, dan qadar Allah Ta’ala. Kehendak-Nya mengungguli dan mengalahkan segenap kehendak yang lain. Qadha’-Nya mengungguli dan mengalahkan segenap rekayasa dan tipu daya. Allah berbuat sesuai dengan yang Ia kehendaki, dan Ia tidak pernah berlaku zhalim selama-lamanya (Maha Suci Dia dari segala keburukan dan segala cacat cela). “Ia (Allah) tidak akan ditanya tentang apa yang Ia perbuat, namun merekalah (manusia) yang akan ditanya” (Al-Anbiya’ : 23).
Doa dan shadaqah orang-orang yang masih hidup bermanfaat bagi yang telah meninggal dunia. Allah Ta’ala adalah Dzat yang mengabulkan doa, menunaikan hajat, memiliki dan menguasai segala sesuatu namun tidak ada sesuatupun yang menguasai-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang tidak membutuhkan Allah. Barangsiapa merasa tidak butuh kepada Allah maka ia telah kafir dan menjadi pendukung keburukan. Allah bisa marah dan bisa pula ridha, tetapi tidak sebagaimana seorang manusia pun. Kita mencintai para sahabat Rasulullah saw. Kita tidak bersikap ekstrim dalam mencintai salah seorang dari mereka. Demikian pula kita tidak berlepas tangan terhadap salah seorang dari mereka. Kita membenci siapa pun yang membenci mereka dan mengalamatkan sesuatu yang tidak baik kepada mereka. Kita tidak akan menyebut mereka kecuali dengan sesuatu yang baik. Mencintai mereka merupakan agama, iman, dan ihsan. Sebaliknya, membenci mereka merupakan kekufuran, kemunafiqan, dan tindakan melampaui batas.
Kita menetapkan kekhalifahan sesudah Rasulullah saw pertama-tama untuk Abu Bakar Al-Shiddiq ra atas dasar mengutamakan dan mendahulukan beliau terhadap segenap umat. Selanjutnya adalah untuk Umar ibn Al-Khaththab ra, lalu Utsman ibn Affan ra, lalu Ali ibn Abi Thalib ra. Mereka berempat adalah khulafa’ rasyidun (para khalifah yang diberi petunjuk) dan a-immah mahdiyyun (para imam yang diberi petunjuk).
Terhadap sepuluh orang yang disebutkan dan diberi kabar gembira oleh Rasulullah saw dengan surga, kami menetapkan pula Surga untuk mereka sebagaimana kesaksian Rasulullah saw dan perkataan beliau adalah haq. Mereka yang sepuluh itu ialah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Al-Zubair, Sa’ad, Sa’iid, Abdurrahman ibn Auf, Abu Ubaidah ibn Jarraah. Mereka semua adalah orang-orang terpercaya umat ini. Semoga keridhaan Allah tercurah atas mereka.
Barangsiapa yang baik perkataannya tentang para sahabat Rasulullah saw, para isteri beliau yang disucikan dari segenap kotoran (danas), dan keturunan beliau yang disucikan dari segenap kotoran (rijs), maka ia telah terbebas dari kemunafiqan.
Para ulama salaf yang terdahulu ataupun yang sesudahnya (yakni para tabi’un) merupakan ahli kebaikan dan ahli hadits, ahli fiqih dan ahli pertimbangan (nazhar). Mereka hendaknya tidak disebut kecuali dengan kebaikan. Barangsiapa yang menyebutkan mereka dengan keburukan maka ia telah keluar dari jalan yang benar (‘alaa ghairi sabiil).
Kita tidak lebih memuliakan para wali diatas para nabi – salam atas mereka. Kami katakan : Satu nabi lebih utama dari segenap wali.
Kita beriman (percaya) terhadap berbagai karamah para wali dan kita juga menshahihkan riwayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya (tsiqat) dari kalangan mereka. Kita beriman terhadap tanda-tanda Hari Kiamat seperti keluarnya Dajjal, turunnya Isa ibn Maryam as dari langit, terbitnya matahari dari arah barat, dan keluarnya daabbah bumi dari tempatnya. Kita tidak membenarkan tukang-tukang ramal. Kita tidak pula membenarkan siapa saja yang menyalahi Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma’ umat. Kita memandang bahwa jamaah adalah yang benar, sementara sempalan-sempalan adalah sesat. Kita memandang bahwa diin Allah di bumi dan di langit adalah satu, yakni diin Islam. Allah Ta’ala berfirman , “Sesungguhnya diin di sisi Allah ialah Islam” (Alu Imran : 19). Dia juga berfirman, “Dan Aku telah ridha Islam sebagai diin bagi kalian” (Al-Maidah : 3). Yang demikian ini ialah sikap pertengahan antara ghuluww (berlebih-lebihan) dan taqshiir (meremehkan), antara tasybih (menyerupakan) dan ta’thil (pengingkaran). Antara jabariyah dan qadariyah, antara over-optimis dan putus asa. Inilah diin dan keyakinan (aqidah) kita, zhahir dan bathin. Kita berlepas tangan kepada Allah dari siapapun yang menyalahi apa yang kita sebutkan dan kita terangkan.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia meneguhkan kita dalam iman, mencabut nyawa kita dalam iman, dan menjaga kita dari hawa nafsu yang menyimpang, dari pemikiran-pemikiran yang menyempal, dan dari aliran-aliran yang tertolak seperti Musyabbihah, Mu’tazilah, Jahmiyah, Jabbariyah, Qadariyah, dan lain-lain yang menyalahi Sunnah dan Jama’ah serta berada di jalan kesesatan. Terhadap mereka itu, kita berlepas tangan. Di mata kita, mereka itu tertolak. Dari Allah-lah penjagaan dan taufiq.
Selesai.